Tragedi Bunuh Diri Pelajar dan Krisis Kepribadian Remaja: Cermin Rapuhnya Pendidikan Sekuler


Oleh : Lia Julianti (Aktivis Dakwah Tamansari Bogor)

Dalam sepekan terakhir, Indonesia kembali diguncang kabar memilukan. Dua anak ditemukan meninggal dunia diduga akibat bunuh diri di Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Kasus serupa juga terjadi di Kota Sawahlunto, Sumatera Barat, di mana dua siswa sekolah menengah pertama, Bagindo dan Arif, ditemukan tewas tergantung di sekolah mereka pada Oktober 2025. Polisi menyatakan tidak ditemukan indikasi bullying dalam kedua kasus tersebut. (Kompas.id. 22/10/2025)

Fenomena ini menambah panjang daftar tragedi bunuh diri di kalangan pelajar. Lebih mengkhawatirkan lagi, Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono mengungkapkan bahwa lebih dari dua juta anak Indonesia mengalami gangguan mental berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan jiwa gratis terhadap 20 juta jiwa. (Kompas.com, 30/10/2025). Data ini menjadi alarm serius bagi bangsa, bahwa ada krisis mendasar yang tengah menggerogoti generasi muda. 

Peningkatan angka bunuh diri di kalangan pelajar tidak selalu dapat dijelaskan oleh faktor tunggal seperti perundungan. Fakta bahwa sebagian besar kasus tidak melibatkan bullying menunjukkan persoalan yang lebih mendasar yaitu kerapuhan kepribadian remaja. Banyak remaja kehilangan kemampuan untuk menghadapi tekanan, gagal menyalurkan emosi secara sehat, dan tidak memiliki arah hidup yang kuat.

Kerapuhan ini merupakan buah dari lemahnya dasar akidah yang ditanamkan sejak dini. Pendidikan yang sekuler, yang hanya berorientasi pada pencapaian akademik dan fisik, telah menyingkirkan aspek pembentukan ruhiyah dan moralitas yang kokoh. Agama hanya diajarkan sebatas teori, tanpa dihidupkan dalam keseharian anak. Akibatnya, nilai-nilai spiritual tidak membentuk karakter mereka, dan jiwa mereka menjadi rapuh ketika menghadapi beban hidup.

Selain itu, paradigma Barat tentang usia dewasa turut memperburuk keadaan. Dalam sistem pendidikan modern, anak dianggap belum dewasa hingga usia 18 tahun. Padahal, dalam Islam, ketika anak sudah balig, ia telah memikul tanggung jawab syariat dan diarahkan untuk menjadi aqil yaitu seseorang yang matang berpikir dan mampu mengambil keputusan dengan akal yang sempurna. Perlakuan yang menganggap anak balig sebagai “anak kecil” justru menunda proses pendewasaan jiwa dan akal mereka.

Bunuh diri adalah puncak dari gangguan kesehatan mental. Gangguan ini sendiri tidak hanya bersumber dari faktor klinis, tetapi juga dari faktor sosial-ekonomi yang kompleks. Tekanan hidup akibat kesulitan ekonomi, konflik keluarga, perceraian, hingga tuntutan gaya hidup modern yang tidak realistis, semuanya tumbuh subur dalam sistem kapitalisme yang materialistik.

Kapitalisme menilai manusia dari apa yang dimiliki, bukan dari siapa dirinya. Anak-anak tumbuh dalam lingkungan yang menekan, penuh tuntutan prestasi, persaingan, dan citra ideal yang dibentuk media sosial. Paparan konten tentang bunuh diri atau komunitas daring yang membahasnya secara bebas juga semakin memperparah keadaan. Anak-anak yang kehilangan arah mudah terpengaruh, dan ketika rasa hampa menekan, mereka melihat kematian sebagai pelarian.

Islam memandang pendidikan bukan sekadar sarana mentransfer pengetahuan, tetapi sebagai proses membentuk kepribadian Islam yang utuh yang menyatukan pola pikir (aqliyah) dan pola sikap (nafsiyah) berdasarkan akidah Islam. Pendidikan Islam menjadikan keimanan sebagai fondasi utama yang menguatkan jiwa anak dalam menghadapi ujian hidup.

Dalam Islam, pendidikan anak sebelum balig diarahkan untuk mematangkan kepribadiannya agar siap menjadi pribadi aqil baligh yang memiliki kemampuan berpikir benar dan berperilaku sesuai tuntunan syariat. Anak dididik bukan hanya agar cerdas, tetapi juga agar tegar, sabar, dan memiliki kesadaran bahwa hidup adalah ujian dari Allah SWT yang harus dihadapi dengan iman.

Penerapan sistem Islam secara menyeluruh juga menjadi solusi tuntas bagi problem gangguan mental. Islam menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar setiap individu, menjaga keutuhan keluarga melalui aturan pernikahan dan peran orang tua yang jelas, serta memberikan arah hidup yang pasti: beribadah kepada Allah SWT. Dengan lingkungan sosial yang sehat dan orientasi hidup yang benar, gangguan jiwa dapat dicegah sejak akar.

Kurikulum pendidikan dalam sistem Khilafah menyeimbangkan antara penguasaan ilmu pengetahuan dan penguatan kepribadian Islami. Anak tidak hanya diajarkan berpikir kritis, tetapi juga berpikir syar’iy dengan menjadikan syariat sebagai standar menilai baik-buruk, benar-salah. Dari sinilah lahir generasi tangguh yang tidak mudah rapuh oleh tekanan, karena mereka memahami hakikat hidup dan kematian dalam bingkai iman.

Kasus bunuh diri di kalangan pelajar bukan sekadar tragedi individu, tetapi cermin kerusakan sistemik dalam pendidikan dan masyarakat. Selama pendidikan masih berlandaskan sekularisme dan kehidupan diatur oleh sistem kapitalisme yang menindas, maka krisis kejiwaan akan terus berulang.

Islam memberikan paradigma alternatif yaitu membangun generasi berkepribadian kokoh, berakal sehat, dan berjiwa tenang karena terikat kuat dengan akidah. Hanya dengan kembali kepada sistem pendidikan dan kehidupan Islam, tragedi bunuh diri di kalangan anak dan remaja dapat dicegah secara hakiki. Wallahu 'alam.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar