Oleh : Diana Kamila
Perkembangan teknologi digital yang pesat kerap dipromosikan sebagai penanda kemajuan peradaban. Namun di balik layar gawai yang tak pernah lepas dari genggaman, tersimpan persoalan serius yang mengancam masa depan generasi muda Indonesia: krisis kesehatan mental. Screen time berlebihan, kecanduan media sosial, dan paparan konten digital tanpa batas telah menjadi fenomena yang kian mengkhawatirkan.
Indonesia bahkan menempati posisi teratas sebagai negara dengan tingkat kecanduan gadget akut. Laporan CNBC Indonesia menyebutkan bahwa mayoritas warga Indonesia mengalami ketergantungan tinggi terhadap gawai, yang berdampak pada penurunan daya konsentrasi, kemalasan berpikir, hingga gangguan kesehatan mental serius. Kondisi ini sejalan dengan peringatan para ahli mengenai bahaya digital dementia, yakni melemahnya fungsi kognitif akibat ketergantungan berlebihan pada perangkat digital (Kompas.id, 2025).
Ironisnya, di Indonesia tidak terdapat regulasi tegas terkait pembatasan usia penggunaan media sosial. Padahal, sejumlah negara telah lebih dulu melarang atau membatasi akses media sosial bagi anak-anak demi melindungi kesehatan mental generasi mudanya (CNN Indonesia, 2025). Fakta lain yang tak kalah mengkhawatirkan, platform digital raksasa seperti Meta diduga menghentikan riset internal setelah menemukan bukti bahwa produk media sosial mereka berdampak buruk bagi kesehatan mental penggunanya, khususnya remaja (Kumparan, 2025).
Fenomena ini tidak dapat dilepaskan dari sistem kapitalisme digital yang menjadikan media dan teknologi sebagai ladang keuntungan semata. Dalam sistem kapitalisme, platform digital berlomba mengejar atensi pengguna demi iklan dan profit, tanpa memperhatikan dampak jangka panjang terhadap kesehatan mental generasi. Media digital pun berubah menjadi alat yang secara sistemik merusak daya pikir, emosi, dan interaksi sosial generasi muda.
Indonesia dalam hal ini lebih sering diposisikan sebagai pasar besar bagi perusahaan digital global. Negara tampak tidak tegas dalam mengontrol konten, membatasi algoritma adiktif, maupun melindungi generasi muda sebagai calon pemimpin masa depan. Kepentingan ekonomi kerap mengalahkan tanggung jawab perlindungan generasi.
Berbeda dengan kapitalisme, sistem Khilafah memiliki visi strategis untuk mewujudkan generasi terbaik sekaligus pemimpin peradaban. Negara memandang generasi muda sebagai aset peradaban, bukan komoditas pasar. Oleh karena itu, Khilafah berkomitmen kuat menjaga kualitas mental, akal, dan akhlak generasi.
Langkah preventif dilakukan melalui penerapan sistem pendidikan Islam yang membentuk pola pikir dan sikap yang seimbang terhadap teknologi. Optimalisasi peran orang tua sebagai madrasah ula menjadi benteng utama pembinaan anak, didukung sinergi masyarakat dalam amar makruf nahi mungkar untuk saling menjaga.
Selain itu, negara mengambil langkah khusus dengan mengawasi konten media agar hanya sesuai dengan nilai Islam, serta menjatuhkan sanksi tegas bagi pelanggaran. Tidak semua platform media sosial dibiarkan beroperasi, akses media sosial dibatasi berdasarkan usia, dan penggunaan kecerdasan buatan (AI) diatur ketat agar tidak merusak akal dan mental generasi.
Krisis kesehatan mental generasi muda bukan sekadar dampak teknologi, melainkan buah dari sistem kapitalisme digital yang abai terhadap kemanusiaan. Tanpa perubahan sistemik, generasi Indonesia akan terus menjadi korban. Sudah saatnya negara hadir dengan visi peradaban yang melindungi akal dan masa depan generasi.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.


0 Komentar