Oleh : Munawaroh Artiningsih
Dalam beberapa minggu terakhir, Indonesia kembali diguncang bencana besar. Longsor dan banjir bandang menerjang berbagai wilayah di Sumatra, mulai dari Sumatra Barat, Sumatra Utara, hingga Aceh. Bencana ini bukan hanya menghancurkan rumah-rumah penduduk dan infrastruktur masyarakat, tetapi juga menelan banyak korban jiwa. Data yang dirilis BNPB dan diberitakan oleh CNN Indonesia pada 1 Desember 2025 menunjukkan bahwa jumlah korban meninggal akibat rangkaian bencana tersebut telah mencapai 604 jiwa. Angka ini menunjukkan betapa dahsyatnya bencana yang terjadi dan betapa rentannya negeri ini menghadapi fenomena alam yang, pada dasarnya, bisa dikendalikan atau setidaknya diminimalisir dampaknya.
Walau curah hujan yang mencapai puncaknya menjadi faktor pemicu, para ahli lingkungan menegaskan bahwa kerusakan yang terjadi tidak semata-mata disebabkan oleh cuaca ekstrem. Banjir di banyak daerah Sumatra terlihat sangat parah karena daya tampung wilayah sudah menurun drastis. Hutan yang sebelumnya menjadi penyerap air kini telah berubah menjadi perkebunan sawit, area tambang terbuka, dan lahan yang dieksploitasi tanpa henti oleh perusahaan-perusahaan besar. Sungai yang dahulu mampu menampung limpahan air kini menyempit oleh sedimentasi akibat pembukaan lahan masif. Semua ini memperburuk aliran air hujan sehingga banjir bandang menjadi tak terhindarkan.
Fenomena ini memperlihatkan bahwa bencana yang terjadi bukanlah sekadar “takdir alam” atau “ujian cuaca”, melainkan buah dari kejahatan ekologi yang sudah berlangsung lama dan dilegitimasi dalam bingkai kebijakan negara.
Kejahatan Ekologi yang Dilegitimasi Negara
Bencana Sumatra bukan kejadian tunggal yang berdiri sendiri. Ia merupakan akumulasi dari kebijakan yang selama puluhan tahun membuka akses selebar-lebarnya kepada korporasi untuk menguasai sumber daya alam. Negara mengeluarkan berbagai kebijakan yang menjadi payung hukum bagi eksploitasi massif tersebut, seperti:
> pemberian hak konsesi lahan skala besar kepada perusahaan sawit dan industri kayu,
> obral izin bagi perusahaan-perusahaan tambang terbuka,
> izin pengelolaan tambang untuk organisasi tertentu,
> pengesahan UU Minerba yang memperkuat cengkeraman korporasi dalam pengelolaan tambang,
> dan UU Cipta Kerja yang terkenal sangat pro-investor dan mempermudah ekstraksi sumber daya dengan mengabaikan dampak ekologis.
Berbagai regulasi tersebut menjadi jalan legal bagi korporasi untuk mengubah jutaan hektar lahan menjadi kawasan produksi mereka. Hutan lindung dibuka, bukit-bukit digali, air tanah dikuras, dan ekosistem alam dirusak. Ketika terjadi bencana, masyarakatlah yang menanggung akibatnya, bukan perusahaan yang menikmati keuntungan besar.
Pola semacam ini bukan hanya terjadi di Sumatra, tetapi di seluruh Indonesia. Banjir bandang di Kalimantan, longsor di Jawa Barat, kekeringan di Sulawesi, hingga krisis ekologis di Papua semuanya punya pola yang sama: eksploitasi besar-besaran oleh korporasi yang mendapat legitimasi pemerintah.
Ketika Kekuasaan Tunduk pada Kapitalisme
Sikap penguasa yang membiarkan kerusakan lingkungan terjadi bukanlah hal kebetulan. Dalam sistem sekuler demokrasi kapitalisme, hubungan penguasa dan pengusaha sering kali bukan hubungan pengawasan, tetapi hubungan simbiosis. Pengusaha memberikan keuntungan ekonomi dan dukungan politik, sementara penguasa memberikan regulasi, izin, dan perlindungan hukum.
Proses politik yang berbasis biaya tinggi membuat kerap terjadi kongkalikong antara elite politik dan elite bisnis. Izin konsesi lahan, obral perizinan sawit, dan pembukaan tambang bukan semata karena Indonesia kaya sumber daya, melainkan karena adanya dorongan kuat dari korporasi yang ingin memperluas keuntungan.
Dalam kondisi seperti ini, kepentingan masyarakat atau keselamatan ekologi menjadi prioritas kesekian. Penguasa lebih sibuk memenuhi target investasi, membuktikan "kemudahan berusaha" untuk menarik pihak asing, dan mengklaim pertumbuhan ekonomi sebagai indikator keberhasilan. Sementara itu, kerusakan lingkungan yang menjadi bom waktu tidak pernah menjadi agenda utama.
Inilah yang membuat kebijakan negara sering kali abai terhadap kelestarian alam. Seolah-olah pembangunan fisik dapat menggantikan fungsi alam. Padahal, alam memiliki hukum-hukum yang tidak bisa dinegosiasikan. Ketika gunung digunduli, tanah akan longsor. Ketika hutan dibabat habis, banjir bandang menjadi tak terhindarkan.
Sistem kapitalisme melahirkan logika yang keliru: pembangunan harus terus berjalan meskipun mengorbankan lingkungan. Pada akhirnya, bencana yang terjadi seperti di Sumatra adalah keniscayaan dari sistem yang tidak menempatkan keselamatan manusia dan lingkungan sebagai prioritas.
Musibah Sumatra: Bukti Nyata Kejahatan Lingkungan
Apa yang terjadi di Sumatra memperlihatkan secara gamblang bahwa pembukaan hutan secara besar-besaran tanpa perhitungan jangka panjang adalah tindakan yang sangat berbahaya. Bencana kali ini memperlihatkan beberapa fakta penting:
1. Hutan Hancur, Alam Tidak Lagi Seimbang
Hutan yang seharusnya menjadi wilayah resapan air dan habitat keanekaragaman hayati telah berubah menjadi area industri. Ketika hujan lebat turun, tidak ada lagi pohon yang dapat menahan dan menyerap air.
2. Sedimentasi Sungai Menghambat Aliran Air
Sungai-sungai di Sumatra kini dipenuhi tanah dan sampah dari bukaan lahan. Air tidak lagi mengalir lancar sehingga meluap setiap kali intensitas hujan meningkat.
3. Masyarakat Miskin yang Paling Terdampak
Bencana ini tidak memukul para pengusaha yang mendapat keuntungan dari eksploitasi sumber daya. Mereka tinggal di kota besar atau luar negeri. Justru masyarakat kecil yang tinggal di tepi sungai atau lereng bukitlah yang menjadi korban terbesar. Korban meninggal mencapai ratusan orang dan masih terus bertambah, sebagaimana dirilis BNPB.
4. Negara Bersikap Reaktif, Bukan Preventif
Mendagri dalam pemberitaan Kompas TV menyatakan bahwa meski peristiwa ini belum ditetapkan sebagai bencana nasional, penanganannya sudah berskala nasional. Namun pernyataan ini menunjukkan kelemahan: pemerintah baru bergerak setelah bencana terjadi. Bahkan Kemenkeu menyiapkan anggaran Rp500 miliar untuk penanganan bencana, seperti diberitakan BeritaSatu. Padahal, anggaran itu seharusnya digunakan sejak awal untuk mencegah kerusakan alam, bukan hanya menangani akibatnya.
Sayangnya, hal yang sama terus berulang: kerusakan lingkungan dianggap sebagai konsekuensi, bukan tanda bahwa kebijakan negara salah arah. Indonesia memiliki ribuan regulasi lingkungan, tetapi tanpa sistem yang benar, regulasi hanya menjadi teks tanpa implementasi.
Ketika Hukum Allah Ditinggalkan, Kerusakan Merajalela
Islam telah mengingatkan sejak awal bahwa kerusakan di muka bumi ini adalah akibat ulah tangan manusia. Allah berfirman dalam surah Ar-Rum ayat 41: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia...”
Ayat ini menunjukkan dengan jelas bahwa kerusakan lingkungan bukan semata fenomena alam, tetapi akibat manusia mengelola bumi tanpa petunjuk Allah. Ketika manusia meninggalkan hukum-Nya, eksploitasi dilakukan tanpa batas, penguasa mengabaikan amanah, dan masyarakat menjadi korban.
Dalam sejarah Islam, pengelolaan lingkungan merupakan bagian integral dari keimanan. Menjaga kelestarian alam bukan sekadar pilihan moral, melainkan kewajiban agama. Hutan, sungai, dan tanah adalah amanah yang harus dijaga keberlanjutannya. Negara dalam sistem Islam berkewajiban mengatur sumber daya dengan prinsip kemaslahatan, bukan keuntungan.
Khalifah, sebagai pemimpin, bertanggung jawab memastikan semua kebijakan negara tidak menimbulkan kerusakan (dharar). Negara tidak boleh memberikan konsesi lahan secara semena-mena kepada swasta apalagi asing. Kepentingan umat menjadi prioritas utama.
Model Pengelolaan Lingkungan Dalam Islam
Untuk menangani kerusakan ekologis seperti yang terjadi di Sumatra, negara dalam sistem Islam akan menerapkan beberapa prinsip berikut:
1. Pengelolaan sesuai hukum Allah
Negara mengatur urusan publik berdasarkan syariat. Hutan, sungai, dan sumber daya alam masuk kategori kepemilikan umum (milkiyyah ammah) yang tidak boleh diberikan kepada korporasi. Negara wajib mengurusnya untuk kepentingan seluruh rakyat.
2. Pengaturan tata ruang berdasarkan fungsi alamiah
Khalifah akan merancang blueprint tata ruang secara menyeluruh. Pemetaan wilayah dilakukan berdasarkan:
> fungsi ekologis,
> daya dukung lingkungan,
> risiko bencana,
> dan kebutuhan masyarakat.
Tidak ada pembukaan hutan sembarangan. Tidak ada pembangunan industri di kawasan rawan banjir atau longsor.
3. Kebijakan antisipatif, bukan reaktif
Islam memerintahkan penguasa untuk menjaga keselamatan rakyat. Negara akan mengeluarkan biaya besar untuk mencegah bencana, bukan hanya menangani akibatnya. Ini dilakukan melalui:
> kajian ilmiah mendalam,
> konsultasi dengan para ahli lingkungan,
> pemantauan intensif daerah rawan,
> dan pembangunan infrastruktur sesuai syariat.
4. Melindungi rakyat dari bahaya (dharar)
Prinsip “la dharar wa la dhirar” (tidak boleh membahayakan dan tidak boleh saling membahayakan) menjadi dasar segala kebijakan. Dalam hal ini, negara wajib menghilangkan faktor yang membahayakan masyarakat, termasuk praktik eksploitasi alam yang merusak.
5. Tidak ada kongkalikong penguasa-pengusaha
Dalam Islam, pemimpin tidak boleh menerima keuntungan pribadi dari pengelolaan sumber daya publik. Transparansi dijaga ketat. Korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan diberi hukuman tegas.
Kerusakan ekologis di Sumatra dan berbagai wilayah Indonesia lain hanya bisa dihentikan jika negara kembali pada hukum Allah. Islam tidak menolak pembangunan, tetapi mengatur pembangunan agar selaras dengan alam dan tidak merusak. Sistem Islam memastikan bahwa negara bertanggung jawab penuh terhadap kelestarian bumi agar dapat diwariskan kepada generasi berikutnya dalam keadaan baik.
Hanya dalam sistem pemerintahan yang adil dan tunduk pada syariat, bencana seperti banjir dan longsor dapat diminimalisir. Sebab, negara tidak didorong oleh kepentingan kapitalis, melainkan oleh amanah untuk menjaga kehidupan umat manusia.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.


0 Komentar