Generasi Muda Takut Nikah : Luka Ekonomi Kapitalisme


Oleh : Aisyah Falisha

Dalam beberapa tahun terakhir, berbagai survei nasional hingga laporan media menunjukkan perubahan besar dalam cara anak muda memandang masa depan, termasuk dalam urusan pernikahan. Bila dulu menikah di usia muda dipahami sebagai bagian dari fase kedewasaan yang wajar, kini banyak yang memandangnya sebagai keputusan yang penuh risiko ekonomi. Data Kompas mengungkap bahwa sebagian besar generasi muda saat ini menempatkan kestabilan ekonomi sebagai prioritas utama, bahkan lebih penting daripada menikah. Pergeseran cara pandang ini muncul bukan tanpa sebab; ia lahir dari realitas hidup yang semakin menekan, di mana kenaikan harga kebutuhan pokok, biaya hunian yang makin mahal, serta persaingan kerja yang sangat ketat, membuat pernikahan terasa seperti beban tambahan yang menakutkan.

Fenomena ini diperkuat oleh narasi populer di media sosial: “marriage is scary”. Kalimat pendek itu viral karena banyak anak muda merasa relate. Mereka takut tidak mampu membiayai kebutuhan rumah tangga, takut gagal sebagai pasangan, dan takut terjebak kemiskinan setelah menikah. Narasi ini menyebar luas melalui TikTok, Instagram, hingga podcast—membangun mental kolektif bahwa menikah hanyalah sumber masalah, bukan jalan menuju ketenangan atau ibadah yang dianjurkan.

Namun, di balik fenomena permukaan ini, terdapat masalah struktural yang jauh lebih dalam. Ketakutan terhadap pernikahan bukan sekadar persoalan psikologis atau pergeseran gaya hidup, melainkan gejala dari krisis sistem Kapitalisme yang memengaruhi seluruh aspek kehidupan, mulai dari harga makanan hingga peluang kerja. Sistem ini membuat kehidupan terasa berat bagi individu, terutama generasi muda yang sedang mencari arah hidup.


Akar Masalah : Ketakutan Miskin dalam Sistem Kapitalisme

Kapitalisme menjadikan ekonomi sebagai arena kompetisi bebas yang dimenangkan oleh mereka yang memiliki modal besar. Dalam struktur seperti ini, harga kebutuhan pokok, biaya sewa, harga tanah dan perumahan, hingga biaya pendidikan, terus naik dari tahun ke tahun. Kenaikan itu tidak diimbangi oleh peningkatan pendapatan yang memadai, sehingga semakin banyak anak muda yang merasa hidup sekadar “mengejar napas”.

Salah satu masalah paling nyata adalah ketidakstabilan pekerjaan. Banyak generasi muda harus bersaing ketat untuk memperoleh pekerjaan yang layak. Di kota-kota besar, posisi entry-level sering mensyaratkan pengalaman, sementara pekerjaan dengan gaji rendah tidak cukup untuk menutup biaya hidup. Dalam situasi seperti ini, wajar bila pernikahan dianggap sebagai resiko tambahan. Anak muda merasa belum cukup mapan, belum punya rumah, belum punya tabungan, belum punya pekerjaan stabil. Mereka menganggap menikah tanpa kesiapan ekonomi akan membawa mereka kepada hidup yang makin sulit.

Di sisi lain, kebijakan negara sebagai regulator dalam sistem Kapitalisme cenderung melepas tanggung jawab kesejahteraan kepada individu. Negara tidak menjamin perumahan murah, tidak menyediakan lapangan kerja yang luas, dan tidak menekan harga kebutuhan pokok melalui pengelolaan sumber daya milik publik. Sebaliknya, banyak sektor strategis seperti listrik, air, tambang, hingga pangan, diserahkan ke swasta atau bahkan asing. Akibatnya, biaya hidup tinggi ditanggung sendiri oleh individu.

Dalam kondisi seperti ini, wajar muncul rasa takut. Rasa takut miskin. Rasa takut gagal. Rasa takut tidak mampu menghidupi keluarga. Dan inilah alasan mendasar mengapa narasi “marriage is scary” tumbuh subur: pernikahan dipandang sebagai beban ekonomi, bukan sebagai institusi suci yang membawa ketenteraman, sebagaimana diajarkan Islam.


Budaya Materialisme dan Hedonisme yang Menguat

Selain tekanan ekonomi, generasi muda juga dibentuk oleh lingkungan sosial dan pendidikan yang sekuler—pendidikan yang memisahkan aqidah dari kehidupan. Dalam sistem pendidikan seperti ini, nilai hidup didefinisikan melalui ukuran materi, gaya hidup, prestise, dan kenikmatan duniawi. Sementara media sosial memperkuat standar palsu bahwa hidup bahagia harus memiliki rumah minimalis mewah, liburan ke luar negeri, gadget terbaru, dan gaya hidup trendi.

Akses media liberal yang sangat luas mempercepat proses pembentukan pola pikir materialistis ini. Influencer dan konten kreator memberikan standar hidup yang tidak realistis, lalu menjadi tekanan psikologis tersendiri bagi generasi muda. Maka, sebelum menikah saja mereka sudah merasa “tidak layak” karena hidupnya belum seperti standar ideal di media.

Akibatnya, banyak anak muda menunda menikah karena merasa belum memiliki modal gaya hidup yang cukup. Padahal Islam mengajarkan bahwa kemuliaan tidak diukur dari rumah mewah atau saldo rekening, tetapi dari ketakwaan dan kesanggupan mengelola kehidupan dengan prinsip syariah.

Ketika generasi dibentuk oleh nilai-nilai materialisme, mereka pada akhirnya memandang pernikahan bukan sebagai ibadah, tetapi sebagai risiko finansial. Mereka kehilangan pandangan bahwa keluarga adalah institusi penting untuk melahirkan generasi penerus umat dan membentuk masyarakat yang kuat.


Pernikahan sebagai Beban, Bukan Ladang Ibadah

Sistem sekuler kapitalistik menjadikan keluarga sebagai urusan privat yang bebannya ditanggung sepenuhnya oleh individu. Tidak ada jaminan negara untuk kebutuhan dasar, tidak ada dukungan menyeluruh untuk pasangan baru, dan tidak ada mekanisme sistemik yang menekan biaya hidup. Maka wajar bila pasangan muda takut memulai keluarga.

Padahal dalam Islam, pernikahan adalah ibadah yang mulia. Allah menegaskan: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu… Jika mereka miskin, Allah akan mengkayakan mereka dengan karunia-Nya.” (QS. An-Nur: 32)

Ayat ini bukan sekadar motivasi spiritual, tetapi juga bagian dari prinsip bahwa negara yang menerapkan syariah wajib menjamin kesejahteraan rakyat sehingga ikon “Allah akan mengkayakan dengan karunia-Nya” terwujud melalui mekanisme negara yang adil, bukan sekadar ucapan.

Sementara itu, Kapitalisme memutus hubungan antara ibadah dan kehidupan. Pernikahan hanya dilihat dari sisi biaya, risiko, dan kesulitan, sehingga esensi spiritual dan sosialnya hilang. Anak muda pun tumbuh dengan persepsi keliru bahwa menikah hanyalah menambah beban hidup.


Solusi Islam : Transformasi Sistemik, Bukan Sekadar Motivasi Mental

Permasalahan yang bersifat struktural tidak dapat diselesaikan dengan motivasi individu semata. Kita tidak bisa sekadar mengatakan, “Ayo menikah, rezeki sudah ada yang mengatur,” sementara biaya hidup tetap tinggi, lapangan kerja minim, upah rendah, dan sumber daya alam terus dieksploitasi oleh segelintir pemilik modal. Islam memberikan solusi menyeluruh yang menuntut perubahan sistem, bukan hanya perubahan psikologis.

1. Negara Menjamin Kebutuhan Dasar Rakyat
Dalam sistem ekonomi Islam, negara berkewajiban memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara: sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Ini bukan slogan, tetapi kewajiban syar'i yang harus dipenuhi oleh pemimpin. Rasulullah ï·º bersabda: “Imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat, dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dengan terpenuhinya kebutuhan dasar, ketakutan terhadap hidup dan masa depan tidak lagi menghantui generasi muda, sehingga mereka lebih berani membangun keluarga.

2. Milkiyyah ‘Amm (Kepemilikan Umum) Dikelola Negara
Dalam Islam, sumber daya alam strategis seperti tambang, listrik, air, dan hutan termasuk kategori kepemilikan umum. Negara tidak boleh menyerahkannya kepada swasta atau asing. Hasil pengelolaan ini dikembalikan untuk kesejahteraan masyarakat. Inilah yang dapat menekan harga kebutuhan pokok dan biaya hidup secara drastis. Ketika biaya hidup rendah, pernikahan tidak lagi terlihat sebagai beban finansial.

3. Pendidikan Berbasis Aqidah Melahirkan Generasi Berkepribadian Islam
Pendidikan Islam tidak sekadar memberi ilmu, tetapi membentuk pandangan hidup. Generasi diarahkan untuk memahami tujuan hidup, fungsi keluarga, dan peran mereka sebagai penerus umat. Mereka dipahami bahwa keberhasilan bukan diukur dari gaya hidup, tetapi dari ketakwaan dan kontribusi terhadap masyarakat.
Dengan pendidikan berbasis aqidah, budaya hedon dan materialisme dapat dipangkas sejak akar. Generasi tidak lagi mengejar standar tidak realistis dari media sosial, tetapi hidup dengan prinsip sederhana, mulia, dan bertanggung jawab.

4. Penguatan Institusi Keluarga
Islam mendorong pernikahan sebagai ibadah dan pintu kebaikan. Keluarga adalah benteng moral dan tempat tumbuhnya generasi penerus yang kuat. Negara dalam sistem Islam memberikan dukungan bagi calon pasangan, termasuk penjaminan kebutuhan hidup dasar, sehingga pernikahan tidak dilihat sebagai beban, tetapi sebagai bagian dari peran manusia sebagai khalifah di bumi.

Ketakutan generasi muda terhadap pernikahan bukanlah masalah sederhana. Ia lahir dari tekanan ekonomi, budaya materialisme, dan lemahnya dukungan negara. Sistem Kapitalisme telah membentuk generasi yang takut miskin, takut gagal, bahkan takut membangun keluarga.

Islam hadir sebagai solusi komprehensif: negara yang menjamin kebutuhan rakyat, pengelolaan sumber daya yang adil, pendidikan yang membentuk karakter mulia, serta dukungan kuat untuk institusi keluarga. Dalam sistem seperti ini, pernikahan tidak lagi menjadi beban, tetapi jalan menuju ketenangan, ibadah, dan keberlanjutan umat.

Jika kita ingin generasi muda kembali berani membangun keluarga, maka perubahan struktur sistem adalah keharusan, bukan pilihan. Dan sistem Islam menawarkan jawabannya secara utuh.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar