Oleh: Ari Sofiyanti
Sekejap, kehangatan rumah yang nyaman dan tempat pulang saudara-saudara kita di tanah Sumatera diterjang hujan dan ditelan longsor. Harapan dan cita-cita yang bertahun-tahun dibangun dengan kerja keras dan keringat telah hanyut terseret air bah. Kini rakyat Sumatra tua-muda, anak-anak maupun dewasa tak bisa sekadar memenuhi kebutuhan pokok mereka. Bayangkan Ketika mereka terjebak di tengah lautan air bah tanpa makanan, tanpa minuman. Entah bagaimana mereka tidur atau membuang hajat. Bagaimana dengan yang sakit dan tak kuat bertahan di kondisi ekstrem ini?
Warga di Kampung Pantan Nangka, Kecamatan Linge, Aceh Tengah yang terisolir bahkan telah putus asa hingga berkata: “Sepertinya sekarang kami tidak butuh bantuan makanan lagi. Kirim kami kain kafan saja.”
Belum lagi korban bencana di Sumatera Utara, Sumatera Barat dan Aceh yang telah dilaporkan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) hingga Minggu pagi (7/12/2025) telah tercatat 916 orang meninggal dunia dan 274 orang masih hilang. (Liputan6.com)
Satu hal yang telah kita sadari, bencana ini bukan sekadar fenomena alam tetapi akumulasi dari kerusakan akibat kerakusan manusia! Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) dan kelompok aktivis lingkungan lainnya mengungkapkan pembabatan hutan secara ugal-ugalan dari tahun 2016-2025 di daerah Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat. Hutan seluas hampir 2 juta lapangan sepak bola telah lenyap! Demikianlah satu benua kecil ekologi dimana seharusnya alam berjalan sesuai perannya telah dihabisi.
Tidak hanya hutan Sumatera yang dibabat demi kepentingan elit oligarki, bahkan wilayah ini dikepung oleh industri tambang dan proyek-proyek ekstraktif lainnya (sawit, energi). Misalnya tambang batu bara dan konsesi pertambangan di Sumatera Selatan, Tanjung Enim Coal Mine. Kemudian PT Agincourt Resources yaitu Tambang emas Martable Gold Mine di Batang Toru Sumatera Utara.
Akan tetapi, penyebab kerusakan ekosistem tidak sesederhana itu. Yang menjadi masalah bukan hanya kerakusan oligarki yang bekerjasama dengan pejabat pemerintahan. Tetapi menguak lebih dalam ternyata semuanya bersumber dari satu penyebab utama yaitu sistem yang rusak! Sistem sekuler demokrasi kapitalisme yang menyebabkan ini semua. Adanya oligarki yang bebas mengambil keuntungan dari alam untuk kepentingan diri sendiri, mereka lahir dari kapitalisme. Adanya pemerintah zolim yang tergiur dengan kekuasaan dan kekayaan hingga mengorbakan rakyat, mereka juga lahir dari sistem ini. Lalu kerjasama antara keduanya berjalan di atas legalitas peraturan-peraturan produk sistem yang dinamakan sekuler demokrasi kapitalisme.
Sistem ini dibangun atas tiga kesalahan fatal yang mendasar. Pertama, asasnya sekuler yaitu memisahkan agama dari kehidupan. Artinya agama hanya mengatur ranah ritual belaka dan tidak boleh mengatur aspek lainnya misal politik, ekonomi dan sanksi. Kedua, tujuannya mengejar manfaat materiil. Standar baik buruknya diukur dari kepentingan manusia.
Faktanya hari ini negeri kita, sekalipun mayoritas muslim memang tidak memakai aturan Islam. Ukuran baik buruk dan benar salah bukan standar Islam, tapi apa yang menurut manusia terpandang adalah kekuasaan, kekayaan, kecantikan dan prestige. Karena standar perbuatan manusia dalam sistem ini adalah kepuasan fisik, maka orientasinya adalah mencari manfaat materiil. Hal inilah yang mempengaruhi dan mendorong manusia memiliki sifat rakus dan tamak.
Kerakusan kapitalis melahirkan regulasi berdasarkan kalkulasi untung rugi. UU Minerba, UU Ciptaker, regulasi investasi, semua lahir dari perdebatan akal dan nafsu manusia yang masing-masing punya kepentingan berbeda dan bisa berubah sewaktu-waktu bila kursi kekuasaan berganti. Maka benar bila dikatakan hukum sekuler demokrasi mudah disetir oleh pemerintah dan oligarki.
Inilah ironi dari negeri muslim saat ini. Kita pernah menjalani sebuah sistem sempurna yang diturunkan oleh Yang Maha Sempurna selama berabad-abad, bernama Islam. Namun sudah seabad terakhir ini kita meninggalkan sistem mulia itu dan menggantinya dengan sistem yang cacat dari akarnya.
Islam bukan sekadar agama ritual. Islam adalah ideologi kehidupan yang komprehensif mengatur seluruh aspek kehidupan. Mulai dari akidah, ibadah, politik, ekonomi hingga seluruh tata negara. Asasnya adalah akidah Islam dan tujuannya dalah meraih ridho Allah. Standar perbuatan manusia juga harus disesuaikan dengan baik buruk atau benar salah menurut Allah. Konsep Islam ini telah melahirkan sebuah umat yang yang diberi gelar ‘umat terbaik’ karena ketinggian akhlak dan kemuliaan hidupnya.
Umat muslim yang telah tersuasanakan oleh sistem Islam akan menjalankan hukum-hukum Islam secara amanah. Apalagi hukum Islam bersumber dari wahyu Allah dan telah disempurnakan oleh Allah sehingga aturan Islam tidak memberi ruang kepada manusia untuk sekehendaknya mengotak-atik aturan syariat. Islam telah dijamin lengkap, utuh dan konsisten aturan-aturannya untuk menjadi solusi bagi seluruh problem umat manusia.
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agamamu, telah Aku cukupkan nikmat-Ku kepada kamu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu.” (Al Maidah : 3).
Kita hidup hanya sekali, maka jangan salah memilih sistem. Kini kita telah melihat sendiri hasil dari salam adopsi sistem kapitalis: hutan habis, air menjadi bencana, pejabat mudah terbeli, dan rakyat menanggung penderitaan. Jika sistem sekuler kapitalistik terus dipertahankan, maka kerusakan yang lebih mengerikan niscaya terjadi.
Alam sedang memperingatkan kita. Sumatra hanyalah satu dari sekian luka yang menganga. Dan sebelum bumi ini benar-benar runtuh — kita harus kembali pada sistem yang memuliakan manusia dan menjaga alam: Islam sebagai ideologi dan aturan hidup.
Bukankah seharusnya telah jelas bagi kita bahwa sistem sekuler kapitalisme memiliki kekurangan cacat bawaan yang tidak bisa menjamin keadilan bagi manusia? Sedangkan Islam telah mendapat jaminan kesempurnaan dan rahmat dari Allah.
"Dan sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, niscaya Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatan mereka." (Al A’raf: 96)
Wallahu a’lam bishowab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.


0 Komentar