Tunggakan JKN Menggunung: Bukti Penguasa Gagal Menjamin Hak Kesehatan Rakyat


Oleh : Hazifah Mujtahidah

Di tengah lonjakan kebutuhan kesehatan masyarakat dan tingginya biaya layanan medis, warga Kabupaten Bekasi kembali dihadapkan pada situasi yang mengkhawatirkan. Ribuan warga miskin dan rentan berada di ambang kehilangan hak pelayanan kesehatan karena kesalahan administratif, tunggakan iuran, dan lemahnya koordinasi antara Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan pemerintah kabupaten/kota. Persoalan ini bukan hanya soal teknis pembayaran, tetapi menyangkut nasib ratusan ribu orang yang menggantungkan hidup pada Jaminan Kesehatan Nasional.

Pada 25 November 2025, Radar Bekasi memberitakan bahwa Pemerintah Kabupaten Bekasi mendesak Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk segera melunasi tunggakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) bagi 146.405 peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) APBD. Tunggakan yang belum dibayarkan oleh Pemprov Jabar mencapai Rp84 miliar, meliputi iuran tahun 2023–2024. Tidak tanggung-tanggung, keterlambatan ini membuat Pemkab Bekasi harus menutup kekurangan dengan anggaran daerah hingga Rp188 miliar—uang yang seharusnya dialokasikan untuk pembangunan lain. Apa artinya?

Bahwa kelalaian pemerintah provinsi telah menambah beban keuangan daerah dan menempatkan warga miskin dalam posisi rawan kehilangan hak layanan kesehatan. Padahal mereka adalah peserta PBI, yaitu penduduk yang preminya dibayar negara karena dianggap tidak mampu. Artinya, mereka adalah warga yang paling membutuhkan perlindungan.

Kisah ini memperlihatkan satu hal penting: negara semakin menjauh dari fungsi sejatinya sebagai pelayan rakyat. Ketika jaminan kesehatan—kebutuhan mendasar yang berkaitan dengan nyawa manusia—terseret dalam masalah anggaran dan kelalaian birokrasi, maka jelas ada yang sangat salah dari sistem yang sedang berjalan.


Jaminan Kesehatan yang Terancam : Rakyat Menjadi Korban

Di tataran masyarakat, persoalan tunggakan iuran BPJS bukan sekadar angka teknis. Ia langsung berpengaruh terhadap nasib warga miskin, lansia, penyandang disabilitas, serta keluarga yang hidup dari penghasilan tidak tetap. Ketika status kepesertaan mereka nonaktif karena pemerintah belum membayar iuran, konsekuensinya sangat serius:
  • Mereka bisa ditolak saat hendak masuk rumah sakit.
  • Mereka harus membayar biaya pengobatan sendiri, yang jumlahnya dapat mencapai jutaan rupiah.
  • Mereka terpaksa menunda pengobatan hingga kondisi semakin parah.
  • Bahkan ada yang terancam kehilangan nyawa karena tidak mendapatkan layanan tepat waktu.
Di Kabupaten Bekasi, jumlah 146.405 peserta bukan angka kecil. Jika satu orang dalam keluarga tidak bisa berobat, maka seluruh keluarga ikut terdampak secara psikologis, finansial, dan sosial. Dengan kata lain, tunggakan iuran bukan sekadar persoalan administrasi. Ini adalah ancaman langsung terhadap hak hidup.


BPJS dan KIS : Jaminan Semu di Atas Sistem yang Rapuh

Pemerintah sering membanggakan BPJS sebagai sistem kesehatan gotong-royong terbesar di dunia. Secara konsep, BPJS memang dibuat untuk memberikan jaminan kesehatan bagi seluruh penduduk Indonesia melalui skema premi dan subsidi pemerintah.

Namun dalam praktiknya, BPJS justru menghadirkan masalah baru yang dialami warga sehari-hari:
1. Masyarakat dibuat “pontang-panting” demi pelayanan kesehatan
Untuk mendapatkan layanan kesehatan yang layak, warga harus menghadapi:
  • antrean panjang,
  • rujukan berlapis,
  • perbedaan kelas rawat yang diskriminatif,
  • dan prosedur administrasi yang sering membingungkan.
Bagi warga miskin, hambatan administratif sering kali sama beratnya dengan biaya layanan itu sendiri. Ada yang harus meminjam uang untuk transportasi ke rumah sakit, ada yang bingung mencari rumah sakit rujukan yang mau menerima pasien JKN, ada yang harus menunggu berjam-jam hanya untuk mendapat nomor antrean. Sistem BPJS yang seharusnya mempermudah justru menjadi jalan berliku yang melelahkan.

2. Pemerintah sekadar fasilitator, bukan penanggung jawab pelayanan
Dalam sistem BPJS, pemerintah tidak sepenuhnya menanggung biaya kesehatan rakyat.
  • Peserta membayar iuran.
  • PBI dibayar pemerintah daerah dan provinsi.
  • Rumah sakit dibayar dengan sistem tarif INA-CBG’s yang sering dianggap terlalu rendah sehingga banyak rumah sakit merugi.
Dalam konstruksi ini, negara lebih berperan sebagai pengumpul iuran dan pengatur skema, bukan pelayan kesehatan langsung. Warga tetap harus menyesuaikan diri dengan aturan-aturan sistem, bukan sistem yang menyesuaikan pada kebutuhan rakyat. Pelayanan kesehatan akhirnya menjadi transaksional, bukan berbasis tanggung jawab.

3. Transparansi pengelolaan dana BPJS dipertanyakan
Total dana kelolaan BPJS mencapai lebih dari Rp150 triliun per tahun, namun laporan aliran dana, pengeluaran, surplus, dan defisit sering kali tidak dijelaskan secara gamblang kepada publik. Pertanyaan besar pun muncul:
  • Ke mana sebenarnya dana iuran rakyat digunakan?
  • Mengapa defisit selalu dikaitkan dengan kurangnya iuran, bukan ketidakefisienan sistem?
  • Mengapa peserta yang rajin membayar bisa tetap terhambat saat mendapatkan layanan?
Kurangnya transparansi menunjukkan bahwa sistem jaminan kesehatan saat ini berdiri di atas manajemen yang tidak sepenuhnya akuntabel. Ketika dana iuran disamakan dengan pendapatan korporasi, maka potensi penyalahgunaan menjadi terbuka lebar.


Akar Masalah : Sistem Kapitalisme Menjadikan Kesehatan Komoditas

Untuk memahami masalah ini secara menyeluruh, kita perlu melihat akar persoalannya: sistem kapitalisme.

Dalam logika kapitalisme:
  • kesehatan adalah komoditas,
  • rumah sakit adalah unit bisnis,
  • obat adalah produk pasar,
  • dan negara adalah fasilitator, bukan penanggung jawab.
Itulah mengapa:
  • biaya kesehatan sangat mahal,
  • rumah sakit berlomba menambah layanan premium,
  • obat-obatan dikuasai korporasi farmasi besar,
  • dan pemerintah mengalihkan beban biaya kepada masyarakat melalui iuran BPJS.
Di bawah sistem seperti ini, mustahil pelayanan kesehatan bisa murah atau gratis.
Yang terjadi justru sebaliknya: rakyat miskin semakin kesulitan mengakses layanan dasar, sementara pihak swasta semakin menikmati keuntungan sangat Kasus tunggakan BPJS di Bekasi adalah gambaran nyata dari konsekuensi sistemik ini.


Solusi Islam : Kesehatan adalah Hak Rakyat, Kewajiban Negara

Islam menawarkan paradigma yang sangat berbeda dengan kapitalisme. Dalam Islam, negara bukan sekadar fasilitator, tetapi ra’in—pelayan rakyat. Rasulullah ï·º bersabda: “Imam (khalifah) adalah pengurus rakyat, dan ia bertanggung jawab atas mereka.” (HR. al-Bukhari)

Konsep ini mengubah total cara negara melihat rakyat dan layanan kesehatan.
1. Kesehatan adalah kebutuhan dasar setara pangan dan keamanan
Karena kesehatan adalah kebutuhan primer, negara tidak boleh menjadikannya komoditas.
Negara wajib menyediakan:
  • rumah sakit,
  • obat-obatan,
  • tenaga medis,
  • fasilitas perawatan,
  • hingga pendidikan untuk tenaga kesehatan.
Semua ini harus diberikan secara gratis, tanpa diskriminasi, tanpa rujukan yang berbelit, dan tanpa iuran.

2. Pengelolaan kesehatan tidak boleh diserahkan ke pasar
Dalam Islam:
  • rumah sakit tidak boleh dikomersialkan,
  • tenaga medis tidak boleh dipaksa mengikuti tuntutan pasar,
  • obat-obatan tidak boleh menjadi alat monopoli industri farmasi,
  • dan rakyat tidak boleh dipaksa membayar iuran bulanan.
Negara bertanggung jawab penuh dalam pendanaan dan penyelenggaraan pelayanan kesehatan.

3. Kesehatan dibiayai dari Baitul Mal, bukan dari iuran rakyat
Pendapatan negara dalam Islam bersumber dari:
  • fai dan kharaj,
  • kepemilikan umum (tambang, energi, air),
  • jizyah,
  • dan lain-lain yang telah ditetapkan syariah.
Semua dana ini dikelola secara terpusat dan digunakan untuk memenuhi kebutuhan rakyat, termasuk kesehatan. Tidak ada istilah defisit iuran, tunggakan pembayaran, atau penghentian kepesertaan.

4. Kelalaian dalam pelayanan kesehatan adalah kezaliman
  • Ketika seorang pemimpin tidak memenuhi hak kesehatan rakyat, itu termasuk kedzaliman besar. Sebab nyawa manusia dalam Islam sangat mulia. Negara wajib memenuhi hak setiap individu:
  • tanpa memandang agama,
  • tanpa memandang kemampuan ekonomi,
  • tanpa memandang status sosial.
Ini adalah standar keadilan yang tidak dimiliki oleh sistem kapitalis.

Kisah tunggakan BPJS di Bekasi bukan kasus yang berdiri sendiri. Ia adalah bagian dari masalah nasional:
  • defisit BPJS,
  • pelayanan tidak merata,
  • birokrasi administrasi yang membingungkan,
  • rumah sakit swasta yang mahal,
  • dan pemerintah yang sering lepas tangan.
Semua ini adalah akibat dari sistem ekonomi yang salah dalam memandang kesehatan.
Swadaya warga tidak bisa menyelesaikan masalah.

Pemkab yang menutupi tunggakan Pemprov bukan solusi jangka panjang. Dan BPJS yang berbasis iuran tidak akan pernah menjamin kesehatan menyeluruh. Hanya ketika negara menjalankan fungsinya sebagai ra’in, barulah kesehatan benar-benar menjadi hak semua orang, bukan hanya mereka yang mampu membayar.

Islam telah memberikan sistem lengkap dalam mengatur jaminan kesehatan, pembiayaan negara, dan tanggung jawab pemimpin. Kini tinggal pertanyaan yang harus kita jawab bersama: Apakah kita siap kembali pada sistem yang menjadikan negara benar-benar pelayan rakyat, bukan sekadar fasilitator?





Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar