Sungai Bekasi Tercemar Sampah, TPS Bantar Gebang Menggunung, Dimana Negara?


Oleh : Lintang Kencana Wulandari

Tumpukan sampah yang menggunung di berbagai titik Kota Bekasi kembali menjadi sorotan publik. Sungai-sungai yang seharusnya menjadi sumber kehidupan berubah menjadi lorong limbah, penuh plastik sekali pakai, popok, styrofoam, hingga sampah rumah tangga yang mengapung tak henti. Fenomena ini bukan sekadar gangguan estetika kota, tetapi sinyal darurat lingkungan yang telah lama dibiarkan membesar tanpa arah penyelesaian yang menyeluruh.

Anggota Komisi II DPRD Kota Bekasi, Gilang Esa Mohamad, menegaskan bahwa kondisi tersebut merupakan tanda serius bahwa Bekasi sedang berada dalam situasi krisis lingkungan. Dalam laporannya, ia menilai tumpukan sampah di sungai-sungai Bekasi bukan lagi sekadar masalah perilaku warga, melainkan indikator bahwa sistem pengelolaan sampah di kota ini berada pada titik jenuh. Gilang mendorong dinas terkait untuk mengambil langkah cepat dan membangun sistem pengelolaan sampah yang terintegrasi dari hulu ke hilir, karena kondisi sungai yang kian tercemar berpotensi memperburuk kualitas hidup masyarakat sekaligus memicu banjir yang lebih parah di masa mendatang.

Masalah ini semakin diperburuk dengan membludaknya Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang dan TPA Sumur Batu, dua pusat pembuangan terbesar yang bertahun-tahun menjadi “paru-paru pembuangan” bagi warga Bekasi dan Jakarta. Kapasitasnya yang kian melebihi batas membuat sebagian warga nekat membuang sampah ke sungai—bukan karena tidak peduli, tetapi karena fasilitas pembuangan formal sudah tidak lagi mampu menampung laju produksi sampah harian yang terus meningkat.


Ledakan Sampah : Gejala Sistem yang Rusak, Bukan Sekadar Perilaku Warga

Jika akar masalahnya hanya perilaku warga, tentu edukasi, razia, atau sanksi administratif saja sudah cukup. Namun bertahun-tahun kampanye “jangan buang sampah sembarangan” tidak membawa perubahan berarti. Sungai tetap tercemar. TPS tetap penuh. Gunungan sampah tetap tumbuh. Ini menandakan bahwa persoalannya bukan pada disiplin individu semata, tetapi pada sistem yang melingkupi kehidupan masyarakat.

Dalam sistem ekonomi sekuler-kapitalistik, produksi dan konsumsi adalah dua roda utama yang harus dipacu tanpa batas. Perusahaan multinasional maupun lokal memproduksi barang berkemasan murah—namun sulit terurai—karena itulah yang paling menguntungkan. Plastik sekali pakai dipasarkan dalam jumlah fantastis, dari kemasan makanan ringan, botol minuman, kemasan belanja online, hingga kebutuhan rumah tangga lainnya.

Setiap tahun Indonesia menghasilkan lebih dari 68 juta ton sampah, dengan sekitar 18%-nya berupa plastik, menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Kota Bekasi sendiri menerima lebih dari 7.000 ton sampah per hari, sebagian besar dari wilayah Jakarta yang membuang ke Bantar Gebang. Ini bukan jumlah kecil, dan tidak mungkin diselesaikan hanya dengan memperluas tempat pembuangan.

Sementara perusahaan terus memproduksi dan memasarkan produk mereka, masyarakat didorong—bahkan dimanipulasi melalui iklan dan algoritma—untuk mengonsumsi sebanyak mungkin. Model bisnis kapitalistik menjadikan manusia sebagai mesin konsumsi, bukan sebagai makhluk yang mempertimbangkan dampak ekologis dari setiap barang yang dibelinya.

Belanja online yang semakin mudah selesai dengan sekali klik membuat volume pengiriman meningkat, dan dengan itu jumlah sampah kemasan juga melonjak drastis. Budaya minuman kekinian, makanan siap saji, dan layanan instan semuanya mengandalkan plastik sekali pakai. Gaya hidup konsumtif bukan muncul secara alami, melainkan dibentuk oleh pasar dan media yang mendorong perilaku instan, praktis, dan tidak mempertimbangkan dampaknya. Akibatnya, pertumbuhan sampah jauh lebih cepat daripada kemampuan pengelolaannya.

Di sisi lain, pemerintah cenderung hanya mengatasi sisi hilir—mengangkut sampah yang sudah terlanjur menumpuk—tanpa menyentuh akar persoalan yaitu kebijakan produksi dan kultur konsumsi yang merusak. Inilah wajah asli sistem kapitalisme: mengutamakan keuntungan jangka pendek, sekalipun harus mengorbankan kelestarian lingkungan dan kesehatan masyarakat.


Patologi Gaya Hidup Materialis: Sungai Rusak, Kualitas Hidup Merosot

Ketika manusia diposisikan sebagai konsumen yang harus terus membeli dan menghabiskan, nilai-nilai yang muncul bukan lagi kesederhanaan, tanggung jawab, atau kepedulian lingkungan, tetapi hedonisme dan materialisme. Pemenuhan keinginan dianggap lebih penting daripada pemenuhan kebutuhan. Dampaknya terasa nyata di berbagai aspek kehidupan masyarakat Bekasi:
  1. Sungai tercemar berat, menjadi tempat pembuangan berbagai jenis limbah padat.
  2. Kualitas air menurun, berdampak pada ekosistem sungai dan kesehatan masyarakat.
  3. Risiko banjir meningkat, karena sampah menyumbat aliran air.
  4. Kualitas udara menurun, terutama di sekitar TPA yang mengeluarkan gas berbahaya akibat tumpukan sampah organik.
  5. Kesehatan masyarakat terancam, dari penyakit kulit, infeksi saluran pernapasan, hingga masalah kesehatan jangka panjang akibat paparan lingkungan kotor.

Pemerintah selama ini hanya memadamkan masalah teknis, mulai dari pengerukan sungai, pembakaran sampah darurat, hingga penambahan anggaran kebersihan. Padahal akar persoalannya jauh lebih dalam, yaitu sistem ekonomi kapitalistik yang berorientasi pada profit, bukan kelestarian lingkungan.

Selama orientasi hidup masyarakat masih materialistik dan konsumtif, selama industri masih bebas memproduksi limbah kemasan tanpa kontrol syariah, selama negara hanya menjadi “pemadam kebakaran” dan bukan pengatur yang visioner, maka krisis sampah tidak akan pernah berakhir.


Islam sebagai Mabda’ : Mengubah Paradigma dari Konsumsi ke Amanah

Islam tidak memandang lingkungan sebagai komoditas ekonomi, tetapi sebagai amanah Allah SWT yang harus dijaga dan dipelihara. Al-Qur'an dengan tegas mengingatkan: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia…” (QS. Ar-Rum: 41)

Ayat ini menegaskan bahwa kerusakan lingkungan bukanlah fenomena alam yang terjadi begitu saja, tetapi konsekuensi langsung dari sistem dan perilaku manusia yang menyimpang dari aturan Allah.

Karena itu, penanganan masalah sampah harus dimulai dari mengembalikan Islam sebagai mabda’ (ideologi) yang mengatur seluruh aspek kehidupan. Ketika masyarakat memiliki cara pandang bahwa menjaga lingkungan adalah ibadah, maka mereka akan berhenti melihat sungai sebagai tempat sampah gratis dan mulai memandangnya sebagai amanah yang harus dilestarikan.

Dalam masyarakat Islam:
  • Konsumsi dikendalikan oleh kebutuhan riil, bukan keinginan tak terbatas.
  • Produksi barang harus memperhatikan dampak terhadap lingkungan.
  • Penggunaan barang sekali pakai diminimalkan.
  • Kontrol sosial terhadap perilaku menyimpang dilakukan melalui amar makruf nahi mungkar.
Masyarakat yang memahami tanggung jawab kolektif akan saling mengingatkan dan mencegah terjadinya kerusakan, bukan hanya mengandalkan intervensi negara.


Peran Negara dalam Sistem Khilafah : Menata Sampah Berbasis Syariah

Masalah sampah bukan bisa diselesaikan oleh masyarakat semata. Dibutuhkan peran negara yang tegas dan menyeluruh. Dalam sistem Khilafah, pengelolaan sampah tidak hanya teknis tetapi juga ideologis—yaitu memastikan bahwa setiap kebijakan mencerminkan amanah penjagaan lingkungan.

Ada tiga pilar utama yang dijalankan negara dalam pengelolaan sampah berbasis syariah:

1. Edukasi Berbasis Akidah
Pendidikan Islam akan membentuk generasi yang memahami bahwa:
  • Lingkungan adalah bagian dari amanah Allah.
  • Konsumsi harus sesuai kebutuhan, bukan dorongan hedonisme.
  • Membahayakan orang lain dengan membuang sampah sembarangan adalah tindakan haram.
Pendidikan seperti ini menciptakan masyarakat beradab yang mana perilaku menjaga lingkungan tumbuh dari kesadaran iman, bukan ketakutan akan denda.

2. Regulasi yang Menutup Pintu Industri Perusak
Khilafah akan:
  • Membatasi produksi barang yang terbukti merusak lingkungan.
  • Mewajibkan penggunaan kemasan yang dapat didaur ulang atau bersifat ramah lingkungan.
  • Melarang perusahaan mengalihkan limbah kepada masyarakat.
  • Mencegah monopoli dan mencegah ketergantungan pada industri berkemasan plastik.
Berbeda dengan negara kapitalis yang takut menolak perusahaan karena alasan investasi, Khilafah menetapkan hukum berdasarkan halal-haram, bukan untung-rugi.

3. Pengelolaan Teknis dengan Teknologi Terbaik dan Pendanaan Baitul Mal
Negara bertanggung jawab penuh atas:
  • Penyediaan infrastruktur daur ulang modern.
  • Pembangunan TPS dan TPA sesuai standar kesehatan dan lingkungan.
  • Pengangkutan sampah secara rutin dan merata.
  • Penyediaan teknologi zero waste dan waste-to-energy yang aman.
Pendanaan berasal dari Baitul Mal, bukan dari pungutan rakyat atau kerjasama dengan korporasi kapitalistik. Tujuannya bukan sekadar efisiensi ekonomi, tetapi memastikan hak rakyat untuk hidup di lingkungan yang bersih dan sehat.


Mengarah pada Zero Waste : Bukan Mimpi, tetapi Kewajiban Syariah

Dengan pendekatan syariah yang komprehensif dari hulu ke hilir—mulai dari gaya hidup, produksi industri, hingga pengelolaan teknis—Khilafah dapat mendorong tercapainya kondisi minim sampah (zero waste). Tujuannya bukan sekadar kebersihan kota, tetapi pemenuhan amanah sebagai khalifah di bumi.

Sungai akan kembali bersih. Udara kembali segar. Kota Bekasi dan seluruh wilayah Muslim akan menjadi lingkungan yang layak huni, jauh dari ancaman banjir dan krisis limbah.

Darurat sampah di Bekasi bukan persoalan lokal, bukan sekadar tumpukan plastik, dan bukan sekadar perilaku buruk warga. Ini adalah krisis sistemik akibat sistem kapitalisme yang menempatkan keuntungan di atas keseimbangan alam, dan memposisikan manusia sebagai mesin konsumsi. Jika akar masalahnya adalah sistem, maka solusinya juga harus sistemik.

Islam menawarkan jawaban terlengkap dan paling manusiawi, melalui perubahan paradigma, perubahan gaya hidup, dan perubahan struktur negara. Hanya dengan kembali kepada hukum Allah, umat bisa keluar dari lingkaran kerusakan lingkungan yang terus berulang. Khilafah bukan sekadar opsi, tetapi kebutuhan mendesak bagi masa depan lingkungan, kesehatan masyarakat, dan keberlangsungan hidup generasi yang akan datang.






Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar