Work Life Struggle: Antara Tuntutan Dunia dan Ketenangan Jiwa


Oleh : Eka Sulistya (Aktivis Muslimah)

Fenomena work life struggle menjadi bagian nyata kehidupan modern. Banyak orang bekerja dengan tekanan tinggi, jam kerja panjang, dan persaingan yang tak pernah usai. Data dari WHO (2023) menunjukkan, lebih dari 700 juta orang di dunia mengalami stres kerja kronis dan sebagian besar di antaranya berasal dari kelompok usia produktif. (Kompas.id 06/9/2025 )

Di Indonesia, situasi ini makin terasa. Budaya “hustle culture” yang menuntut kesibukan tanpa henti membuat banyak orang kehilangan keseimbangan hidup. Mereka terjebak dalam siklus kerja–lelah–kerja lagi, hingga melupakan hak diri, keluarga, bahkan ibadah. Ironisnya, kesibukan itu sering dianggap tanda keberhasilan, padahal banyak hati yang justru kosong dan kehilangan arah.

Islam tidak pernah melarang manusia untuk bekerja keras. Bahkan, Allah memerintahkan manusia untuk berusaha mencari rezeki dengan sungguh-sungguh, sebagaimana firman-Nya: "Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung." (QS. Al-Jumu’ah: 10)

Namun, Islam juga mengajarkan keseimbangan antara dunia dan akhirat. Bekerja keras tidak boleh membuat manusia lalai dari tujuan utamanya — yaitu beribadah kepada Allah. Work life struggle muncul karena sistem hidup hari ini berporos pada materialisme dan ambisi duniawi, bukan pada makna dan keberkahan.


Solusi dalam Pandangan Islam

Islam bukan hanya memberikan tuntunan spiritual, tetapi juga sistem kehidupan yang lengkap dan menyeluruh. Dalam Islam harus ada keseimbangan antara urusan dunia dan akhirat. Hal ini diwujudkan melalui aturan yang menata hubungan manusia dengan Allah, manusia dengan diri sendiri, dan manusia dengan masyarakat. Masalah work life struggle tidak akan tuntas hanya dengan motivasi pribadi, tetapi perlu sistem hidup yang benar. Sistem yang menempatkan kerja sebagai ibadah dan menjamin keadilan ekonomi.

Berikut solusi konkret dalam pandangan Islam:
1. Tata Niat: Jadikan Bekerja sebagai Ibadah
Setiap amal dalam Islam bergantung pada niatnya. Ketika seseorang bekerja dengan tujuan mencari rezeki yang halal untuk menafkahi diri, keluarga, dan memberi manfaat bagi umat, maka seluruh aktivitasnya bernilai ibadah. Rasulullah ï·º bersabda: “Tidaklah seseorang memakan makanan yang lebih baik daripada hasil usahanya sendiri.” (HR. Bukhari)
Maka, Islam tidak memisahkan pekerjaan dunia dari nilai akhirat. Bekerja bukan sekadar mencari penghasilan, tetapi wujud penghambaan kepada Allah.

2. Jaga Keseimbangan Dunia dan Akhirat
Islam menolak pandangan ekstrem, baik yang hanya mengejar dunia, maupun yang meninggalkan dunia sepenuhnya. Allah berfirman: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari dunia.” (QS. Al-Qashash: 77)
Artinya, seorang muslim harus bekerja keras di dunia, namun tidak menjadikan dunia sebagai tujuan utama. Dunia hanyalah sarana menuju ridha Allah. Gunakan waktu seimbang antara bekerja, beribadah, beristirahat, dan berinteraksi dengan keluarga. Inilah bentuk work-life balance sejati menurut Islam.

3. Pemenuhan Kebutuhan Pokok: Pangan, Sandang, dan Papan
Islam mewajibkan setiap individu yang mampu untuk berusaha memenuhi kebutuhan pokok dirinya dan keluarganya. Rasulullah ï·º bersabda: “Cukuplah seseorang berdosa jika ia menelantarkan orang yang menjadi tanggungannya.” (HR. Abu Dawud)
Oleh karena itu, Islam memerintahkan kepala keluarga untuk bekerja demi mencukupi kebutuhan pokok seperti makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Namun, jika seseorang tidak mampu bekerja karena faktor usia, cacat, atau kondisi lainnya, maka tanggung jawabnya berpindah kepada negara dan masyarakat untuk menjamin pemenuhan kebutuhannya. Dalam sistem Islam, negara wajib memastikan tidak ada satu pun rakyat yang kelaparan atau terlantar, karena pemenuhan kebutuhan pokok merupakan hak dasar yang dijamin syariat.


4. Negara Menyediakan Fasilitas dan Lapangan Kerja
Islam memandang bahwa negara (Khilafah) memiliki tanggung jawab besar dalam menjamin ketersediaan lapangan kerja bagi rakyatnya. Negara harus menciptakan sistem ekonomi yang memungkinkan setiap orang yang mampu bekerja dapat memperoleh pekerjaan yang layak, bukan sekadar pekerjaan apa saja. Negara berperan menyediakan sarana produktif seperti tanah, modal, dan teknologi agar rakyat dapat bekerja dan menghasilkan. Rasulullah ï·º bersabda: “Imam (pemimpin) adalah pengurus dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Karena itu, dalam sistem Islam Negara tidak boleh membiarkan pengangguran meluas. Aset-aset umum seperti tambang, energi, dan sumber daya alam dikelola negara untuk kepentingan rakyat, bukan swasta atau korporasi asing. Negara membuka lapangan kerja melalui pengelolaan sektor publik dan pengembangan ekonomi berbasis syariah. Dengan demikian, rakyat yang mampu bekerja akan mendapatkan kesempatan yang adil untuk mencari nafkah tanpa eksploitasi.

5. Bangun Sistem Kerja yang Adil dan Manusiawi
Islam menolak eksploitasi tenaga kerja. Setiap pekerja harus dihormati dan diperlakukan secara manusiawi. Sistem kerja Islam menjamin hubungan yang adil antara majikan dan pekerja, tanpa penindasan atau ketimpangan. Negara memastikan sistem pengupahan yang adil serta kebijakan ekonomi yang berpihak kepada kesejahteraan rakyat, bukan kepentingan pemodal.

6. Rawat Ketenangan Spiritual
Ketenangan sejati tidak di dapat dari liburan panjang, harta melimpah, atau prestasi karier. Ia lahir dari hati yang terhubung dengan Allah. Allah berfirman: “Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang.” (QS. Ar-Ra’d: 28)
Zikir, shalat tepat waktu, membaca Al-Qur’an, dan bersyukur atas rezeki yang diterima menjadi terapi rohani bagi stres dunia kerja. Ketika hati tenang, pekerjaan menjadi ringan dan bermakna.

7. Pahami Konsep Rezeki dan Tawakal
Islam menanamkan keyakinan bahwa rezeki telah ditetapkan Allah sejak manusia diciptakan. Maka tidak perlu cemas, serakah, atau memaksakan diri dalam pekerjaan hingga melupakan ibadah. Rasulullah ï·º bersabda: “Seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakal, niscaya kalian akan diberi rezeki sebagaimana burung diberi rezeki; ia pergi pagi dalam keadaan lapar dan pulang sore dalam keadaan kenyang.” (HR. Tirmidzi)
Tawakal bukan berarti pasrah tanpa usaha, melainkan bekerja seoptimal mungkin sambil yakin bahwa hasilnya ada di tangan Allah. Work life struggle bukan hanya masalah ritme kerja, tetapi juga masalah paradigma hidup. Islam menawarkan solusi menyeluruh: niat yang benar, sistem ekonomi yang adil, peran negara yang bertanggung jawab, dan hati yang selalu terhubung dengan Allah.
Ketenangan sejati bukan milik mereka yang paling sibuk, tetapi milik mereka yang paling tahu untuk siapa ia bekerja dan kepada siapa ia akan kembali. “Jangan biarkan dunia menguasai hatimu biarlah ia hanya ada di tanganmu.”




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar