Oleh: Hanifah Tarisa Budiyanti S. Ag
Di tengah semangat peringatan Hari Santri, muncul berbagai pernyataan dan agenda seremonial yang mengundang perhatian.
Dengan inilah kita melihat bagaimana makna perjuangan Islam yang kerap dimaknai dengan beragam tafsir, termasuk oleh para pemangku kebijakan. Seperti halnya Menteri Agama yang mengatakan bahwa pesantren bukan hanya milik umat Islam, akan tetapi juga rumah kebangsaan bagi seluruh anak bangsa.
Pernyataan menag disampaikan di hadapan ribuan santri, kiai, dan pimpinan lintas agama yang hadir, baik secara langsung maupun daring, saat kegiatan Istighasah Hari Santri bertajuk Doa Santri untuk Negeri di Masjid Istiqlal Jakarta, Selasa (21/10/2025). Menag menyebut pesantren sebagai perpanjangan nilai yang sama, lembaga yang melahirkan generasi beradab, santun, dan terbuka terhadap perbedaan.
“Sejak abad ke-13, pesantren telah menjadi laboratorium keadaban publik. Dari sanalah lahir manusia santun, pemimpin yang berjiwa melayani, dan masyarakat yang berakhlak.” Tutur menag.
Samarinda pun tidak mau kalah. Pada momen hari santri kemarin, Walikota Samarinda mengajak santri untuk meneladani semangat resolusi jihad. Kegiatan ini menjadi momentum penting untuk mengenang jasa besar para santri dan ulama dalam perjuangan merebut serta mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Dalam sambutannya, Andi Harun yang merupakan Walikota Samarinda menegaskan, bahwa Hari Santri bukan sekedar peringatan seremonial, melainkan refleksi nilai perjuangan dan nasionalisme yang diwariskan para pendahulu bangsa.
Andi menambahkan, Hari Santri Nasional yang ditetapkan setiap tanggal 22 Oktober memiliki akar sejarah kuat melalui Resolusi Jihad yang dikeluarkan oleh KH Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945. Resolusi ini menyerukan umat Islam untuk berjihad mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari penjajahan.
Sedangkan itu, Wakil Walikota Samarinda Saefuddin Zuhri ikut memberikan pesan khusus bagi para santri di momentum peringatan tahun ini. Menurutnya, santri perlu memperluas cakrawala keilmuan, tidak hanya dalam bidang agama, tetapi juga ilmu pengetahuan umum sebagai bekal menghadapi tantangan zaman.
Namun di balik semarak peringatan dan narasi kebangsaan yang dikedepankan, muncul pertanyaan mendasar: sejauh mana nilai perjuangan Islam yang dulu menjiwai resolusi jihad masih menjadi ruh utama pembinaan santri masa kini? Hal ini karena Peringatan Hari Santri yang penuh makna ini seharusnya tidak hanya berhentu pada seremoni dan simbol kebangsaan, melainkan menjadi momentum menakar kembali arah perjuangan santri dalam menegakkan nilai-nilai Islam di tengah perubahan zaman.
Cermin Perjuangan
Hari Santri yang ditetapkan setiap tanggal 22 Oktober ini memang tak lepas dari perjuangan para ulama dan santri dahuku yang mempertahankan kemerdekaan bangsa melalui resolusi jihad. Hari Santri pun menjadi simbol penghormatan terhadap dedikasi santri yang tidak hanya berperan di bidang keagamaan, tetapi juga dalam membangun moralitas dan peradaban bangsa.
Namun, jika ditelisik lebih dalam, makna Hari Santri sepertinya telah bergeser. Pada awalnya, Hari Santri menjadi refleksi atas peran strategis santri dalam menjawab tantangan zaman dan mengembalikan ruh perjuangan Islam yang sejati. Namun makna tersebut kian bergeser oleh derasnya arus pemikiran moderasi dan nasionalisme yang kerap mengaburkan jati diri hakiki seorang pejuang Islam.
Santri hari ini dihadapkan pada krisis moral dan tantangan yang tidak ringan. Nilai-nilai keislaman yang dulu dijunjung tinggi dan menjadi ruh perjuangan kini mulai bergeser menjadi slogan moral yang bersifat umum, dan tidak lagi dipahami sebagai bagian dari ajaran Islam yang menyeluruh dan ideologis.
Sistem sekuler yang diterapkan negeri ini juga membuat santri kehilangan jati dirinya sebagai seorang Muslim.
Mereka tidak selamat dari budaya Barat yang menyerang gaya hidup anak muda masa kini. Pergaulan bebas, bullying, dan sederer kasus krisis moral lainnya juga banyak dialami santri. Dengan pemikiran moderasi, santri pun justru takut mempelajari Islam secara luas.
Makna jihad pun dikaburkan menjadi jihad ilmu atau jihad melawan nafsu. Islam pun tidak dipahami secara politis apalagi dijadikan standar dalam beraktivitas.
Wajar kalau kita sebut peringatan Hari Santri hanya menjadi seremonial belaka tanpa melihat akar masalah dari banyaknya karakter santri yang tidak sesuai dengan identitas keislaman.
Begitupun pandangan sebagian besar orang yang memandang pesantren adalah tempat yang menyuburkan budaya patriarki karena terkenal dengan tradisi takzim kepada ulama dan kyainya. Padahal tradisi takzim tersebut adalah tuntunan syariat.
Belum lagi pandangan negatif lainnya yang melabeli santri/pesantren sebagai kelompok yang ketinggalan zaman, tidak relevan dengan dunia modern, atau bahkan ikut dalam isu-isu radikalisme. Berbagai pandangan ini sejatinya lahir dari cara pandang sekuler yang menilai kesuksesan hanya dari standar materi dan rasionalitas Barat. Label radikal pun juga tak lepas dari pandangan masyarakat.
Sikap kritis terhadap kebijakan pemerintah atau keteguhan dalam memperjuangkan Islam seringkali disalahartikan sebagai bentuk intoleransi atau ancaman terhadap kebhinekaan. Alhasil, pesantren justru disangka sebagai sumber ekstremisme. Sungguh semua pandangan negatif ini memang niscaya dalam kehidupan kapitalisme yang masyarakatnya jauh dari kehidupan Islam yang hakiki. Lantas, bagaimana seharusnya memaknai hari santri dalam pandangan Islam? Apa peran santri sesungguhnya dalam menyambut peradaban Islam?
Santri dan Cahaya Peradaban Islam
Sejarah telah membuktikan bahwa pesantren sejatinya adalah pusat lahirnya pejuang, cendekia, dan ulama pembela negeri. Santri bukan kelompok ekslusif, melainkan generasi yang mampu mengintegrasikan antara ilmu, akhlak, dan pengabdian.
Hanya saja, di tengah kehidupan yang serba sekuler hari ini, makna santri yang sejati telah direduksi menjadi sekedar santri tanpa ruh perjuangan Islam sebagaimana dicontohkan para ulama terdahulu. Memang, saat ini penjajahan fisik atau militer di Indonesia sudah selesai, akan tetapi perjuangan santri belum selesai.
Hal ini karena penjajahan tetap ada namun dengan gaya baru yaitu penjajahan pemikiran dan budaya yang disusupkan Barat kepada negeri-negeri Muslim. Barat menanamkan paham-paham yang bertentangan dengan Islam seperti sekulerisme, demokrasi, nasionalisme, moderasi beragama, dan liberalisme yang nyata-nyata telah menjauhkan generasi dari pemahaman Islam yang benar.
Oleh karena itu, para santri dan ulama yang merupakan bagian dari kaum intelektual harus membaca fenomena ini dan diharapkan menjadi motor perubahan yang bisa membangkitkan semangat perlawanan terhadap penjajahan Barat gaya baru dan melibatkan diri dalam barisan perjuangan dakwah yang mukhlis.
Para santri dan ulama dengan pesantren nya yang mempunyai sistem yang khas harus sungguh-sungguh dalam mencetak generasi tangguh yang faqih fiddin, memiliki kesadaran politik Islam yang tinggi dan skill di berbagai bidang kehidupan, sehingga muncul calon pemimpin peradaban yang siap menantang zaman.
Sudah saatnya, santri dan ulama menyadari potensinya untuk perjuangan melanjutkan kehidupan Islam. Semangat jihad bukan karena nasionalisme, melainkan karena perintah Allah.
Santri harus punya kesadaran bahwa jihad hakiki hari ini adalah mewujudkan peradaban Islam yang akan membebaskan negeri-negeri Muslim yang tertindas. Tentunya mempelajari Islam secara menyeluruh, beramal shalih dengan penuh keikhlasan, dan mendakwahkan Islam secara totalitas adalah modal utama dari perjuangan ini.
Wahai pemuda-pemudi Islam, sungguh khilafah dan kebangkitan Islam itu adalah janji Allah dan Rasul-Nya. Tidak kah kita ingin menjadi bagian dari barisannya?
Allah Taala berfirman: “Ingatlah ketika pemuda-pemuda itu berlindung ke dalam gua lalu mereka berdoa, “Ya Tuhan Kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah petunjuk yang lurus bagi kami dalam urusan kami.” (TQS Al-Kahfi ayat 10).
Wallahu ‘alam bis shawab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.


0 Komentar