Oleh : Gina Kusmiati
Fenomena memudarnya sosok ayah dalam dinamika keluarga rupanya patut untuk menjadi perhatian serius di hari ini. Isu ini mengemuka seiring ramainya arus dukungan terhadap para penyintas fatherless di ranah digital. Semua bermula dari sebuah unggahan warganet yang mengisahkan pengalamannya tumbuh tanpa kehadiran figur ayah dalam kehidupannya (Compas.id, 10/10/25)
Ayah merupakan sesosok orang tua sentral selain ibu yang mengemban amanah besar dalam memantau tumbuh kembang anak-anaknya. Ketidakhadiran peran ayah baik secara fisik maupun emosional, seringkali menimbulkan gangguan dalam perkembangan emosional, sosial, bahkan kognitif sang anak. Kisah warganet tersebut hanyalah sebutir contoh dari sekian banyak potret nyata dampak fatherless di masyarakat.
Peran ayah tidak hanya semata-mata pencari nafkah. Sesosok ayah pun dituntut untuk hadir secara emosional , sebagai pelindung, pembimbing dan teladan bagi buah hatinya. Namun realitas hari ini sungguh mencengangkan. Fenomena fatherless kian meluas dan mengakar, seakan menjadi luka sosial yang sulit diobati.
Negara Darurat Fatherless Country
Fenomena fatherless di tanah air sudah mencapai titik yang mengkhawatirkan. Ironisnya, Indonesia tercatat menempati posisi ketiga dunia sebagai negara dengan tingkat fatherless tertinggi. Fatherless Country tentu bukan suatu kebanggaan, melainkan potret buram minimnya kesadaran akan tanggung jawab peran keluarga di suatu negara.
Istilah ini menggambarkan banyak generasi yang tumbuh tanpa kehadiran atau keterlibatan nyata sesosok ayah, baik secara fisik mau pun psikologis di kehidupan sehari-hari. Bonus demografi yang seharusnya menjadi peluang emas bagi kebangkitan suatu bangsa, justru tereduksi oleh problem sosial generasi yang kompleks. Salah satu mengapa permasalahan fatherless muncul ialah bermula tatkala rapuhnya dukungan sistemik, bahkan dari lingkungan terdekat, seperti keluarga sendiri.
Fenomena ini tidak bisa terlepas dari pengaruh sistem sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan. Dalam sistem semacam ini, status keluarga kerap menjadi sekadar formalitas administratif semata. Tercatat dalam akta keluarga, namun tanggung jawab kerap ditinggalkan sehingga meninggalkan luka yang menganga.
Faktor-faktor seperti ekonomi, rendahnya kesadaran akan kewajiban dan pola pikir yang materialistis turut memperparah kondisi isu fatherless ini. Tidak sedikit ayah yang beranggapan bahwa tugas utamanya hanya memenuhi kebutuhan materi, sementara kedekatan emosional diabaikan. Tidak jarang juga ayah yang hadir secara fisik di rumah, namun absen dalam peran emosional dan spiritual bagi anak-anaknya.
Lebih jauh lagi, tekanan ekonomi dan minimnya dukungan negara terhadap kesejahteraan keluarga membuat sebagian ayah kehilangan kendali emosional, bahkan mental. Hal ini bisa membentuk lingkaran setan, ayah yang terluka oleh sistem, kemudian secara tidak sadar menularkan luka pada anak-anaknya.
Lantas tidak bisa membayangkan kehidupan anak yang ayahnya telah meninggal dunia, bagaimana kehidupan mereka di sistem sekulerisme-kapitalisme? Tentu resiko terkena fhatherless sangatlah tinggi.
Islam, Obati Luka Fhatherless
Dalam pandangan Islam, ayah menempati kedudukan tertinggi dan mengemban tugas mulia. Ia adalah pemimpin rumah tangga yang bertanggung jawab atas kesejahteraan, pendidikan serta keselamatan fisik dan spiritual bagi keluarga kecilnya. Tugasnya bukan sekadar menafkahi, melainkan jua menamankan nilai agama, mencurahkan kasih sayang, serta membangun ikatan emosional yang kokoh dengan anak-anaknya.
Islam menegaskan bahwa peran ayah merupakan bagian integral dari sistem kehidupan yang berlandaskan ketakwaan. Oleh karena itu, penerapan Islam kaffah menajdi solusi hakiki untuk mengobati luka fatherless. Dalam sistem Islam, negara tidak hanya berperan sebagai pengatur, tetapi juga sebagai pembina bagi para ayah agar mampu menjalankan kewajibannya dengan baik.
Negara yang berlandaskan islam akan menyediakan kebijakan yang memudahkan para kepala keluarga mencari nafkah tanpa mengorbankan peran emosional mereka di rumah. Selain itu, islam juga memberikan perhatian khusus kepada anak yatim, anak yang kehilangan ayah sejak dini, dengan memastikan bahwa negara hadir untuk mengayomi, melindungi dan mendidik mereka dengan penuh kasih.
Dengan penerapan Islam kaffah, luka fatherless bukan hanya dapat diobati, tetapi dicegah sejak akar. Sistem islam menciptakan harmoni antara tanggung jawab individu, keluarga dan negara. Alhasil, negara pun akan bisa lahirkan generasi kuat, berakhlak mulia dan berjiwa pemimpin sebagaimana pernah terwujud pada masa Rasulullah dan para sahabat.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.


0 Komentar