Marriage is Scary Melanda Generasi Muda


Oleh : Sherly Agustina, M.Ag. (Penulis dan Pemerhati Kebijakan Publik) 

Dahulu, anak muda menempatkan pernikahan sebagai tonggak kedewasaan yang harus dicapai. Bahkan, mereka yang sudah berumur 30-an, tetapi tak kunjung menikah kerap dikaitkan dengan ”keterlambatan” melepas masa lajang. Terlebih bagi perempuan, anggapan ”perawan tua” kerap kali melekat pada mereka yang tidak kunjung menemukan jodohnya. Namun, di era saat ini tampaknya pandangan tersebut mengalami pergeseran yang viral di media sosial. Yaitu generasi muda lebih takut miskin dari pada takut tidak menikah.

Beginilah kondisi generasi muda saat ini, kapitalisme telah merubah banyak hal. Anehnya, anak muda sekarang lebih nyaman dengan perzinaan yang tidak halal ketimbang melakukannya ketika halal sudah menikah. Narasi 'marriage is scary' menggambarkan anak-anak muda cenderung menempatkan keamanan finansial sebagai prioritas utama. Mereka menggeser jauh keinginan untuk membangun keluarga atau menanggapi tuntutan sosial untuk segera menikah. 

Perubahan orientasi ini bukan sekadar tren yang mewarnai ruang narasi di media sosial, melainkan refleksi dari adaptasi mendalam terhadap realitas ekonomi dan sosial yang semakin kompleks. (Kompas.com, 27-11-2025)


Faktor Penyebab

Kondisi di negeri ini memang sedang tidak baik-baik saja, fenomena di atas muncul bukan tanpa sebab. Kemungkinan yang menjadi faktor penyebab 'marriage is scary'' terjadi di antaranya: 

Pertama, tekanan ekonomi. Takut hidup miskin setelah menikah bagi generasi muda karena kondisi ekonomi yang penuh dengan ketidakpastian. Fakta yang terjadi sebagian besar penghasilan mereka rata-rata jauh lebih rendah dibandingkan generasi sebelumnya di usia yang sama. Hal ini tak lepas dari Economic Scarring (luka ekonomi). Luka ekonomi merupakan kondisi rusaknya sistem perekonomian dalam jangka menengah atau panjang akibat dari krisis ekonomi. Salah satunya, krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19. ”Luka” tersebut berdampak pada potensi pertumbuhan ekonomi di masa depan yang terhambat, bahkan setelah krisis itu mereda.

Di samping itu, sulitnya lapangan pekerjaan, upah yang relatif stagnan, biaya hidup yang terus melonjak memberikan kecemasan bahwa kemiskinan semakin nyata bagi mereka. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, penduduk berusia 15-24 tahun mendominasi tingkat pengangguran terbuka di Indonesia dengan persentase sebesar 16,89 persen. Di sisi lain, tingkat upah yang mereka terima juga tergolong paling rendah, yakni upah penduduk berusia 20-24 rata-rata hanya Rp2,6 juta per bulan. Nilai nominal tersebut jauh dari rata-rata upah nasional yang sebesar Rp3,33 juta per bulan pada Agustus 2025.

Kedua, media sosial menyuguhkan konten kehidupan yang penuh kemewahan, hal ini membuat rasa takut hidup miskin bagi generasi muda semakin besar. 

Faktor-faktor tersebut kemudian mendorong keputusan menunda pernikahan menjadi strategi bertahan paling rasional bagi sebagian masyarakat Indonesia, termasuk dari golongan muda. Hal ini dikonfirmasi dari hasil jajak pendapat yang dilakukan Litbang Kompas mengenai pernikahan pada 10-13 November lalu. Sebanyak 73,5 persen responden mengungkapkan fokus pada pekerjaan dan mapan secara ekonomi menjadi alasan utama mereka belum atau menunda pernikahan.

Sementara itu, hasil analisis dari Pew Research Center yang berjudul ”Young Adults in the U.S. are Reaching Key Life Milestones Later Than in the Past” menunjukkan bahwa tekanan biaya hidup dan ketidakpastian ekonomi menjadi faktor utama generasi muda di Amerika Serikat menunda fase milestone atau menikah, memiliki rumah, dan kemudian punya anak.

Ketiga, perubahan nilai. Aspirasi karier, pendidikan yang tinggi, dan kebebasan hidup mengubah pandangan mereka terhadap pernikahan. Di samping itu, banyak generasi muda memilih stabilitas psikologis, kesehatan mental, dan kualitas hidup sehari-hari sebagai prioritas yang lebih penting dari pada status pernikahan. Akibatnya, pernikahan tidak lagi dilihat sebagai satu-satunya jalan menuju kebahagiaan atau tujuan hidup yang harus dicapai segera. Akan tetapi, pilihan sadar yang harus didahului oleh kesiapan finansial, mental, dan fisik.

Kecenderungan itu juga diperkuat oleh pengalaman generasi sebelumnya serta kasus yang sering terjadi dalam hubungan rumah tangga, seperti perselingkuhan, kekerasan dalam keluarga, hingga perceraian. Data BPS menunjukkan sepanjang tahun 2024 kasus perceraian di Indonesia hampir mencapai 400.000 kasus. Faktor ekonomi berupa masalah keuangan menyumbang seperempat atau sekitar 100.198 kasus perceraian.


Alarm Bagi Pemerintah 

Fenomena 'marriage is scary' diartikan juga sebagai alarm bagi pemerintah dalam menjaga stabilitas ekonomi. Apabila generasi muda semakin sulit mencapai stabilitas hidup, mereka akan semakin pragmatis dalam memilih prioritas. Pernikahan bisa jadi hanya akan menjadi opsi, bukan keharusan. Dalam jangka panjang, hal ini memiliki konsekueni yang sangat kompleks.

Dari sisi demografi, keputusan menunda pernikahan dan menurunnya angka fertilitas dapat mempercepat penuaan populasi jika tidak diimbangi kebijakan pro-fertilitas yang efektif. Seperti yang terjadi di Jepang saat ini, di mana generasi usia produktif Jepang terus menurun. Secara ekonomi, semakin menurunnya tingkat perkawinan di kalangan generasi muda dapat memengaruhi pola konsumsi dan pasar properti.

Melihat mental generasi muda saat ini memang lemah, terlihat seperti generasi yang rapuh. Sebagian mereka kesulitan dalam ekonomi, tetapi sebagian lain bergaya hidup hedon dan materialis. Generasi seperti ini tumbuh dari pendidikan sekuler dan pengaruh media liberal. Kapitalisme yang dipakai saat ini nyata banyak merusak mental generasi muda. Jika fenomena ini dibiarkan, generasi usia produktif akan punah karena satu-satunya jalan untuk regenerasi ialah dengan pernikahan. Apabila generasi punah, bagaimana nasib bangsa ini ke depannya?


Solusi Islam

Solusi yang ditawarkan tentu tidak cukup dengan ajakan moral atau kampanye untuk segera menikah. Namun, solusi yang dilakukan harus menyentuh akar persoalan yaitu ketidakpastian ekonomi yang ditimbulkan dari sistem kapitalisme. Islam menawarkan solusi jitu, bahwa negara menjamin kebutuhan pokok dan kolektif dengan gratis. Melalui sistem ekonomi Islam, negara membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya agar para pencari nafkah dapat dipastikan memiliki pekerjaan yang layak. 

Jika ada warga negara yang tidak memiliki skill atau keterampilan, maka negara akan membekalinya dengan training dan semisalnya. Jika ada yang memiliki kemampuan berkebun atau bercocok tanam, maka negara akan memfasilitasinya. Begitupun jika ada yang membutuhkan modal bagi seseorang yang sudah memiliki kemampuan berbisnis, maka negara akan membantu. Kebutuhan kolektif berupa pendidikan, keamanan, dan kesehatan diberikan secara gratis kepada seluruh rakyat. 

Dalam Islam dikenal istilah baitulmal yaitu kas negara yang mengatur pemasukan dan pengeluaran negara. Sumber pemasukan di antaranya dari jizyah, kharaj, ghanimah, fa'i, khumus, harta milik umum, dan zakat. Zakat sudah khusus dialokasikan bagi beberapa golongan yang disebutkan dalam Al-Qur'an. Untuk membiayai dalam penyediaan lapangan pekerjaan, dana bisa diambil dari pos harta milik umum.

Rasulullah saw. bersabda, "Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad)

Umat Islam boleh menggunakan harta milik umum secara bersama-sama tetapi pengelolaannya oleh negara. Hasilnya disalurkan untuk kepentingan rakyat di antaranya memberikan lapangan pekerjaan seluas-luasnya. Pengelolaan harta milik umum seperti SDA bukan oleh asing atau swasta sehingga kesejahteraan masyarakat bisa dijamin. Indonesia merupakan negara yang memiliki SDA yang melimpah. Namun, mengapa tak mampu membuat rakyatnya sejahtera? Karena pengelolaan SDA yang ada bukan oleh negara melainkan oleh asing yang menjajah SDA Indonesia.

Selain ekonomi Islam yang mampu menawarkan solusi, sistem pendidikan dalam Islam yang berbasis akidah berupaya membentuk generasi berkarakter, tidak terjebak hedonisme dan materialisme. Mereka justru menjadi penyelamat umat, memilik keimanan yang kuat sebagai pondasi serta mental yang kuat dan tangguh menghadapi kehidupan dan tantangan zaman. Bukan generasi rapuh seperti saat ini. 


Khatimah

Jika perekonomian stabil, lapangan pekerjaan mudah, upah sesuai, biaya hidup terjangkau, pendidikan dan kesehatan gratis serta ditopang dengan pendidikan Islam yang membentuk karakter, berakidah dan mental yang kuat, maka generasi tak perlu takut memainkan perannya yang lain yaitu melahirkan next generation yang hebat melalui syariat pernikahan. 

Selain itu, adanya penguatan bahwa institusi keluarga mendorong pernikahan sebagai ibadah dan penjagaan keturunan yang mendapat pahala di sisi Allah. Bukankah Rasul sangat menyukai seseorang yang memiliki keturunan banyak? Apalagi jika keturunannya sebagai penerus perjuangan para Rasul, sahabat, dan ulama. Allahua'lam Bishawab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar