Oleh : Adji Pupy Radita (Aktivis Muslimah Peduli Umat)
Buruknya tata kelola ruang di Indonesia telah lama menjadi persoalan serius yang berdampak langsung pada meningkatnya bencana ekologis di berbagai daerah di Indonesia. Banjir bandang, tanah longsor, kebakaran hutan, kekeringan ekstrem, hingga pencemaran udara bukan lagi fenomena alam yang terjadi secara alami, melainkan konsekuensi dari kesalahan manusia dalam mengelola ruang hidup.
Dalam dua dekade terakhir, alih fungsi lahan semakin tak terkendali, kawasan resapan berubah menjadi permukiman, hutan lindung dikonversi menjadi hutan industri, dan lahan pertanian berganti menjadi pabrik-pabrik produksi. Situasi ini memperlihatkan betapa tata ruang tidak ditempatkan sebagai fondasi perencanaan pembangunan berkelanjutan jangka panjang, melainkan dianggap sekadar dokumen administratif yang dapat dinegosiasi oleh kepentingan politik maupun ekonomi. Padahal tata ruang yang baik seharusnya menjadi jaminan agar ruang hidup rakyat terlindungi dan ekosistem tetap seimbang. Sayangnya, realitas yang terjadi menunjukkan bahwa kelemahan tata ruang Indonesia bukan hanya persoalan teknis, tetapi persoalan sistemik.
Salah satu penyebab utama buruknya tata ruang di Indonesia adalah lemahnya implementasi peraturan perundang-undangan. Indonesia sebenarnya memiliki perangkat hukum yang cukup jelas, seperti UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang mengatur kebutuhan zonasi antara pemukiman, industri, pertanian, dan kawasan lindung. Undang-undang ini menegaskan bahwa pemanfaatan ruang harus memperhatikan prinsip keberlanjutan, aspek keselamatan, daya dukung lingkungan, dan keseimbangan fungsi lindung–budidaya.
Selain itu, UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mewajibkan adanya kajian AMDAL yang ketat sebelum suatu proyek atau alih fungsi lahan dilakukan. Di sisi lain, UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan memberikan batasan yang jelas untuk menjaga hutan lindung agar tidak dialihfungsikan sembarangan. Namun, meskipun kerangka hukum tersebut cukup komprehensif, implementasinya jauh dari optimal. Banyak pembangunan besar dilakukan tanpa kajian risiko yang memadai, sementara pelanggaran tata ruang sering kali dibiarkan atau justru disahkan melalui revisi kebijakan.
Fenomena ini tidak dapat dilepaskan dari sistem ekonomi kapitalistik yang mendominasi arah pembangunan nasional. Dalam logika kapitalisme, lahan umum dan ruang bukan dipandang sebagai amanah publik yang harus dijaga, tetapi sebagai komoditas bernilai tinggi yang dapat diperjualbelikan demi keuntungan sebesar-besarnya. Akibatnya, kawasan hutan lindung, pesisir, gunung, hingga lahan pangan sering kali menjadi sasaran empuk untuk investasi properti, pertambangan, energi, dan infrastruktur yang berorientasi profit.
Pemerintah, dalam banyak kasus, memilih berpihak pada pemilik modal karena pembangunan dianggap identik dengan pertumbuhan ekonomi, sementara aspek lingkungan dianggap sebagai beban atau hambatan administratif. Dominasi korporasi dalam menentukan arah pembangunan membuat kebijakan tata ruang kehilangan kekuatan moral dan politiknya. Alih fungsi lahan yang seharusnya dilarang justru mendapatkan izin, dan proyek yang seharusnya dihentikan tetap berjalan dengan dalih mendukung investasi nasional. Pada akhirnya, kerusakan ekologis menjadi harga mahal yang harus dibayar masyarakat, sementara keuntungan ekonomi hanya dinikmati oleh sekelompok kecil elite kapital.
Untuk keluar dari lingkaran persoalan ini, diperlukan perubahan paradigma dalam memandang ruang, alam, dan pembangunan. Di sinilah Islam melalui sistem khilafah memberikan tawaran solusi yang komprehensif, terintegrasi, dan berorientasi jangka panjang. Dalam pandangan Islam, ruang dan alam bukanlah komoditas, melainkan amanah dari Allah yang harus dikelola secara adil dan bertanggung jawab. Rasulullah bersabda, “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad). Air, hutan, dan sumber daya alam termasuk dalam kategori milkiyyah ‘ammah (kepemilikan umum), yang berarti negara tidak boleh menyerahkannya kepada individu, kelompok, apalagi korporasi asing untuk dimiliki atau dieksploitasi sesuka hati. Negara bertindak sebagai pengelola, bukan pemilik. Dan seluruh hasil pemanfaatan sumber daya harus kembali kepada rakyat dalam bentuk kesejahteraan, bukan keuntungan segelintir pihak.
Khilafah Menjaga Manusia, Alam dan Kehidupan
Dalam sistem khilafah, penataan ruang dilakukan berdasarkan prinsip maslahah (kemaslahatan umum), hifzhul nafs (perlindungan jiwa), dan hifzhul bi’ah (perlindungan lingkungan). Negara wajib menetapkan zonasi yang tegas antara wilayah permukiman, industri, pertanian, tempat penyimpanan air, dan hutan lindung. Dalam surat Al-A’raf ayat 56, Allah SWT berfirman, “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang-orang yang berbuat kebaikan.”
Tidak ada fleksibilitas yang dapat dinegosiasikan untuk kepentingan keuntungan material, sebab standar penentuannya adalah syariat Allah yang bersifat tetap. Kawasan hutan lindung, misalnya, tidak boleh dialihfungsikan karena secara syar’i ia termasuk hima, yaitu wilayah yang dilindungi untuk kepentingan umum dan pencegahan bahaya. Jika sebuah pembangunan berpotensi menimbulkan bahaya seperti banjir atau longsor, maka negara wajib mencegahnya berdasarkan kaidah fiqih “adhdhararu yuzalu” yaitu kemudharatan itu wajib dihilangkan.
Selain itu, sistem khilafah memiliki mekanisme pengawasan yang kuat melalui lembaga seperti mahkamah mazhalim yang berwenang menghentikan proyek dan menindak pejabat yang menyalahgunakan wewenang, termasuk dalam kasus pelanggaran tata ruang. Negara juga berkewajiban menyediakan riset ilmiah, pemetaan risiko bencana, dan pengelolaan lingkungan yang profesional, bukan karena tekanan publik atau regulasi internasional, tetapi sebagai kewajiban syar’i untuk menjaga keberlangsungan manusia, alam dan kehidupan. Dengan paradigma ini, pembangunan tidak akan dilakukan secara serampangan, dan setiap keputusan tata ruang akan mempertimbangkan keberlanjutan ekosistem sebagai bagian dari tanggung jawab kepada Allah SWT.
Dengan demikian, solusi Islam dalam sistem khilafah bukan sekadar alternatif, tetapi kebutuhan mendesak untuk menyelamatkan ruang hidup dari kerusakan yang semakin parah akibat kapitalisme. Tata ruang yang berlandaskan syariat memberikan jaminan bahwa alam akan tetap terjaga, pembangunan dilakukan secara berkeadilan, dan masyarakat terlindungi dari bencana ekologis buatan manusia. Hanya dengan cara ini, Indonesia dapat keluar dari siklus bencana yang terus berulang dan membangun masa depan yang lebih aman, berkelanjutan, dan penuh keberkahan.
Wallahu a’lam bishshawwab
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.


0 Komentar