Jeritan Hutan Sumatera: Refleksi Kemanusiaan di Balik Bencana Ekologis


Oleh : Ummu Junna

Tragedi banjir bandang dan tanah longsor yang menimpa Aceh, Sumatera Utara (Sumut), dan Sumatera Barat (Sumbar) di penghujung November 2025 bukanlah sekadar tajuk berita duka, melainkan sebuah cermin buram yang memantulkan kegagalan kita bersama. Ini adalah 'audit' yang amat menyakitkan atas cara kita mengelola ruang hidup dan kesiapan kita menghadapi murka alam yang diperparah oleh ulah manusia. Bencana hidrometeorologi, yang dipicu oleh curah hujan ekstrem, seperti yang dibawa oleh Siklon Senyar, telah merenggut nyawa, merampas rumah, dan melumpuhkan kehidupan ribuan saudara kita.

Mengatakan ini hanya 'bencana alam' adalah pengingkaran. Yang terjadi di sana adalah bencana ekologis, sebuah krisis yang sesungguhnya berakar pada keteledoran dan keserakahan manusia.

Kita menyaksikan akar masalah yang begitu gamblang: rapuhnya ekosistem hutan di hulu Daerah Aliran Sungai (DAS). Hutan tropis sejatinya adalah benteng pertahanan paling kokoh yang kita miliki.

Pohon-pohon dengan kanopinya menahan air hujan agar tidak langsung menghantam tanah, serasah di lantai hutan berfungsi sebagai spons raksasa yang menyerap air, sementara akar-akar kuat mengikat lereng dari keruntuhan. Inilah yang kita sebut 'infrastruktur hijau'.

Namun, infrastruktur alami ini telah kita hancurkan. Ekspansi perkebunan sawit, pertambangan ilegal, dan pembalakan liar telah menjadi penyakit kronis yang merongrong kekuatan alam.

Tengoklah Sumbar; hilangnya ratusan ribu hektare hutan primer dalam dua dekade terakhir (2001–2024) adalah sinyal bahaya bahwa lanskap telah kehilangan daya redamnya. Di Aceh, banjir berulang menjadi 'tradisi' pahit karena deforestasi telah mengubah daerah tangkapan air menjadi jalur limpasan cepat. Hujan deras yang dulu hanya menyebabkan genangan, kini berubah menjadi gelombang air bah yang menelan desa dan nyawa. Inilah konsekuensi langsung dari kekeliruan fundamental dalam tata kelola ruang hidup.

Fakta bahwa banyak korban tak tertolong secara cepat, dan tim evakuasi menghadapi kesulitan luar biasa, adalah bukti nyata bahwa sistem mitigasi nasional kita masih jauh dari memadai. Kelemahan ini terlihat jelas dalam dua hal:

Pertama, Kegagalan Pencegahan (Preventif): Mengapa pemerintah sebagai penanggung jawab utama belum serius menyiapkan kebijakan preventif? Mitigasi bukan hanya soal membangun waduk atau tanggul beton.

Lebih dari itu, mitigasi adalah tentang mengembalikan kesehatan ekologis alam dan memastikan setiap kebijakan pembangunan patuh pada analisis risiko bencana. Edukasi kesiapsiagaan di masyarakat pun masih sporadis, bukan sebuah budaya. 

Kedua, respons yang Terkendala (Kuratif): Meskipun status tanggap darurat telah ditetapkan, respons di lapangan sering kali 'tercecer' oleh rumitnya birokrasi, kendala medan, dan skala kerusakan yang masif. Penanganan terasa insidental, seolah hanya mengatasi yang terlihat bukan sebuah aksi cepat dan terstruktur setara dengan ratusan nyawa yang hilang.

Perdebatan tentang status bencana nasional, yang seharusnya menjadi kunci percepatan mobilisasi sumber daya, justru menyoroti adanya hambatan birokrasi yang tak perlu. Kecepatan dalam menyelamatkan nyawa seharusnya tak boleh dikalahkan oleh kerumitan administrasi.

Dalam pandangan etika Islam, bencana selalu memiliki dimensi ganda: spiritual (ruhiyah) dan kebijakan publik (siyasiyah). Dalam Dimensi Spiritual: Bencana adalah peringatan tegas dari Tuhan (Allah Swt.) atas kerusakan (fasad) yang diakibatkan oleh ulah tangan manusia. Merusak lingkungan, mengeksploitasinya tanpa batas, bukan hanya sebuah kesalahan teknis, tetapi sebuah dosa karena membahayakan jiwa (hifzh an-nafs). Menjaga alam adalah perintah keimanan itu sendiri. Dimensi Kebijakan: Negara, yang diamanahi untuk menjaga keselamatan rakyatnya (ri’ayatu asy-syu’un), wajib menjalankan mitigasi komprehensif.

Ini berarti penataan ruang tegas dengan melarang total segala bentuk perusakan di kawasan lindung dan hulu DAS, serta penegakan hukum yang tak pandang bulu terhadap perusak lingkungan. 

Sistem kesiapsiagaan integral dengan membangun sistem peringatan dini yang efektif dan edukasi bencana yang menjadi bagian dari kurikulum hidup masyarakat. 

Jaminan pasca bencana yang manusiawi, yaitu pemerintah bertanggung jawab penuh memberikan bantuan pangan, kesehatan, sandang, hingga pendampingan psikososial. Bantuan harus bersifat layak, menyeluruh, dan berkelanjutan hingga para penyintas benar-benar bisa berdiri tegak dan memulai hidup normal kembali. Ini adalah hak asasi mereka, bukan sekadar sedekah.

Tragedi di Sumatera adalah titik balik. Kita harus mengubah pendekatan yang selama ini reaktif menjadi preventif, dan beralih dari pembangunan yang serakah menjadi tata kelola yang berimbang dengan prinsip keselamatan jiwa rakyat dan kelestarian ekologis sebagai prioritas tunggal. Kita harus berhenti menganggap bencana sebagai 'nasib buruk' dan mulai mengakuinya sebagai konsekuensi logis dari kebijakan yang tidak manusiawi dan cacat lingkungan.



Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar