Ketika Utang Mengakhiri Harapan: Tragedi Ibu & Dua Anak dalam Pelukan Kapitalisme Sekuler


Oleh : Ulianafia

Kehidupan hari ini selalu dipenuhi dengan berbagai berita yang semakin menyayat hati. Seorang perempuan warga Klaten bersama dua anaknya viral di media sosial setelah mendatangi seorang polisi asal Lamongan, Jawa Timur, Ipda Purnomo, yang dikenal dengan aksi sosialnya. Ibu itu disebut-sebut hendak mengakhiri hidup dengan menabrakkan diri ke kereta api gara-gara terlilit utang. (Solopos.com)

Krisis ini bukan kasus tunggal, tetapi fenomena sistemik. Utang menjadi pemicu buntunya jalan hidup. Tentu ini tidak terlepas dari kehidupan dalam balutan kapitalisme sekuler yang diterapkan lebih seabad lamanya ini. IMF & World Bank (2023–2024) Populasi dunia yang memiliki utang personal >72% dari populasi dewasa dunia. Sedang, di Indonesia sendiri Statistik utang rumah tangga terus naik. Data Pinjol saja (OJK 2024) >10 juta pengguna aktif pinjol, mayoritas untuk kebutuhan konsumtif. Sedang, Survei SMRC 2023 54% keluarga Indonesia mengaku mengandalkan pinjaman untuk menutupi kebutuhan dasar. 


Kenapa Rakyat dalam Sistem Kapitalisme Selalu Terjerat Utang?

Kapitalisme bukan sekadar sistem ekonomi biasa. Ia membangun roda kehidupan rakyat berbasis utang. Ada beberapa sebab utama, pertama, pendapatan Rakyat Rendah, Harga Hidup Tinggi. Upah buruh selalu dipatok hanya untuk sekadar bertahan hidup (subsistence wage), bukan untuk sejahtera. Di sisi lain harga pendidikan, kesehatan, dan keamanan yang mahal, serta biaya rumah selangit. Akhirnya, utang jadi jalan satu-satunya.

Kedua, kapitalisme mengubah kebutuhan jadi barang dagangan. Semua urusan hidup dikomersialkan, seperti bisnis pendidikan (sekolah), bisnis kesehatan (rumah sakit), serta perusahaan profit (air, listrik). Rakyat dipaksa membayar mahal untuk hal-hal yang harusnya hak dasar.

Ketiga, Konsumerisme, rakyat dipacu untuk belanja tanpa batas. Kapitalisme menghidupkan ekonomi lewat hasrat, bukan kebutuhan. Seperti, “Kamu kurang, beli lagi!”. Iklan dan gaya hidup glamor menjerat rakyat dalam utang kartu kredit, paylater, cicilan barang yang sebenarnya tidak mendesak.

Keempat, negara berutang, rakyat ikut menanggung. Pemerintah kapitalis asyik meminjam ke bank dunia dan investor. Konsekuensinya, pajak rakyat naik, subsidi dicabut, dan layanan publik dipangkas. Akhirnya rakyat yang harus membayar bunganya, bukan pemerintah. Yang artinya kehidupan dalam kapitalisme sekuler tidak akan terlepas dari utang, melainkan akan semakin menambah utang.

Kelima, rentenir legal, bank dan fintech berbunga tinggi. Kapitalisme mendewakan riba sebagai mesin ekonomi. Semakin banyak orang berutang, semakin kaya pemilik modal. Rakyat dihisap lewat bunga, Utang 1 jadi 5 sebelum lunas.

Keenam, sistem sosial tidak melindungi keluarga. Ketika jatuh miskin, tidak ada jaminan hidup yang layak dan tidak ada negara yang menanggung kebutuhan pokok. Rakyat dibiarkan bertarung sendiri untuk hidup.

Akhirnya rakyat didesak hingga putus asa. Bukan sekadar miskin, rakyat terjebak lingkaran setan utang: Hidup → Utang → Bayar → Utang Baru → Putus Asa.

Kasus tragis ibu dan dua anak yang ingin menabrakkan diri ke kereta adalah potret nyata betapa kejamnya kapitalisme. Bukan mereka ingin mati, tapi sistem yang mematikan mereka.


Sistem Islam dari Tuhan yang Menyejahterakan 

Kapitalisme hari ini membuktikan dirinya sebagai sistem yang retak. Hampir seluruh negara tenggelam dalam utang, sementara rakyat terus dipaksa berutang hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Konsumerisme dijadikan mesin ekonomi. Standar kemuliaan manusia diturunkan menjadi sekadar apa yang ia miliki.

Syekh Taqiyuddin an-Nabhani mengkritik kapitalisme sebagai sistem yang memisahkan aturan Allah dari kehidupan. Maka hasilnya hanya melahirkan kesenjangan, kegelisahan, dan eksploitasi. Ekonomi kapitalis menjadikan utang—berbalut riba—bahan bakar utama roda ekonomi, sehingga mustahil rakyat bebas dari jeratan hutang.

Sebaliknya, Ekonomi Islam tidak berorientasi pada akumulasi kekayaan, tetapi pada pemenuhan kebutuhan setiap individu rakyat secara menyeluruh. Ini merupakan prinsip mendasar yang ditegaskan oleh Syekh Taqiyuddin: “Negara wajib menjamin setiap warga negara mendapatkan kebutuhan pokoknya secara menyeluruh: pangan, sandang, papan.”

Pemenuhan kebutuhan ini bukan sekadar teori. Islam menata tiga hal pokok: pertama, Kepemilikan yang jelas dan adil. Islam menetapkan tiga jenis kepemilikan, kepemilikan individu, kepemilikan umum seperti energi, air, tambang, jalan raya, dan kepemilikan negara.

Sumber-sumber besar seperti minyak, gas, dan listrik tidak boleh dimiliki korporasi. Maka hasilnya kembali ke rakyat, menurunkan harga kebutuhan vital secara drastis. Di masa Khilafah, harga pangan stabil karena negara menguasai komoditas strategis.

Kedua, distribusi kekayaan melalui Baitul Mal. Baitul Mal bukan sekadar kas negara, melainkan instrumen distribusi kekayaan, seperti menjamin layanan publik kesehatan & pendidikan gratis, menyediakan lapangan kerja bagi yang mampu bekerja, menanggung kebutuhan orang yang tidak mampu, serta melarang utang sebagai solusi hidup. Negara-lah yang memastikan standar hidup minimal terpenuhi tanpa riba.

Ketiga, gaya hidup mulia, bukan konsumtif. Syekh Taqiyuddin menjelaskan bahwa gaya hidup dalam Islam tunduk pada, norma halal-haram, orientasi akhirat, larangan israf (berlebih-lebihan), dan standar kehormatan manusia bukan harta, tetapi ketaatan kepada Allah: “Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.” (QS. Al-Hujurat: 13)

Dengan cara pandang ini, manusia tidak lagi menjadi hamba barang dan gaya hidup. Ia kembali menjadi hamba Allah. Sehingga ekonomi Islam menyejahterakan tanpa membangkrutkan rakyat.

Peradaban Islam pernah membuktikannya. Pada masa Umar bin Abdul Aziz, Baitul Mal sampai kehabisan mustahiq, karena seluruh rakyat telah sejahtera.Inilah sistem yang tidak menindas rakyat dengan pajak zalim, tidak mendorong rakyat berutang untuk hidup, tidak mengukur kesuksesan dengan materi, dan tidak menyerahkan sumber daya alam kepada korporasi asing.

Karena itu, umat Islam harus sadar bahwa perubahan tidak bisa hanya pada individu, tetapi pada sistem yang mengatur kehidupan. Saatnya kita memperjuangkan kembalinya syariat Allah dalam seluruh aspek kehidupan. Wallahu'alam.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar