Oleh : Lia Julianti (Aktivis Dakwah Tamansari Bogor)
Dalam beberapa pekan terakhir, Indonesia kembali diguncang rangkaian bencana alam: banjir yang merendam permukiman, longsor yang menutup akses warga, hingga puting beliung yang memorak-porandakan rumah di berbagai daerah. Di sejumlah lokasi, warga masih terjebak dan belum terevakuasi akibat cuaca ekstrem yang menghambat tim penyelamat. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) maupun BPBD daerah mengakui proses evakuasi berjalan tersendat karena kendala medan, curah hujan tinggi, serta keterbatasan personel dan peralatan.
BNPB juga menambah jumlah alat berat menjadi delapan unit dan menurunkan anjing pelacak (K9) untuk mempercepat pencarian korban tanah longsor yang melanda Desa Cibeunying, Kecamatan Majenang, Cilacap. BNPB mengkonfirmasi data dari posko darurat di Majenang melaporkan setidaknya sampai dengan Jumat (14/11) malam ada sebanyak 20 orang korban hilang dalam pencarian. Operasi pencarian dilakukan dengan sangat hati-hati mengingat medan yang sulit dan ditambah masih diguyur hujan sedang-ringan sehingga rawan terjadi longsor susulan. (mediaindonesia.com, 15/11/2025)
Fenomena ini bukan sekadar rangkaian musibah alam yang datang bersamaan, tetapi cermin nyata rapuhnya tata kelola ruang dan lemahnya sistem mitigasi bencana nasional.
Di balik setiap banjir, longsor, atau angin kencang yang memakan korban, terdapat pola yang terus berulang: kerusakan ekosistem, alih fungsi lahan tanpa kajian ekologis, dan lemahnya pengawasan. Hutan gundul, daerah resapan air yang berubah menjadi permukiman, serta pembangunan yang mengabaikan analisis risiko menjadi pemicu utama.
Bencana alam sejatinya bukan murni fenomena alamiah, ia adalah hasil interaksi antara dinamika alam dan ulah manusia. Ketika ruang hidup dikelola dengan serampangan, maka bencana hanyalah persoalan waktu.
Lambannya evakuasi dan respons darurat mengonfirmasi bahwa mitigasi bencana Indonesia masih bersifat insidental, bukan sistemik. Pada tataran individu dan masyarakat, kesadaran mitigasi masih rendah. Pada level negara, kebijakan preventif tidak dijalankan secara konsisten. Banyak daerah rawan bencana tidak memiliki peta risiko yang mutakhir, jalur evakuasi memadai, atau peringatan dini yang efektif.
Ketergantungan penuh pada operasi tanggap darurat yang baru digerakkan setelah korban berjatuhan menunjukkan bahwa negara tidak menjadikan mitigasi sebagai prioritas strategis. Padahal keselamatan jiwa adalah mandat paling mendasar yang wajib dipenuhi pemerintah.
Islam memiliki perspektif yang lebih utuh dan seimbang dalam melihat bencana, mencakup dua dimensi yaitu ruhiyah dan siyasiyah. Pada dimensi ruhiyah bencana yang terjadi sejatinya Adalah tanda kekuasaan Allah SWT. Al-Qur’an mengajarkan bahwa bencana adalah bagian dari sunnatullah dalam kehidupan. Ia dapat menjadi ujian kesabaran, peringatan, maupun tanda kebesaran Allah. Di sisi lain, Islam juga menegaskan bahwa kerusakan di muka bumi seringkali muncul akibat ulah manusia (QS. Ar-Rum: 41).
Karenanya, edukasi ruhiyah menjadi penting dengan menumbuhkan kesadaran bahwa merusak lingkungan adalah dosa, dan menjaga alam adalah bagian dari amanah kekhalifahan.
Berikutnya dimensi siyasiyah yaitu kebijakan pengelolaan lahan dan mitigasi bencana. Islam menempatkan negara sebagai pihak yang bertanggung jawab penuh atas penjagaan jiwa rakyat. Dalam sistem pemerintahan Islam, mitigasi bencana dilakukan secara serius, ilmiah, dan menyeluruh. Negara wajib mengelola tata ruang sesuai prinsip keberlanjutan, memastikan kesiapan infrastruktur, mengembangkan sistem peringatan dini, dan memobilisasi sumber daya tanpa birokrasi berbelit. Negara tidak boleh membiarkan rakyat menghadapi bencana tanpa perlindungan memadai.
Ketika bencana benar-benar terjadi, Islam menegaskan bahwa negara wajib melakukan evakuasi cepat dan aman, memberikan bantuan pangan, tempat tinggal, dan layanan kesehatan secara layak, melakukan pendampingan psikososial, serta menjamin proses pemulihan hingga penyintas dapat menjalani kehidupan normal kembali. Negara tidak boleh hanya hadir pada seremonial atau pernyataan resmi, melainkan harus nyata memberikan perlindungan dan penyelesaian menyeluruh.
Berbagai bencana yang menimpa Indonesia menunjukkan bahwa persoalan yang kita hadapi bukan hanya gejala alam, tetapi krisis tata kelola dan keberpihakan kebijakan. Selama mitigasi hanya dipahami sebagai reaksi darurat, bukan sistem preventif yang terencana, maka penderitaan rakyat akan terus terulang. Wallahu’alam.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.


0 Komentar