Oleh : Aisyah Falisha
Era digital telah menjadi kenyataan yang tidak bisa dihindari. Internet dan media sosial (sosmed) bukan lagi kemewahan, melainkan bagian dari kehidupan sehari-hari. Di Indonesia, data terbaru menunjukkan bahwa pada 2025 jumlah pengguna internet telah menembus 229,4 juta jiwa, atau setara dengan ~80,66% penduduk. Dari jumlah itu, kelompok Generasi Z (lahir 1997–2012) termasuk pengguna paling dominan.
Dengan akses digital sedemikian luas, banyak kemudahan yang muncul: belajar lebih fleksibel, informasi cepat diakses, komunikasi mudah, ruang berekspresi dan aktivisme terbuka — hal yang sebelumnya sulit bahkan tak terbayangkan. Generasi Z bisa menjadi pelopor perubahan, mampu menginisiasi gerakan sosial, menyuarakan tuntutan keadilan, hingga mengkampanyekan ide dan nilai melalui platform digital. Namun di balik itu semua, ada risiko besar: paparan budaya sekuler-kapitalistik, tekanan untuk tampil sempurna, konsumtifisme, konten merusak, serta potensi krisis mental.
Realitas ini menuntut kita berhenti memandang ruang digital sebagai netral. Media sosial bukan ruang kosong yang tak berpihak — ia dibentuk, diatur, dan dikomersialkan oleh sistem yang memiliki kepentingan: keuntungan, pasar, dan dominasi nilai. Karena itu, menghadapi tantangan ini perlu paradigma baru: paradigma yang menakar bukan dari seberapa laku sebuah postingan, tetapi dari seberapa jutaan generasi terbentuk dalam iman, akhlak, dan tanggung jawab.
Fakta : Internet Menyebar Luas, Gen Z Mendominasi — Potensi & Risiko Besar
Laporan survei terkini dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menunjukkan bahwa penetrasi internet di Indonesia terus meningkat: dari ~79,5% di 2024 menjadi ~80,66% di 2025. Dari total pengguna itu, Gen Z menjadi kelompok yang paling besar mewakili akses digital, dengan porsi ~25,54%.
Media sosial dan internet menjadi bagian sangat lekat dari kehidupan mereka — dipakai untuk belajar, komunikasi, hiburan, dan membangun identitas sosial. Mayoritas menggunakan ponsel pintar sebagai perangkat utama. Tak heran bila banyak anak muda merasa media sosial sebagai ruang ekspresi, kreativitas, bahkan tempat mencari sahabat, komunitas, atau pengakuan.
Namun kenyataan tidaklah seindah potensinya. Dalam artikel opini “Detikcom” berjudul “Gen Z dan Tekanan Media Sosial”, dijelaskan bahwa media sosial lebih sering menjadi arena kompetisi tak kasat mata: persaingan penampilan, tuntutan untuk ideal, perbandingan hidup, dan kebutuhan untuk selalu “eksis” — yang berujung pada tekanan mental, kecemasan, rendah diri, dan perasaan tidak pernah cukup.
Bagi banyak Gen Z, media sosial bukan lagi sekadar hiburan — melainkan sumber stres, beban psikologis, dan rasa bahwa diri mereka selalu kurang dibanding orang lain. Dalam konteks ini, digital bisa jadi berkah, tetapi lebih sering menjadi beban jika tak dikelola dengan baik.
Analisis : Ruang Digital sebagai Arena Kapitalistik, Bukan Arena Netral
Melihat fakta di atas, penting untuk menyadari: media sosial dan ruang digital pada dasarnya tidak netral. Ia dibentuk oleh korporasi, algoritma, dan sistem ekonomi kapitalistik — di mana keuntungan adalah tujuan utama. Ketika platform digital dirancang agar pengguna terus scroll, klik, menonton, membagikan — maka tujuan utamanya bukan mendidik atau membangun karakter, melainkan menjaga engagement, data, dan profit.
1. Digitalisasi di bawah dominasi nilai sekuler-kapitalistik
Nilai yang diusung oleh banyak konten populer di sosmed adalah kebebasan, konsumerisme, kesenangan instan, estetika, dan kepuasan diri. Nilai-nilai seperti iman, moralitas, tanggung jawab sosial, keadilan, dan kesederhanaan hampir tersisih. Generasi muda dihadapkan pada arus besar citra hidup ideal — punya gadget mahal, hidup glamor, gaya hidup bebas, dan konsumsi tinggi — sebagai standar “hidup ideal”.
Bagi remaja dengan ekonomi terbatas, tekanan untuk mengikuti standar ini bisa sangat besar. Untuk bisa “tampil”, “diakui”, atau “dianggap gaul”, banyak dari mereka tergoda meminjam, kredit, atau menghabiskan di luar kemampuan — bahkan mengambil jalan pintas melalui utang, konsumtifisme berlebihan, atau hidup melebihi kebutuhan.
2. Media sebagai pencetak identitas pragmatis & konsumtif
Ruang digital membentuk generasi dengan karakteristik pragmatis: apa yang viral, trending, atau punya engagement tinggi — dianggap bernilai. Bukan lagi nilai jangka panjang, moral, atau masyarakat, tetapi nilai popularitas, likes, dan validasi instan. Seorang remaja bisa berubah karakter hanya demi diterima dalam komunitas daring, atau hanya demi eksis sekejap.
Akibatnya, meskipun ada potensi aktivisme, kreativitas, atau kritik sosial dari Gen Z — banyak dari gerakan itu bersifat sementara, fragmentaris, atau menunjukkan pola “tren” yang cepat surut. Tidak ada landasan ideologis kuat yang menopang — sehingga ketika tekanan hidup meningkat, banyak yang mudah putus asa, terjerumus konsumtif, atau kehilangan arah.
3. Risiko bagi kesehatan mental dan identitas
Tekanan untuk selalu tampil baik, dibarengi eksposur konten tanpa filter, menyamarkan batas realitas dan harapan. Banyak remaja merasa tidak cukup — baik dari sisi fisik, sosial, maupun ekonomi. Perasaan tidak aman, minder, cemas, bahkan depresi bisa muncul. Media sosial membantu mempertebal luka batin, daripada menjadi ruang penyeimbang.
Dengan demikian, ruang digital bukan malah menjadi sarana penyelamat, melainkan jebakan besar bagi generasi yang belum punya pondasi pemahaman kokoh.
Potensi Gen Z : Aktivisme Glocal dan Kesempatan Berubah — Jika Dipandu dengan Benar
Meski banyak risiko, tidak berarti media digital hanya berisi sampah nilai. Realitas menunjukkan bahwa di tangan yang tepat, Gen Z mampu menunjukkan potensi besar:
> Mereka gampang belajar, menerima informasi, dan bereaksi cepat terhadap isu sosial.
> Banyak aktivisme “glocal”: dari kampanye sosial, peduli lingkungan, kritik kebijakan, hingga aksi nyata berbasis komunitas — dilakukan via media sosial.
> Kreativitas konten, produktivitas digital, pemikiran kritis, fleksibilitas — semua itu menjadi kekuatan bagi generasi ini jika diarahkan dengan baik.
Dengan demikian, generasi muda bukan harus dijauhi dari digital — justru digital bisa jadi alat ampuh untuk perubahan positif. Namun harus ada fondasi nilai yang kokoh agar potensi itu tidak luntur dibawa arus cepat konsumerisme dan hedonisme.
Konstruksi Solusi : Mengembalikan Paradigma ke Perspektif Islam — Menata Generasi, Media, dan Sistem
Jika akar masalah adalah dominasi sistem sekuler-kapitalistik yang merambat ke ruang digital, maka solusinya tidak cukup hanya dengan regulasi teknologi atau himbauan literasi digital. Yang dibutuhkan adalah paradigma baru — paradigma Islam — yang mengatur seluruh aspek kehidupan: aqidah, moral, sosial, sistem, dan teknologi.
1. Mengubah cara pikir: dari sekuler-konsumtif ke Islam sebagai world-view
Generasi harus dibimbing untuk melihat dunia bukan sebagai ajang konsumsi dan pencarian kesenangan, tetapi sebagai amanah, ujian, dan ladang kebaikan. Kehidupan bukan diukur dari popularitas, likes, atau jumlah FYP, tapi dari nilai kebermanfaatan, kejujuran, dan ketakwaan.
Dengan paradigma Islam, setiap tindakan dievaluasi berdasarkan halal/haram, manfaat bagi diri sendiri maupun masyarakat, tanggung jawab terhadap diri dan orang lain — bukan sekadar pencitraan atau kepuasan sesaat.
2. Pendidikan berbasis Islam: menanam akhlak, identitas, dan karakter jauh sebelum gadget
Pendidikan harus mencakup aspek spiritual, moral, akhlak, dan pemahaman identitas Islam — bukan sekadar literasi digital atau skill teknis. Ketika generasi hidup dengan pedoman aqidah, maka ketika mereka menjelajah dunia digital, mereka punya filter batin: mana konten yang bermanfaat, mana yang merusak; mana tindakan yang produktif, mana yang destruktif.
Mereka akan tumbuh tidak rapuh secara mental, tidak mudah terombang-ambing trend, dan memiliki kompas nilai yang jelas.
3. Infrastruktur digital dan regulasi dalam sistem Khilafah: media sesuai syariah, bukan kapitalisme platform
Dalam kerangka negara Islam (Khilafah), infrastruktur digital tidak dilepas bebas ke logika pasar. Media sosial, platform digital, iklan dan konten diatur agar tidak merusak moral, identitas, dan masa depan generasi.
Iklan konsumtif, konten liberalisme, pornografi, promosi gaya hidup hedon — tidak mendapat tempat. Algoritma bukan diatur untuk mengejar engagement dan profit, tapi untuk membawa manfaat, dakwah, kebaikan, dan edukasi.
Dengan regulasi dan kontrol berdasarkan syariat, ruang digital bisa dijadikan medan dakwah, pengetahuan, kolaborasi, dan produktivitas — bukan ladang konsumsi dan kesia-siaan.
4. Sinergi keluarga, masyarakat, dan negara: membangun komunitas iman dan tanggung jawab bersama
Selamatnya generasi dari pengaruh buruk digital bukan hanya urusan individu. Perlu sinergi tiga pilar: keluarga, masyarakat, dan negara. Orang tua dan keluarga mendidik, memberi kasih sayang, memberi teladan; masyarakat mendampingi, mengawasi, memberi lingkungan sehat; negara memberi regulasi, pendidikan sistematis, dan lingkungan sosial yang mendukung nilai.
Dengan kerja bersama ini, generasi muda tidak sendirian dalam menghadapi arus digital. Mereka punya komunitas yang peduli, saling menjaga, dan mendukung tumbuhnya karakter Islami.
Mengapa Paradigma Islam Lebih Layak daripada Sensor Parsial atau Regulasi Dangkal
Terkadang banyak orang menawarkan solusi cepat: batasi waktu penggunaan media sosial, edukasi literasi digital, undang-undang anti-konten negatif, atau regulasi iklan. Semua itu bagus — tapi bersifat fragmen, sementara masalah bersifat struktural.
Paradigma Islam menawarkan solusi holistik: bukan hanya mengendalikan media, tetapi membentuk manusia — akalnya, hatinya, moralnya — agar mampu menyaring, memilih, dan bertindak bijak dalam setiap kondisi. Dengan demikian, ketika generasi menghadapi gelombang konsumtifisme, liberalisme, tekanan sosial, konten negatif — mereka punya pondasi kuat untuk tidak terjerumus.
Selain itu, dengan sistem yang adil, ekonomi yang manusiawi, pendidikan berbasis moral, dan regulasi media sesuai syariat — ruang digital bisa menjadi sarana produktif, dakwah, kreativitas, dan kolaborasi. Bukan ladang keresahan, kecemasan, dan kerusakan moral.
Dengan paradigma ini, ancaman terbesar bukan lagi ruang digital itu sendiri, melainkan kesia-siaan moral yang muncul ketika manusia kehilangan kompas nilai.
Generasi Z — Antara Risiko Digital dan Peluang Peradaban Baru
Generasi Z bukan sekadar “generasi lemah” yang mudah terpengaruh konten pornografi, bullying, atau gaya hidup liberal. Mereka adalah generasi penuh potensi: kritis, adaptif, kreatif, dan mampu berinovasi. Tetapi potensi itu bisa hilang jika mereka terus dibentuk oleh ruang digital kapitalistik tanpa arah nilai.
Kita tidak bisa mengembalikan zaman ke masa tanpa internet — itu mustahil dan tidak relevan. Yang bisa kita lakukan adalah mengubah cara kita menyikapi internet dan media sosial; menjadikannya alat — bukan tuan — dalam kehidupan.
Dengan paradigma Islam, pendidikan akidah, regulasi media sesuai syariat, dan komunitas yang saling menjaga — kita bisa menjadikan era digital sebagai awal kebangkitan generasi Islami: generasi yang tangguh secara iman, akal, dan akhlak; generasi yang produktif, kreatif, bertanggung jawab; generasi yang menggunakan teknologi sebagai amanah, bukan sebagai jebakan.
Generasi Z bukan nasib — mereka masa depan. Bagaimana kita membentuk masa depan itu tergantung pilihan kita hari ini: tetap membiarkan arus digital menyeret, atau bangkit bersama membangun peradaban berdasarkan nilai.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.


0 Komentar