Oleh : Ummu Taqiyuddin (Pemerhati Keluarga & Generasi)
Jajaran pemerintah Klaten nampaknya sedang berbahagia. Hal ini nampak dari sebuah tulisan di situs resmi klaten.go.id yang berjudul, "Keren! Pemkab Klaten Raih Penghargaan Pariwara Antikorupsi 2025".
Tentu, kebahagiaan ini harusnya bisa dirasakan pula oleh seluruh warga masyarakat Klaten. Sebagaimana yang disampaikan oleh Bupati Klaten Hamenang Wajar Ismoyo saat menerima penghargaan di Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. Beliau menyampaikan rasa syukur dan apresiasinya setelah Kabupaten Klaten berhasil meraih penghargaan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). "Terima kasih kepada seluruh jajaran di KPK yang telah memberikan kepercayaan kepada Kabupaten Klaten sehingga menjadi juara. Ini sebuah hadiah yang luar biasa bagi kami, pemerintah daerah, dan seluruh warga masyarakat Kabupaten Klaten,” jelasnya.
Apakah Masyarakat Merasakan Bahagia?
Kebahagiaan masyarakat tentu akan muncul saat memang kejahatan korupsi benar-benar menurun atau bahkan hilang. Karena hal ini akan berpengaruh kepada berbagai kebijakan dan kesejahteraan masyarakat. Dari sini masyarakat baru akan tenang karena para pemimpinnya yang jujur dan amanah serta merasakan kebahagiaan yang nyata, karena hajat kehidupan mereka akan terpenuhi dengan baik.
Namun, faktanya tidak ada satu tandapun akan penurunan tindak korupsi di klaten sehingga mendapatkan penghargaan pariwira ini. Justru kasus-kasus dugaan korupsi, proyek bermasalah, dan praktik penyalahgunaan wewenang masih kerap mencuat, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Ternyata masalah utamanya terletak pada hakikat penghargaan itu sendiri. Penghargaan Pariwira Anti Korupsi pada dasarnya bukan penilaian atas bersihnya daerah dari korupsi, melainkan penilaian terhadap kelengkapan administrasi, kebijakan tertulis, kegiatan sosialisasi, dan laporan program anti korupsi yang dijalankan secara formal.
Dengan kata lain, yang dinilai adalah prosedur, bukan perubahan nyata. Selama pemerintah daerah memiliki regulasi, pakta integritas, spanduk kampanye, dan dokumentasi kegiatan, maka predikat “anti korupsi” bisa diberikan—meski praktik korupsi itu sendiri belum tersentuh secara signifikan.
Fenomena ini mencerminkan watak birokrasi dalam sistem kapitalisme Sekuler Demokrasi. Korupsi dianggap sebagai kesalahan oknum, bukan cacat sistem. Akibatnya, pemerintah cukup memperbaiki tampilan luar—laporan rapi, citra positif, dan seremonial penghargaan—tanpa membongkar akar masalah korupsi yang berkelindan dengan kekuasaan dan kepentingan ekonomi.
Korupsi adalah buah langsung dari sistem yang memisahkan agama dari kehidupan (sekularisme). Ketika kekuasaan tidak lagi diposisikan sebagai amanah dari Allah, tetapi sebagai jabatan politik hasil transaksi kepentingan, maka standar pengelolaan negara pun bergeser dari halal-haram kepada untung-rugi. Kekuasaan yang lahir dari biaya politik mahal akan terikat pada kepentingan pemodal, sehingga kebijakan dan proyek negara mudah dikompromikan. Dalam kondisi ini, korupsi bukan anomali, tetapi konsekuensi logis dari sistem yang menjadikan manfaat dan kepentingan sebagai ukuran utama.
Lebih jauh, kapitalisme melegalkan akumulasi harta tanpa batas dan membiarkan pejabat bercampur dengan bisnis, sementara hukum buatan manusia cenderung tunduk pada kepentingan elite. Pengawasan pun sebatas administratif laporan, prosedur, dan dokumenbukan pengawasan ideologis yang menanamkan rasa takut kepada hisab Allah. Karena itu, korupsi sering tampil rapi dan legalistik, bahkan bisa berjalan beriringan dengan penghargaan “anti korupsi”. Inilah sebab mendasar mengapa, korupsi tidak pernah tuntas diberantas dalam kapitalisme: sistem ini hanya mampu mengelola dan menyamarkan korupsi, bukan mencabutnya dari akar.
Adakah Solusi Islam?
Islam dengan kesempurnaan aturan dari Sang Pencipta Alam. Tentu, solusi yang diberikan tidak sebatas tambal sulam, melainkan solusi yang paripurna. Dalam memberantas korupsi tentu harus dimulai dari perubahan sistem, bukan sekadar perbaikan moral individu.
Pertama Islam menjadikan akidah sebagai asas negara sehingga jabatan dipahami sebagai amanah akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah, bukan alat akumulasi kekuasaan dan harta. Dari sini maka kedaulatan hukum itu di tangan Allah SWT bukan di tangan manusia.
Kedua, kekuasaan tidak bergantung pada modal, sehingga politik biaya tinggi dan utang budi kepada pemodal dihapuskan. Dengan demikian, sumber utama korupsi yakni transaksi kepentingan dalam perebutan kekuasaan diputus dari akarnya.
Ketiga, pada tataran praktis, Islam menerapkan pengawasan ideologis dan institusional sekaligus. Negara mengaudit kekayaan pejabat secara ketat, melarang pejabat berbisnis, dan menarik harta yang tidak wajar ke Baitul Mal. Hukuman bagi pelaku korupsi bersifat tegas dan menjerakan, tanpa tebang pilih.
Sejarah Islam mencatat teladan nyata pada masa Khalifah Umar bin Khaththab r.a. yang secara konsisten mencegah dan memberantas korupsi. Beliau mencatat harta para pejabat sebelum dan sesudah menjabat, menarik kelebihan harta yang tidak wajar ke Baitul Mal, serta melarang pejabat berdagang selama memegang jabatan. Umar membuka ruang aduan rakyat secara langsung dan hidup dengan kesederhanaan sebagai teladan. Praktik ini menunjukkan bahwa dalam sistem Islam, kekuasaan benar-benar dijaga dari penyimpangan karena pejabat sadar bahwa amanah jabatan akan dipertanggungjawabkan bukan hanya di dunia, tetapi juga di hadapan Allah di akhirat.
Wallahu'alam.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.


0 Komentar