Mengelola Tambang ala Syariat Islam, Dari Kepemilikan hingga Kemaslahatan Umat


Oleh : Rizky Saptarindha A.md (Aktivis)

Aktivitas tambang batubara ilegal di Kalimantan Timur kembali jadi sorotan. Dalam beberapa pekan terakhir, publik dikejutkan dengan temuan titik-titik tambang liar yang muncul di sekitar kawasan Ibu Kota Negara (IKN) hingga wilayah Samarinda. Di balik hiruk-pikuk pembangunan dan janji kesejahteraan, ada luka yang diam-diam makin lebar dari tanah yang dikeruk tanpa izin, hutan yang gundul, sungai yang keruh, dan masyarakat yang hanya jadi penonton dari kekayaan yang semestinya milik bersama.

Fenomena “main serobot” ini bukan hanya persoalan hukum, tapi juga soal moral dan sistem. Para oknum penambang liar berani beroperasi karena merasa bisa “bermain mata” dengan aparat, atau memanfaatkan celah aturan yang longgar. Akibatnya, lingkungan rusak parah, lubang-lubang tambang dibiarkan menganga tanpa reklamasi, menjadi ancaman bagi warga sekitar, bahkan menelan korban jiwa anak-anak yang tenggelam di bekas galian, belum lagi debu dan banjir yang menambah deretan panjang kerugian bagi masyarakat. 

Lebih jauh lagi, tambang ilegal ini juga mencuri hak publik. Potensi pendapatan daerah yang seharusnya bisa digunakan untuk pendidikan, kesehatan, dan pembangunan justru lenyap begitu saja. Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kaltim pun tergerus, sementara para pelaku menikmati hasilnya dalam diam. Ironisnya, di negeri yang kaya sumber daya ini, rakyat kecil tetap berjuang keras demi sekadar hidup layak.

Lalu, sampai kapan kekayaan alam yang sejatinya amanah Allah ini dikelola dengan serakah dan rakus, bukan dengan kesadaran bahwa disetiap butir tanah, batu bara, dan minyak adalah milik umat yang harus dijaga bersama?


Ketika Tambang Dikuasai Kapitalisme, Rakyat Hanya Jadi Penonton

Masalah tambang, baik yang legal maupun ilegal, sejatinya tidak bisa dilepaskan dari sistem yang mengaturnya. Sebab, akar dari semua kekacauan ini bukan hanya soal izin atau pengawasan, melainkan paradigma yang melandasi cara pandang terhadap kekayaan alam itu sendiri.

Dalam sistem ekonomi kapitalisme, barang tambang tidak lagi dipandang sebagai harta milik umum yang wajib dikelola negara untuk kemakmuran rakyat. Kapitalisme menempatkannya sebagai aset bebas, yang bisa dimiliki oleh siapa saja selama memiliki modal dan koneksi. Akibatnya, sumber daya alam yang semestinya menjadi rahmat bagi seluruh rakyat justru berubah menjadi ladang bisnis bagi segelintir orang.

Perusahaan tambang besar bisa mengantongi izin puluhan tahun, mengeruk isi bumi tanpa henti, lalu meninggalkan kerusakan yang ditanggung masyarakat sekitar. Ironisnya, mereka disebut “legal”, sementara masyarakat kecil yang mencoba menggali untuk bertahan hidup justru dicap “ilegal”. Padahal keduanya sama-sama menunjukkan wajah serakah dari sistem yang memberi kebebasan pada siapa pun yang kuat dan bermodal.

Seketat apa pun aturan dibuat, selama liberalisasi tambang masih berjalan, semua itu hanya akan menjadi basa-basi kekuasaan. Pemerintah bisa saja menutup tambang liar, menindak beberapa pelaku, atau menggembar-gemborkan komitmen hijau. Tapi, itu tak lebih dari tambal sulam di atas sistem yang memang rusak dari akar. Negara dalam hal ini bukan lagi pengelola utama, melainkan sekadar regulator yang memberi izin dan memungut pajak. Maka tak heran jika kekayaan alam yang melimpah justru tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan masyarakat.

Dalam pandangan kapitalisme, tambang tidak lagi dilihat sebagai amanah publik yang wajib dikelola untuk kemaslahatan rakyat. Ia hanya dianggap aset ekonomi barang dagangan yang bebas dimiliki siapa pun selama punya modal dan akses. Kita melihat betapa banyak wilayah penghasil tambang hidup dalam ironi. Lahan hijau berganti gundukan tanah, air sungai tercemar, udara penuh debu. Sementara rakyat sekitar tambang tetap bergelut dengan kemiskinan, jalan berlubang hingga banjir. Kekayaan bumi Kalimantan, Papua, atau Sulawesi hanya memperkaya segelintir orang, sementara rakyatnya menjadi penonton di tanah sendiri.

Inilah wajah nyata kapitalisme sebuah sistem yang memandang kekayaan alam bukan sebagai amanah, melainkan komoditas. Selama paradigma ini tidak berubah, tambang akan terus menjadi sumber kesenjangan dan kerusakan, bukan kesejahteraan.

Lebih miris lagi, negara justru membuka pintu selebar-lebarnya bagi swasta dan asing untuk ikut mengelola sumber daya alam. Semua dibungkus dengan alasan investasi, pembangunan, dan pertumbuhan ekonomi. Padahal yang terjadi sesungguhnya adalah penyerahan kekuasaan ekonomi pada pihak luar, hingga rakyat kehilangan hak atas kekayaan yang seharusnya mereka nikmati.


Solusi Islam: Negara Sebagai Pengelola Amanah Kekayaan Umum

Islam memandang tambang baik minyak, batu bara, emas, maupun mineral lainnya sebagai harta milik umum. Semua yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat dan menguasai hajat hidup orang banyak tidak boleh dimiliki oleh individu atau korporasi mana pun. Kekayaan alam itu bukan komoditas dagang, melainkan amanah dari Allah yang harus dikelola oleh negara demi kemaslahatan seluruh rakyat.

Rasulullah bersabda, “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara: air, padang rumput, dan api.”  (HR. Abu Dawud, Ahmad, dan Ibnu Majah)

Hadis ini menjadi fondasi penting bahwa sumber daya yang menjadi kebutuhan bersama tidak boleh dimonopoli. Kata “api” di sini oleh para ulama diartikan juga sebagai sumber energi termasuk minyak, batu bara, dan seluruh barang tambang yang menopang kehidupan manusia.

Selain itu, ada hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. yang menegaskan bagaimana Rasulullah mengatur kepemilikan tambang: “Bahwa Rasulullah pernah memberikan kepada Abyadh bin Hamal sebuah tambang garam. Lalu seorang laki-laki datang kepada Rasulullah dan berkata: ‘Wahai Rasulullah, tahukah engkau apa yang engkau berikan kepadanya? Engkau telah memberikan sesuatu yang seperti air yang mengalir!’ Maka Rasulullah pun mencabut pemberian itu darinya.” (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi)

Hadis ini menunjukkan bahwa Rasulullah mencabut pemberian tambang besar yang bersifat terus-menerus hasilnya karena tambang seperti itu termasuk harta milik umum, bukan milik individu. Dari sinilah para ulama menegaskan bahwa barang tambang dengan deposit besar wajib dikelola oleh negara, sedangkan tambang kecil yang tidak strategis boleh dimiliki secara pribadi.

Dalam Muqaddimah ad-Dustur karya Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Pasal 137 dijelaskan bahwa kepemilikan umum mencakup tiga jenis harta:
(a) segala sesuatu yang menjadi bagian dari kemaslahatan umum masyarakat, seperti tanah lapang di sebuah negara;
(b) barang tambang yang depositnya sangat besar, seperti sumber-sumber minyak;
(c) benda-benda yang tabiatnya menghalangi monopoli seseorang atas penguasaannya, seperti sungai-sungai.”

Dari sini jelas bahwa Islam memiliki konsep tegas bahwa negara tidak boleh menyerahkan pengelolaan tambang pada pihak individu atau korporasi, baik lokal maupun asing. Seluruh hasil tambang wajib dikelola oleh negara dan dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk layanan publik seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan jaminan sosial.

Negara dalam sistem Islam berperan menjadi pengelola utama, yang memastikan setiap kekayaan alam memberi manfaat nyata bagi umat. Dengan demikian, tidak ada ruang bagi segelintir orang untuk memperkaya diri di atas penderitaan banyak orang.

Prinsip ini bukan hanya teori, tapi pernah diterapkan secara nyata pada masa Khilafah Islam. Khalifah Umar bin Khaththab, misalnya, mengelola tambang-tambang besar untuk kepentingan umat. Hasilnya masuk ke baitul mal dan digunakan untuk pendidikan, pelayanan kesehatan, serta kesejahteraan masyarakat. Tidak ada istilah bagi-bagi izin tambang atau privatisasi sumber daya. Negara benar-benar menjadi pelindung, bukan penjual kekayaan rakyat.

Jika prinsip ini diterapkan hari ini, tentu hasilnya akan jauh berbeda. Negara tidak perlu memungut pajak berlebihan, karena pendapatan dari sektor tambang sudah cukup untuk membiayai seluruh kebutuhan publik. Rakyat tidak akan perlu berebut bantuan, karena negara hadir sebagai pengurus sejati, bukan sebagai pengamat.

Sayangnya, semua itu hanya akan menjadi angan jika sistem yang berlaku masih kapitalisme. Sistem ini telah menempatkan keuntungan di atas kemaslahatan, modal di atas moral, dan kepentingan korporasi di atas kepentingan rakyat. Maka, solusi tidak cukup dengan memperketat izin tambang atau menindak penambang liar. Solusi sejati hanya bisa lahir dengan mengganti sistem yang rusak ini dengan sistem Islam yang adil dan menyeluruh.

Sudah saatnya umat menyadari bahwa krisis tambang bukan sekadar urusan teknis atau kebijakan ekonomi. Ia adalah cermin dari sistem yang keliru dalam memandang kepemilikan. Islam telah menawarkan solusi yang terbukti menyejahterakan dan menjaga keseimbangan bumi. Sebuah sistem yang memuliakan manusia sebagai khalifah di bumi, bukan sebagai perusak.

Karena sejatinya, kekayaan alam bukan untuk dijarah, tetapi untuk diamanahkan. Dan hanya dengan kembali pada aturan Allah, kekayaan itu akan menjadi berkah bagi seluruh manusia.Wallahua’lam bissawab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar