Oleh: Noura (Pemerhati Sosial dan Generasi)
Upaya memperkuat literasi digital terlihat ketika Diskominfo Kaltim menerima kunjungan DKISP Kabupaten Paser. Pertemuan ini menjadi ruang bertukar gagasan tentang bagaimana layanan informasi publik, literasi digital, dan penguatan media center daerah bisa berjalan. Diskusi berlangsung hangat, terutama saat Kabid IKP Diskominfo Kaltim menyinggung tantangan di lapangan yang kian kompleks. Berlandaskan regulasi terbaru Kementerian Kominfo, Diskominfo kaltim mengelola beragam urusan strategis, salah satunya program antihoaks yang kini gencar disosialisasikan ke pelajar. Ia menegaskan bahwa arus informasi tak mungkin dihadapi sendirian. Karena itu, kolaborasi lintas daerah, pembinaan KIM, serta penguatan peran harus menjadi ikhtiar bersama masyarakat, khususnya generasi muda, tidak mudah terseret arus informasi menyesatkan, tetapi tumbuh menjadi pengguna digital yang lebih sadar dan bertanggung jawab.
Langkah Diskominfo Kaltim yang fokus pada sosialisasi antihoaks kepada pelajar menunjukkan bahwa pemerintah menyadari betul besarnya pengaruh dunia digital terhadap generasi muda. Sekolah tidak lagi menjadi ruang yang steril dari arus informasi, sebab gawai dan media sosial telah menjelma sebagai "ruang belajar" baru yang tak mengenal jam dan batas. Ketika program antihoaks diarahkan langsung ke pelajar, itu menandakan bahwa negara membaca realitas: generasi muda adalah kelompok paling cepat bersentuhan dengan digitalisasi, sekaligus paling rentan dibentuk oleh informasi yang mereka serap setiap hari. Kesadaran inilah yang mendorong upaya pencegahan sejak dini, meski tantangannya jauh lebih kompleks daripada sekedar membedakan mana berita benar dan mana yang menyesatkan.
Di satu sisi, negara menyadari betapa besar kekuatan pemuda di ruang digital. Mereka bukan hanya pengguna, tetapi mampu menjadi penentu arah wacana, bahkan mempengaruhi cara publik memandang suatu isu. Media sosial telah membuktikan bahwa suara anak muda bisa begitu kuat hingga kerap menimbulkan kegelisahan tersendiri bagi penguasa. Namun di balik pengakuan atas potensi itu, ada kegagalan yang tak bisa diabaikan. Generasi justru dibiarkan berhadapan sendiri dengan kerasnya dunia digital-terpapar hoaks, cyber bullying, pornografi dan kekerasan-tanpa perlindungan yang benar-benar menyentuh akar persoalan. Akibatnya, ruang digital yang seharusnya menjadi lahan tumbuhnya kreativitas dan kesadaran, kerap berubah menjadi medan yang melemahkan karakter dan arah hidup generasi muda.
Era digital memang tidak bisa dihindari. Ia menawarkan banyak kemudahan, sekaligus membawa dampak yang juga merusak. Karena itulah sosialisasi antihoaks terus digencarkan, seolah menegaskan cara pandang negara terhadap generasi muda: rapuh, muda terpengaruh, dan perlu terus diawasi. Padahal di saat yang sama, generasi ini justru memiliki daya kritis yang kuat dan keberanian menyuarakan kegelisahan melalui media sosial. Dari layar kecil itulah gagasan bisa menyebar cepat, menggerakkan massa, bahkan berpotensi menggoyang kenyamanan kekuasaan dan kepentingan kapitalisme. Di titik ini, generasi muda berdiri di persimpangan-antara sekedar objek pembinaan, atau subjek perubahan yang sesungguhnya.
Dalam pandangan Islam, generasi muda hari ini seharusnya berhenti menjadi sasaran empuk arus digtalisasi. Mereka bukan sekedar angka statistik pengguna media sosial atau pasar bagi industri digital yang terus memburu atensi. Lebih dari itu, generasi diposisikan sebagai pelopor perubahan dan kebangkitan Islam. Energi, idealisme, serta keberanian mereka semestinya diarahkan untuk membawa nilai kebenaran ke ruang digital, menjadikannya sarana dakwah dan perjuangan, bukan justru larut dalam arus yang menjauhkan dari jati diri sebagai penerus risalah.
Penyelamatan generasi harus dimulai dari pembenahan cara berpikir. Generasi muda harus diarahkan untuk mengenali kebermanfaatan dan kebenaran Islam sebagai landasan hidup. Proses ini menuntut pembinaan yang konsisten dan berkesinambungan di dunia nyata sehingga membentuk generasi yang memiliki kepemimpinan berpikir Islam (qiyadah fikriyah islamiyah). Peran ibu menjadi fondasi awal pembentukan kesadaran dan karakter, sementara generasi bergerak sebagai penerus pejuangan. Keduanya memerlukan wadah yang mampu mengarahkan potensi ini secara terstruktur dalam pembinaan Islam kaffah, sehingga peran politik ibu dan generasi diarahkan untuk menggapai perubahan.
Menyelamatkan generasi dari derasnya arus digital bukan hanya sekedar membatasi konten, tetapi dengan membebaskan mereka dari hegemoni cara pandang sekuler-kapitalistik yang membentuk pola pikir dan arah hidup yang keliru. Jalan keluarnya terletak pada perubahan paradigma, dari berpikir pragmatis menuju cara berpikir Islam yang utuh. Di atas fondasi inilah pergerakan Gen Z semestinya diarahkan, bukan hanya reaktif terhadap isu, tetapi mampu menawarkan solusi yang menyentuh akar masalah secara sistematis dan ideologis. Upaya ini tidak mungkin berjalan sendiri. Sinergi keluarga sebagai pondasi awal, masyarakat sebagai lingkungan penopang, dan negara sebagai penjaga sangat dibutuhkan agar generasi tumbuh dalam gerak yang lurus dan bermakna, menjadi pelanjut risalah dan pelopor perubahan sejati.
Amanah itu kini berada di pundak dua generasi. Dan sejarah akan mencatat, apakah generasi hari ini memilih menjadi sekadar penonton di layar, atau bangkit sebagai pembawa perubahan yang berakar pada Islam.
#DuaGenerasiSatuAmanah
#GenerasiPenerusRisalahIslam
#GenerasiPeloporPerubahan
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.


0 Komentar