Era Digital: Pemanfaatan Teknologi Sesuai Syari'at Islam


Oleh: Ai Sopiah 

Generasi Z dikenal sebagai generasi yang paling dekat dengan teknologi dan media sosial. Mereka tumbuh dalam era digital yang memberikan kebebasan berekspresi tanpa batas. Melalui berbagai platform seperti Instagram, TikTok, dan Twitter, mereka dapat menampilkan identitas, minat, serta pandangan hidup mereka secara luas. Namun, di balik kebebasan ini, muncul pertanyaan besar apakah mereka benar-benar bebas atau justru semakin terjebak dalam tekanan sosial yang diciptakan oleh media sosial itu sendiri?

Fenomena ini menunjukkan bahwa meskipun media sosial memberikan ruang untuk berekspresi, realitasnya sering berbeda bagi Gen Z. Media sosial bukan hanya tempat untuk berekspresi, tetapi juga arena persaingan yang tak terlihat. Standar kecantikan yang nyaris sempurna, gaya hidup mewah yang dipertontonkan, serta tuntutan untuk selalu tampil menarik sukses menciptakan tekanan yang luar biasa bagi Gen Z.

Banyak dari mereka merasa harus mengikuti tren tertentu agar diterima oleh lingkungan sosialnya, bahkan jika itu bertentangan dengan keinginan dan kenyamanan pribadi mereka. Akibatnya, media sosial yang seharusnya menjadi sarana ekspresi justru berubah menjadi ruang yang penuh tekanan di mana citra diri seseorang sering ditentukan oleh jumlah like, komentar, dan follower.

Dampak dari tekanan ini terlihat jelas dalam bagaimana Gen Z memandang diri mereka sendiri, terutama dalam hal citra tubuh dan gaya hidup. Lebih dari sekadar kebebasan berekspresi, gaya hidup Gen Z saat ini telah dipengaruhi oleh algoritma dan ekspektasi sosial yang tidak selalu realistis.

Banyak individu yang merasa perlu membandingkan diri mereka dengan orang lain di media sosial, yang pada akhirnya dapat memicu kecemasan, rendah diri, bahkan depresi. Dengan demikian, kebebasan yang ditawarkan media sosial sejatinya hanyalah ilusi. Alih-alih selalu bebas berekspresi, Gen Z justru semakin dikendalikan oleh tekanan sosial media yang menuntut kesempurnaan dalam berbagai aspek kehidupan mereka.

Salah satu dampak terbesar dari tekanan media sosial adalah ketidakpuasan terhadap diri sendiri, terutama dalam hal citra tubuh dan gaya hidup. Standar kecantikan yang dipromosikan melalui media sosial mendorong remaja untuk membandingkan diri mereka dengan figur-figur ideal yang sering kali telah melalui proses penyuntingan atau filter digital. Akibatnya, banyak remaja merasa harus memenuhi ekspektasi ini agar dapat diterima oleh lingkungan mereka, meskipun hal tersebut bertentangan dengan kondisi mereka yang sebenarnya.(detiknews, 21/04/2025).

Paparan masif media sosial di kalangan generasi muda memang memberikan ruang untuk berekspresi juga menjadi arena persaingan yang tak terlihat. Media sosial bukan hanya membentuk cara berpikir, bersikap, dan gaya hidup mereka, tetapi juga memengaruhi cara mereka memahami agama. Pola belajar agama yang dulu bertumpu pada guru dan majelis ilmu, kini bergeser pada algoritma media sosial yang tentunya tidak bebas nilai.

Hari ini kita hidup dalam sistem sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan, sistem yang mencabut potensi generasi muda dari fitrahnya. Nilai sekuler mengajarkan agama itu urusan pribadi. Di medsos berseliweran konten yang menyatakan bahwa kebenaran itu relatif. Padahal dalam Islam, kebenaran itu bersifat tetap, tidak relatif.

Medsos juga memberikan standar rusak yang penting viral, bukan benar. Generasi muda dijejali beragam konten tiap hari. mulai dari gaya hidup hedonistik, bebas, dan semaunya. Terlebih membandingkan diri dengan orang lain. Yang mengikuti standar orang lain, bukan menggunakan standar yang sudah Allah SWT. berikan yakni aturan Islam. Akibatnya generasi muda mudah overthinking, haus validasi, tapi minim refleksi diri banyak berpikir, tapi salah arah, dan sebagainya.

Selain berdampak pada citra diri, tekanan sosial dari media digital juga berkontribusi terhadap meningkatnya masalah kesehatan mental di kalangan Gen Z. Rasa cemas, stres, bahkan depresi sering kali muncul akibat tekanan untuk selalu aktif dan "sempurna" di media sosial. Hal ini semakin mengkhawatirkan karena berbagai survei menunjukkan adanya peningkatan gangguan mental di kalangan remaja akibat tekanan dari lingkungan digital.

Di balik riuhnya dunia media sosial, ada para kapitalis yang mengeruk cuan. Menurut Forbes (akhir November 2025), peringkat teratas orang terkaya diduduki oleh raksasa pemilik media sosial dunia, Google, YouTube, dan Meta. Lihat saja kekayaan CEO Meta Mark Zuckerberg yang mengalami peningkatan USD12 miliar menjadi USD267 miliar atau setara Rp4.375 triliun. Kekayaannya melebihi belanja APBN Indonesia 2025.

Para kapitalis pun membidik generasi muda sebagai pasar strategis untuk menumpuk kekayaan. Barat (AS) sebagai pengusung ideologi rusak kapitalisme dengan sistem sekuler liberal sebagai asasnya berusaha untuk mengekspor nilai-nilai rusak (liberalisme, hedonisme, permisif, dll.) ke negeri-negeri muslim. Sarana yang tepat untuk menancapkan ke dalam tubuh generasi muda melalui medsos.

Apa tujuannya? Tentu untuk menancapkan nilai-nilai yang bertolak belakang dengan standar syariat. Alhasil, generasi muda muslim akan jauh dari Islam, bahkan meninggalkan Islam. Potensi besar generasi muda sebagai pelopor perubahan akan mati. Geliat kontribusi untuk kebangkitan umat berganti menjadi mangsa pasar empuk bagi cuan kapitalis. Generasi muslim akan dibajak sebagai pengokoh sistem rusak sekuler kapitalisme dengan dijadikan budak digitalisasi. Berbeda halnya dengan peraturan yang menggunakan sistem Islam didalam sebuah kehidupan.

Seperti halnya negara (Khilafah) memiliki fungsi utama sebagai raa’in (pengurus rakyat) dan junnah (pelindung/perisai). Hal ini disabdakan oleh Rasulullah Saw. “Sesungguhnya seorang imam itu [laksana] perisai. Dia akan dijadikan perisai, di mana orang akan berperang di belakangnya, dan digunakan sebagai tameng. Jika dia memerintahkan takwa kepada Allah dan adil, maka dengannya, dia akan mendapatkan pahala. Tetapi, jika dia memerintahkan yang lain, maka dia juga akan mendapatkan dosa/azab karenanya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Berdasarkan sabda Nabi Saw. tersebut, seluruh kebijakan Khilafah dirancang untuk menjaga dan menyelamatkan generasi. Perlindungan ini tidak hanya berlaku di dunia nyata, melainkan juga mencakup ruang digital yang hari ini menjadi lingkungan hidup utama bagi anak muda. Dengan visi ideologis yang jelas, Khilafah akan memastikan bahwa setiap kebijakan digital, pendidikan dan informasi selalu berpihak pada penjagaan akidah, akhlak, dan intelektualitas umat.

Khilafah adalah negara independen yang tidak bergantung pada kekuatan asing, termasuk dalam bidang teknologi digital. Kemandirian ini memungkinkan negara untuk mengembangkan sendiri infrastruktur digital, perangkat lunak, keamanan siber dan teknologi kecerdasan buatan, semua ditujukan sepenuhnya untuk kemaslahatan Islam dan kaum muslim.

Pada dunia pendidikan, riset dan inovasi akan mendapat dukungan penuh dari negara. Teknologi akan menjadi alat penguatan umat, bukan instrumen penjajahan budaya maupun politik. Dalam pengelolaan ruang digital, negara akan melakukan penyaringan ketat terhadap seluruh konten yang merusak akidah, kepribadian Islam, dan struktur sosial umat menggunakan teknologi yang paling mutakhir. Ruang digital diarahkan menjadi sarana pendidikan Islam, penyebaran dakwah, dan media propaganda negara untuk menunjukkan kekuatan peradaban dan ketangguhan umat Islam kepada dunia.

Penegakan syariat Islam secara kaffah akan menghilangkan akar-akar kerusakan yang saat ini subur di ruang digital, baik pornografi, kriminalitas, penipuan, maupun liberalisasi. Oleh karena itu, perjuangan menegakkan Khilafah bukan sekadar kewajiban syar’i, melainkan juga kebutuhan mendesak demi menyelamatkan generasi dari kehancuran peradaban modern.

Rasulullah Saw. bersabda, “Manfaatkan lima perkara sebelum lima perkara: waktu mudamu sebelum datang masa tuamu.” (HR. Al-Hakim dan Al-Baihaqi).

Generasi muda memiliki potensi luar biasa. Kekuatan fisik, puncak vitalitas, energi, dan mental. Rasulullah Saw. membina para sahabat dengan ideologi Islam sehingga terbentuk sosok tangguh seperti Ali bin Abi Thalib yang rela tidur di ranjang Nabi saat malam Hijrah (usia belasan tahun). Usamah bin Zaid memimpin pasukan besar pada usia 18 tahun. Para pemuda Ashabul Kahfi yang berjuang menolak sistem kufur.

Mereka semua bukan cerita fiksi atau superhero dalam film Marvel. Mereka adalah manusia teladan, role model bagi generasi era sekarang. Sudah saatnya pemuda muslim hari ini menyadari bahwa mereka bukanlah objek penjajahan digital, melainkan subjek perubahan menuju kebangkitan Islam, sebagaimana generasi pendahulu mereka.

Potensi pemuda muslim yang dahsyat ini tentu hanya bisa diaktivasi dengan adanya pembinaan Islam kaffah. Pembinaan akan mampu membentuk identitas mereka sebagai seorang muslim. Membentuk cara berpikir dan berperilaku islami sehingga terbangun kesadaran dalam diri generasi bahwa Allah tidak menciptakan mereka sebagai sekadar follower, tapi pemimpin di muka bumi.

Allah SWT. berfirman,
وَاِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ اِنِّيْ جَاعِلٌ فِى الْاَرْضِ خَلِيْفَةً
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” (QS. Al-Baqarah: 30).

Pembinaan Islam kaffah juga akan mampu mencetak generasi pejuang yang layak untuk mengemban dakwah. Dakwah untuk menegakkan kembali Khilafah Islamiyah akan menjadi perisai untuk melindungi generasi dan mengembalikan posisinya sebagai pemimpin peradaban yang mulia.

Generasi muda adalah sebagai agen perubahan dan akan menjadi generasi cerdas yang memanfaatkan teknologi dengan baik dan benar tanpa keluar dari batasan syari'at. Sudah saatnya pemuda muslim sekarang menjadi pelopor perubahan. Untuk kehidupan yang sejahtera tanpa diperbudak oleh kekuatan barat dan sistem liberal yang menjerumuskan manusia kepada lubang berbahaya. Dengan demikian mari semua kalangan generasi penggerak perubahan untuk mengkaji Islam secara kaffah, menjadi pelopor perubahan umat, dan menegakkan kembali aturan Islam.

Wallahua'lam bishshawab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar