Menunda Pernikahan di Tengah Himpitan Biaya Hidup


Oleh : Diana Kamila

Fenomena generasi muda yang menunda bahkan menghindari pernikahan kian menguat dalam beberapa tahun terakhir. Banyak anak muda menilai kestabilan ekonomi sebagai syarat utama sebelum menikah. Tekanan biaya hidup, harga hunian yang tinggi, serta ketatnya persaingan kerja membuat pernikahan dipersepsikan sebagai keputusan berisiko secara finansial. Pandangan ini diperkuat oleh narasi populer seperti “marriage is scary” yang marak di media sosial dan ruang publik.

Data menunjukkan bahwa jumlah pernikahan di Indonesia mengalami penurunan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah pernikahan pada tahun 2023 menurun dibandingkan tahun sebelumnya, yang mengindikasikan melemahnya minat generasi muda terhadap pernikahan (Kompas.id, 2024). Selain itu, laporan Kompas juga menyoroti bahwa banyak anak muda lebih takut jatuh miskin dibandingkan takut tidak menikah, karena realitas ekonomi yang semakin menekan.

Kondisi ini tidak dapat dilepaskan dari sistem ekonomi kapitalisme yang berlaku saat ini. Kapitalisme mendorong tingginya biaya hidup, sementara lapangan kerja layak semakin terbatas dan upah sering kali tidak sebanding dengan kebutuhan dasar. Negara cenderung berperan minimal dalam menjamin kesejahteraan rakyat, sehingga beban ekonomi sepenuhnya dipikul oleh individu. Akibatnya, pernikahan dipandang sebagai beban tambahan, bukan sebagai kebutuhan sosial yang perlu difasilitasi.

Di sisi lain, gaya hidup materialistis dan hedonis turut tumbuh subur melalui sistem pendidikan sekuler dan pengaruh media liberal. Kesuksesan hidup diukur dari kepemilikan materi dan standar gaya hidup tertentu. Dalam kerangka ini, pernikahan kehilangan makna spiritual dan sosialnya, lalu direduksi menjadi persoalan kesiapan finansial semata.

Persoalan ini sejatinya menuntut solusi sistemik. Negara perlu hadir secara aktif dalam menjamin kebutuhan dasar rakyat dan membuka lapangan kerja yang luas. Penerapan sistem ekonomi Islam menawarkan pendekatan berbeda, di mana negara bertanggung jawab mengelola kepemilikan umum untuk kepentingan rakyat. Pengelolaan milkiyyah ammah oleh negara, bukan swasta atau asing, memungkinkan hasilnya digunakan untuk menekan biaya hidup dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Selain itu, pendidikan berbasis aqidah penting untuk membentuk generasi yang berkarakter dan tidak terjebak dalam materialisme serta hedonisme. Dengan fondasi nilai yang kuat, generasi muda akan memandang pernikahan sebagai ibadah dan jalan menjaga keturunan. Penguatan institusi keluarga pun menjadi krusial agar pernikahan kembali dipahami sebagai ladang kebaikan, bukan momok yang menakutkan.

Ketakutan generasi muda terhadap pernikahan sejatinya bukan persoalan individu semata, melainkan dampak dari sistem ekonomi yang tidak adil. Selama kapitalisme masih menjadi pijakan utama, problem ini akan terus berulang. Oleh karena itu, perubahan sistem menuju tatanan yang lebih adil dan menenteramkan menjadi kebutuhan mendesak.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar