Oleh : Fanti
PT Punggur Alam Lestari (PT PAL) kembali menyalurkan insentif masa tunggu plasma kepada warga Desa Sepok Laut, Kecamatan Sungai Kakap, Kabupaten Kubu Raya. Insentif tersebut sebesar Rp50.000 per hektare per bulan dan diberikan kepada masyarakat yang lahannya masuk dalam skema perkebunan plasma. Penyaluran ini diklaim sebagai tindak lanjut hasil pembahasan bersama Pemerintah Daerah serta disebut sebagai wujud komitmen perusahaan dalam mendukung kesejahteraan masyarakat dan menjaga hubungan harmonis dengan warga sekitar (mediakalbar.com 18/11/2025).
Sekilas, kebijakan ini tampak sebagai langkah positif. Perusahaan seolah hadir dan peduli terhadap masyarakat yang harus menunggu realisasi kebun plasma mereka. Namun, jika dicermati lebih dalam, kebijakan tersebut justru membuka kembali pertanyaan mendasar tentang keadilan, relasi kuasa, dan posisi masyarakat dalam sistem perkebunan sawit hari ini.
Nominal Rp50.000 per hektare per bulan jelas tidak sebanding dengan luas lahan yang “dititipkan” masyarakat kepada perusahaan, apalagi jika dibandingkan dengan keuntungan ekonomi yang dihasilkan industri sawit. Insentif ini lebih menyerupai kompensasi simbolik ketimbang jaminan kesejahteraan. Dalam konteks ini, komitmen perusahaan berpotensi tidak lebih dari sekadar lip service—menenangkan gejolak sosial tanpa menyentuh akar persoalan.
Persoalan menjadi semakin kompleks ketika melihat kerangka regulasi yang melandasinya. Skema plasma secara normatif hanya mewajibkan perusahaan menyediakan sekitar 20 persen dari total HGU untuk masyarakat. Artinya, 80 persen lahan tetap dikuasai korporasi. Regulasi semacam ini secara struktural memberi karpet merah bagi pemodal besar untuk menguasai lahan secara masif, sementara masyarakat lokal hanya mendapat porsi kecil dari tanah yang sebelumnya mereka kelola.
Berbagai riset menunjukkan bahwa skema sawit plasma menyimpan banyak masalah laten. Sri Palupi, peneliti dari The Institute for Ecosoc Rights, mengungkapkan bahwa tidak ada perlindungan memadai bagi petani plasma ketika hak mereka tidak dipenuhi perusahaan. Ironisnya, ketika konflik terjadi, negara justru cenderung lepas tangan, padahal program plasma adalah kebijakan yang lahir dari negara. Penelitian tersebut—yang juga dilakukan di Kalimantan Barat—menemukan bahwa sawit plasma kerap menjadi modus pengambilalihan lahan masyarakat, disertai perubahan pengelolaan kebun dari masyarakat ke perusahaan, bahkan tak jarang diwarnai proses yang manipulatif. Risiko pendanaan pun sering dibebankan kepada masyarakat, bukan kepada korporasi.
Tak heran jika di banyak wilayah, aturan plasma justru memicu konflik agraria berkepanjangan. Ketika peran negara semakin terkikis dan cenderung berpihak pada kepentingan korporasi, masyarakat berada pada posisi yang makin tercekik: kehilangan kendali atas tanah, menanggung risiko, namun hanya memperoleh imbal hasil yang minim.
Kondisi ini sesungguhnya tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan konsekuensi logis dari sistem kapitalisme yang diterapkan hari ini. Dengan faham kebebasan kepemilikan, siapa pun yang memiliki modal besar diberi ruang untuk menguasai lahan secara luas, bahkan dilegitimasi oleh regulasi negara. Tanah diperlakukan semata sebagai komoditas ekonomi, bukan sebagai sumber kehidupan rakyat yang memiliki fungsi sosial.
Dalam perspektif politik Islam, relasi timpang semacam ini bertentangan dengan prinsip keadilan (‘adl) dan kemaslahatan umat. Islam menolak penumpukan kepemilikan lahan pada segelintir pihak hingga menimbulkan mudarat bagi masyarakat luas. Negara dalam Islam diposisikan sebagai ra‘in (pengurus urusan rakyat), bukan fasilitator kepentingan pemodal. Pengelolaan sumber daya alam harus menjamin kesejahteraan masyarakat, melindungi hak-hak mereka, dan mencegah eksploitasi oleh pihak yang lebih kuat.
Kasus insentif plasma PT PAL menunjukkan bahwa persoalan utama bukan sekadar besaran bantuan, melainkan sistem yang melahirkannya. Selama regulasi dan paradigma pembangunan masih berpihak pada akumulasi modal, kebijakan-kebijakan semacam ini hanya akan menjadi penyangga sementara bagi ketimpangan yang lebih besar. Masyarakat mungkin diberi insentif, tetapi kehilangan kedaulatan atas tanahnya sendiri.
Pada akhirnya, insentif plasma tidak boleh dijadikan tolok ukur keberpihakan kepada rakyat. Keadilan sejati hanya dapat terwujud ketika negara hadir secara penuh untuk melindungi hak masyarakat, mengatur kepemilikan lahan secara adil, dan menempatkan kesejahteraan rakyat di atas kepentingan korporasi. Tanpa perubahan mendasar itu, konflik agraria akan terus berulang, dan kesejahteraan yang dijanjikan tak lebih dari ilusi pembangunan.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.


0 Komentar