Harga Sayuran Naik, Penghasilan Tetap: Realitas Pahit Akhir Tahun di Sistem Kapitalisme


Oleh: Dini Koswarini 

Sejumlah pasar tradisional di Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, belakangan ini mencatat lonjakan harga sayur-mayur yang signifikan menjelang akhir tahun.

Salah satu komoditas yang paling mencolok adalah cabai rawit merah, yang menurut laporan semula dijual sekitar Rp 40.000 per kilogram, namun kini di pasar tradisional dijual mendekati Rp 70.000 per kilogram. (Tribun Jabar, 1/12/2025) 

Kenaikan harga ini tidak hanya terjadi di Purwakarta, di berbagai daerah di Indonesia harga cabai dan sayuran pokok lainnya juga menunjukkan tren naik, terutama ketika pasokan terganggu oleh cuaca, musim penghujan, atau gangguan distribusi.

Kondisi seperti ini tentu membawa dampak nyata bagi masyarakat, khususnya kelompok dengan pendapatan menengah ke bawah. Ketika harga bahan dapur seperti cabai dan sayuran terus merangkak, daya beli masyarakat melemah. 

Uang belanja sehari-hari yang dulu mungkin cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi dan variasi makanan, kini harus lebih banyak dialokasikan hanya untuk membeli sayuran dan bumbu dapur. 

Akibatnya, bagi keluarga yang pendapatannya sudah pas-pasan, bisa terpaksa mengurangi konsumsi sayuran atau memilih bahan makanan yang lebih murah namun kurang sehat. Situasi ini bisa mempengaruhi gizi keluarga, pola makan, bahkan kualitas hidup dalam jangka panjang.

Lebih jauh, kenaikan harga yang tajam dalam waktu singkat menunjukkan betapa rapuhnya sistem ketahanan pangan di bawah mekanisme pasar bebas yang rentan fluktuasi. Sistem distribusi dan rantai pasok pangan di banyak daerah tampaknya tidak memiliki bantalan yang kuat untuk meredam gejolak akibat faktor alam, seperti musim hujan, gagal panen, atau cuaca ekstrem maupun gangguan logistik. 

Maka berikutnya yang akan terjadi ketika pasokan berkurang ialah harga melambung, sehingga ketika permintaan tetap tinggi atau stabil, konsumen kecil terguncang. Dalam kondisi semacam itu, seharusnya peran negara sebagai penjamin stabilitas pangan dan pelindung masyarakat ekonomi lemah menjadi sangat krusial, tetapi kenyataannya sering tampak kurang mendesak.

Fenomena ini kemudian membuka pertanyaan besar tentang efektivitas sistem ekonomi yang diterapkan khususnya sistem pasar liberal/kapitalis dalam menjamin kesejahteraan rakyat. Di bawah logika pasar, harga ditentukan semata-mata berdasarkan mekanisme suplai dan permintaan, tanpa mempertimbangkan aspek keadilan sosial atau hak dasar rakyat terhadap pangan yang terjangkau. 

Maka ketika harga komoditas melonjak, mereka yang paling terdampak adalah masyarakat kecil, sedangkan pihak yang diuntungkan umumnya para tengkulak, pedagang, atau pelaku distribusi. Inilah titik rawan dari sistem yang terlalu mengandalkan mekanisme pasar tanpa regulasi sosial dan tanggung jawab negara.

Melihat kenyataan itu, dibutuhkan sebuah perubahan dalam cara kita memandang dan mengelola ekonomi pangan. Pemerintah perlu mengambil peran aktif, bukan hanya sekadar sebagai pengamat atau fasilitator, melainkan sebagai pelindung rakyat. 

Intervensi dari hulu sampai hilir perlu diperkuat, mulai dari mendukung petani agar produksi tetap stabil meskipun menghadapi cuaca ekstrem, subsidi pupuk dan irigasi, sampai membangun infrastruktur yang menjamin distribusi berjalan lancar tanpa penundaan atau kerusakan. Dengan demikian fluktuasi panen tidak langsung berubah menjadi lonjakan harga di pasar.

Langkah lain yang tak kalah penting adalah membangun mekanisme cadangan pangan, baik itu nasional maupun daerah, terutama untuk komoditas rentan seperti sayuran segar dan cabai. 

Cadangan ini bisa dilepas saat terjadi krisis pasokan akibat cuaca atau bencana alam, mencegah lonjakan harga secara drastis, dan menjaga akses pangan bagi masyarakat kecil. Regulasi pasar juga harus diperkuat agar praktik spekulasi harga, penimbunan, atau monopoli distribusi bisa dicegah.

Namun di luar intervensi struktural, kita juga bisa mulai mempertimbangkan sistem ekonomi alternatif, yang tidak semata mengutamakan keuntungan modal, melainkan keadilan sosial, keberlanjutan, dan kesejahteraan bersama. 

Apabila dijalankan secara konsisten berpotensi meminimalkan ketimpangan akibat fluktuasi harga dan memberikan jaring pengaman sosial bagi mereka yang rentan.

Pada akhirnya, lonjakan harga sayuran seperti cabai rawit bukan sekadar soal naik-turunnya angka di pasar, melainkan gambaran nyata bagaimana sistem ekonomi dan kebijakan publik mempengaruhi kehidupan rakyat kecil sehari-hari. Saat harga pangan bisa melambung tanpa kendali, masyarakat kecil yang paling merasakan akibatnya. 

Jika kita ingin mencegah krisis pangan tersamar dan ketidakadilan ekonomi, maka sudah saatnya kita memperkuat peran negara dan mempertimbangkan sistem yang lebih adil dan manusiawi, agar dapur rakyat tidak lagi tercekik oleh harga.

Sebab kenaikan harga sayur-mayur, terutama cabai rawit di wilayah seperti Purwakarta bukan sekadar fenomena musiman. Kondisi ini mencerminkan kerentanan struktur produksi dan distribusi pangan, kelemahan regulasi pasar, serta ketimpangan dalam sistem ekonomi yang lebih mengutamakan keuntungan modal daripada kesejahteraan rakyat.

Mengatasi persoalan ini butuh komitmen nyata dari pemerintah, bukan hanya janji, tetapi tindakan melalui intervensi produksi, distribusi, regulasi, dan kebijakan yang berpihak pada masyarakat. Jika dikelola dengan baik, seperti sistem ekonomi Islam tentu kita bisa menciptakan ketahanan pangan sejati dan kehidupan yang lebih sejahtera bagi rakyat.

Wallahu a'lam bisshawab



Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar