Oleh: Aulia Zuriyati (Aktivis Muslimah)
Beberapa hari yang lalu, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara kembali membuat kebijakan pemutihan dan potongan atas pajak kendaraan bermotor (PKB). Langkah ini disambut antusias oleh masyarakat. Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Sumatera Utara, Adnan Noor, mengungkapkan bahwa pendapatan dari sektor PKB sebelumnya hanya sekitar Rp3 miliar per hari. Namun setelah program ini dilaksanakan, rata-rata pendapatan harian meningkat menjadi Rp8 miliar.
“Alhamdulillah, ada perubahan signifikan. Sebelumnya pemutihan kita hanya dapat sekitar Rp3 miliar, sekarang bisa mencapai Rp5 sampai Rp8 miliar per hari,” ujar Adnan di kantor Bapenda Sumut (Instagram.com, 27/10/2025). Pemerintah merasa puas, seolah keberhasilan ini menjadi bukti meningkatnya kesadaran rakyat dalam membayar pajak.
Namun di balik itu semua, ada kenyataan lain yang tidak bisa diabaikan. Meski rakyat telah taat membayar pajak, hidup mereka tetap saja berat. Harga pangan terus naik, lapangan pekerjaan sulit, kejahatan di mana-mana—semakin memperjelas tidak adanya keadilan bagi masyarakat.
Dalam sistem kapitalis, pajak dijadikan sumber utama pendapatan negara. Hampir setiap aktivitas masyarakat tak lepas dari pungutan pajak: mulai dari penghasilan, makanan, kendaraan, hingga barang-barang kebutuhan pokok. Sekalipun rakyat rajin membayar pajak karena ada diskon atau potongan yang diberlakukan, tetap saja faktanya kesejahteraan tidak kunjung hadir di negara kapitalis ini.
Kapitalisme memandang negara layaknya pengelola bisnis—bagaimana caranya pendapatan terus meningkat tanpa peduli dari mana dan atas penderitaan siapa uang itu dikumpulkan. Akibatnya, pajak yang seharusnya menjadi sarana pembangunan justru berubah menjadi beban yang menindas masyarakat. Kebijakan pemerintah yang memberikan potongan atau diskon pajak lebih tampak seperti strategi pemasaran ketimbang bentuk kepedulian terhadap rakyat.
Sistem kapitalis menjadikan kekayaan alam dan potensi ekonomi negeri ini sebagai komoditas yang bisa dijual kepada siapa saja. Sumber daya yang seharusnya dikelola negara untuk kepentingan rakyat malah berpindah tangan ke pihak swasta atau asing. Sangat jelas, di bawah sistem kapitalis ini negara justru banyak mengalami kerugian.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman yang artinya : “Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya banyak dari orang-orang alim dan rahib-rahib mereka benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil, dan mereka menghalang-halangi manusia dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak serta tidak menginfakkannya di jalan Allah, maka berikanlah kabar gembira kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) azab yang pedih.” (QS. At-Taubah [9]: 34)
Ayat ini menegaskan bahwa harta yang tidak dikelola sesuai syariat adalah bentuk kezaliman. Dalam konteks sekarang, negara yang menimbun kekayaan dari pajak rakyat tetapi tidak menyalurkannya dengan adil termasuk dalam peringatan ayat ini.
Berbeda halnya dengan Islam. Islam memandang bahwa harta kekayaan adalah amanah dari Allah SWT, bukan milik pribadi atau negara secara mutlak. Islam menata sistem ekonomi dengan aturan yang memberikan kesejahteraan bagi umat, tidak seperti sistem kapitalis maupun sosialis.
Sistem ekonomi Islam menerapkan mekanisme yang disebut Baitul Mal, yaitu lembaga yang mengelola pemasukan dan pengeluaran harta umat berdasarkan prinsip syariat Islam. Sumber pemasukan dalam sistem ini jelas dan halal, berasal dari kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara.
Dengan sistem ini, negara tidak perlu memeras rakyat dengan pajak yang berlapis dan memberatkan. Kekayaan alam dikelola langsung oleh negara untuk kepentingan umat, bukan dijual kepada pihak asing maupun swasta. Pemasukan dari sektor-sektor tersebut digunakan untuk membiayai kebutuhan pokok masyarakat seperti kesehatan, pendidikan, pembangunan infrastruktur, dan lainnya.
Dalam sistem Islam, tidak dikenal pajak seperti saat ini, melainkan dharibah—sebuah mekanisme darurat yang hanya diberlakukan apabila kas Baitul Mal kosong dan negara benar-benar membutuhkan dana. Pemungutannya pun tidak bersifat memaksa apalagi menindas rakyat sebagaimana sistem pajak modern.
Kenyataan hari ini menunjukkan bahwa selama sistem kapitalis tetap dijadikan pondasi ekonomi, rakyat akan terus menanggung akibatnya. Program diskon pajak yang diberikan kepada masyarakat mungkin menenangkan sesaat, tetapi tidak akan menyentuh akar permasalahan, apalagi membawa kesejahteraan yang hakiki.
Wallahu a‘lam bish-shawab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.


0 Komentar