Menakar Efektivitas PP TUNAS Bagi Keamanan Digital Anak


Oleh : Ni'matul Afiah Ummu Fatiya (Pemerhati Kebijakan Publik)

Sungguh menyedihkan! Ternyata bullying tidak hanya terjadi di dunia nyata. Namun, terjadi  pula di dunia Maya atau ruang digital. Seperti yang terjadi pada seorang remaja bernama Denta Mulyatama. Sebagai anggota Forum Anak Sukowati (Forasi) Sragen, ia ikut menyuarakan perlindungan anak dari bahaya rokok saat bertemu Bupati Sragen empat tahun lalu. Namun, bukan dukungan yang ia dapat justru ia menjadi objek sasaran cyberbullying atau perundungan daring oleh netizen. Beragam komentar bernada ejekan dan hinaan membanjiri unggahan yang menampilkan aksinya. Hal tersebut cukup berdampak besar padanya. Bahkan,  membuatnya takut untuk kembali menyuarakan pendapatnya di ruang publik. KOMPAS.com, Sabtu (6-12-2025).


Ancaman Cyberbullying 

Kisah Denta hanyalah satu contoh dari banyak contoh nyata betapa rentannya anak-anak Indonesia terhadap ancaman perundungan siber (Cyberbullying), bahkan untuk aktivitas positif sekalipun.  

Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) Meutya Hafid mengungkapkan data terbaru dari United Nations Children's Fund (UNICEF) bahwa sebanyak 48 persen anak-anak di Indonesia pernah mengalami cyberbullying. UNICEF juga mencatat bahwa anak-anak di Indonesia rata-rata menggunakan internet selama 5,4 jam/hari, dan 50 persen di antaranya pernah terpapar konten dewasa. 

Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) sendiri mencatat telah menangani sebanyak 596.457 konten pornografi di ruang digital. Dalam rentang waktu dari 20 Oktober 2024 hingga 6 Oktober 2025. 

Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa 89 persen anak usia lima tahun ke atas di Indonesia sudah menggunakan internet. Mayoritas mereka sudah mengakses media sosial. Tingginya akses digital tanpa pengawasan orangtua ini, membuat anak berisiko besar terpapar konten negatif seperti pornografi dan judol, serta perundungan daring.


Munculnya PP TUNAS 

Menyadari makin meningkatnya ancaman digital kepada anak-anak, maka pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2025 (PP TUNAS). Pemerintah, dalam hal ini komdigi memandang PP TUNAS sebagai perisai lawan kejahatan digital pada anak.

Meutya menegaskan bahwa PP TUNAS yang ditandatangani pada 28 Maret 2025 ini adalah bukti keseriusan pemerintah dalam melindungi anak-anak dari kejahatan di ruang digital. 
 
PP TUNAS merupakan peraturan pemerintah yang mengatur tentang tata kelola penyelenggaraan sistem elektronik dalam perlindungan anak. Tujuannya adalah untuk melindungi anak-anak di ruang digital seperti media sosial dan game online dari konten yang berbahaya.

Melalui PP TUNAS, pemerintah mewajibkan platform digital sebagai Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) mengambil langkah aktif untuk melindungi anak. Mulai dari menyaring konten berbahaya, menyediakan fitur pelaporan yang mudah diakses , serta menjamin proses penanganan laporan secara cepat dan transparan. Selain itu, platform digital juga harus menerapkan verifikasi usia serta membatasi aksesnys agar anak tidak terpapar konten negatif. Penundaan akses masuk platform digital bagi anak usia 13–18 tahun dinilai penting oleh pemerintah. Pemerintah juga dapat menjatuhkan sanksi administratif bahkan pemblokiran bagi platform yang melanggar. 


Solusi yang Mengambang 

Salah satu aspek terpenting dalam PP TUNAS adalah tentang pengklasifikasian usia dan tingkat risiko platform digital. Dalam ketentuan tersebut, disebutkan sebagai berikut:
1. Anak usia di bawah 13 tahun hanya boleh mengakses platform yang sepenuhnya aman seperti situs edukasi. 
2. Untuk usia 13-15 tahun,  dibolehkan mengakses platform dengan risiko rendah hingga sedang. 
3. Usia 16-17 tahun bisa mengakses platform berisiko tinggi dengan pendampingan orang tua.
4. Usia 18 tahun ke atas dapat mengakses semua platform secara independen.

Namun, meskipun demikian, PP TUNAS tidak menyebutkan secara spesifik platform mana yang tergolong rendah, sedang, atau tinggi. Platform yang ada seperti X, Instagram, atau YouTube malah diminta melakukan evaluasi mandiri dan melaporkan hasilnya ke Komdigi. Artinya, masyarakat belum mengetahui secara pasti media sosial mana yang aman untuk usia anak mereka.

Selain itu, dalam implementasinya PP TUNAS akan diberlakukan secara bertahap. Hal itu diungkapkan oleh Dirjen Pengawasan Digital Komdigi, Alexander Sabar. Ia mengatakan bahwa PSE diberikan waktu penyesuaian selama dua tahun untuk menyesuaikan sistemnya. CNBC Indonesia, (22-10-2025). Menurutnya, tanggung jawab utama ada pada penyelenggara platform digital. 

Sementara itu , Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Ekspression Network (SAFEnet) Nenden Sekar Arum menyoroti ketidakjelasan mekanisme pengawasan dan sanksi bagi platform media sosial. Menurutnya, tanpa transparansi, kebijakan ini berpotensi disalahgunakan untuk menekan pihak tertentu.


Akar Masalah 

Sesungguhnya, akar masalah generasi saat ini adalah karena penerapan sistem sekuler kapitalis yg memisahkan agama dari kehidupan. Hal ini membuat pemahaman dan tingkah laku generasi jauh dari nilai-nilai agama. Belum lagi kehadiran sosmed yang lebih banyak menghadirkan konten negatif niredukasi menyusup ke ruang-ruang pribadi tanpa filter sama sekali.

Sistem sekuler juga telah menjadikan standar kebahagiaan itu diukur dengan banyaknya materi yang bisa diraih. Tidak heran ketika banyak generasi yang terjerumus ke dalam gaya hidup hedonis. Standar halal haram tidak lagi menjadi pertimbangan. Sementara negara yang seharusnya melindungi generasi dari paparan buruk medsos, justru hanya sebatas mengeluarkan kebijakan mengambang tanpa disertai sanksi tegas. Semua itu karena paradigma kapitalis yang mengukur segala sesuatu berdasarkan keuntungan.


Islam Solusi Tuntas

Sesungguhnya, permasalahan generasi saat ini berpangkal pada krisis yang multidimensi. Islam sebagai agama yang sempurna telah memberikan panduan bagi umatnya dalam seluruh aspek kehidupan

Islam memandang media sosial hanyalah alat yang merupakan hasil dari kemajuan teknologi yang disebut madaniah. Dalam Islam, hukumnya mubah atau boleh. Namun dalam pemanfaatannya harus memperhatikan hukum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan.

Maka, aturan seperti klasifikasi umur pengguna medsos atau pemblokiran akun bukanlah solusi yang tepat. Ibarat pisau bermata dua, medsos bisa mendatangkan manfaat atau malah menimbulkan bencana tergantung manusia yang menggunakannya.

Islam hadir dengan sistem pendidikan yang membentuk generasi muda generasi yang bertakwa dan berkepribadian Islam. Memiliki pola pikir dan pola sikap yang sesuai Islam. Hal itu dilakukan dengan menanamkan pendidikan akidah terlebih dulu sejak usia dini. Baik dalam pendidikan formal maupun nonformal.

Islam memandang kebahagiaan diukur berdasarkan ridho Allah. Maka setiap perbuatan yang dilakukan harus mengikuti aturan agama. Benar-salah, halal-haram, atau terpuji-tercela, semua diukur dengan hukum syarak, bukan keuntungan semata.

Sementara negara sebagai pengurus urusan rakyat, bertanggung jawab melindungi generasi dari paparan buruk medsos dengan aturan yang jelas dan tegas. Negara memastikan bahwa semua platform medsos hanya menghadirkan konten yang bersifat edukatif dan menambah ketakwaan kepada Allah.

Dalam kitab Ajhizatu ad-Daulah al-Khilafah disebutkan bahwa negara akan mengeluarkan undang-undang yang menjelaskan garis-garis umum politik negara dalam mengatur informasi sesuai dengan ketentuan hukum syarak. Pemilik media informasi bertanggung jawab atas semua konten yang disebarkannya. Ia akan diminta pertanggungjawaban atas suatu bentuk penyimpangan terhadap hukum syarak. Setiap bentuk pelanggaran akan mendapatkan sanksi tegas dari negara.


Khatimah 

Jelaslah sudah bahwa permasalahannya bukan terletak pada kehadiran medsos sebagai hasil kecanggihan teknologi. Namun, permasalahan utamanya adalah karena penerapan sistem kapitalis sekuler yang mengukur segala sesuatu berdasarkan keuntungan semata tanpa memedulikan dampaknya bagi generasi muda.

Maka solusinya hanya kembali kepada aturan Islam. Menjadikan Islam sebagai satu-satunya pedoman dalam kehidupan sehari-hari, dari level individu, masyarakat, sampai negara. Dengan demikian, harapan memiliki generasi emas yang cerdas dan bertakwa niscaya bisa terwujud dengan izin Allah.

Wallahu a'lam.[]




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar