Oleh: Tsaqifa Farhana
Semarak peringatan Hari Santri Nasional selalu meriah di setiap pelosok negeri. Tahun ini, pemerintah mengusung tema “Mengawal Indonesia Merdeka Menuju Peradaban Dunia.”
Presiden Prabowo Subianto dalam pidatonya mengajak para santri menjadi penjaga moral dan pelopor kemajuan bangsa. Ia juga mengenang Resolusi Jihad KH Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945, yang menjadi tonggak perjuangan ulama dan santri dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Namun, di tengah seremonial ini, muncul satu pertanyaan yang menggantung di benak saya. “Apakah semangat jihad yang diwariskan para santri dulu masih hidup dalam diri santri hari ini? atau justru terkubur di balik seremonial tahunan dan jargon-jargon pembangunan?”
Ketika Santri Dijauhkan dari Jati Dirinya
Pesantren melahirkan pejuang yang gagah di medan perang dan kokoh di medan pemikiran. Mereka tak hanya hafal kitab, tapi juga tegas melawan penjajahan, karena jihad bukan sekadar melawan senjata, tapi melawan segala bentuk kemungkaran.
Kini, banyak program baru bermunculan, mulai dari program Duta Santri, Santri Preneur, Santri Digitalpreneur. Santri diarahkan menjadi influencer, pebisnis, dan agen moderasi.
Keren di permukaan, tapi sayangnya, banyak yang kehilangan ruh perjuangan. Jiwa faqih fiddin, kepekaan terhadap penderitaan umat, dan semangat menegakkan syariat Islam perlahan digantikan ambisi duniawi.
Narasi “santri moderat” lebih sering didengungkan daripada “santri ideologis”. Seolah santri yang kritis terhadap sistem dianggap ekstrem, sementara yang ikut arus globalisasi disebut modern.
Padahal, bukankah santri sejati justru mereka yang berani menegakkan kebenaran di tengah arus yang menyesatkan?
Penjajahan Gaya Baru yang Lebih Halus
Musuh santri hari ini bukan lagi penjajah yang mengangkat senjata, melainkan sistem global yang mengikat melalui ideologi yang mengatur politik, ekonomi, budaya.
Presiden Prabowo memang mengingatkan, “Semangat jihad yang digelorakan para santri 80 tahun silam tetap relevan hingga hari ini, yaitu menjaga keutuhan bangsa dengan ilmu dan keimanan.”
Namun, apakah semangat jihad itu masih benar-benar hidup? Atau justru teredam dalam sistem yang membungkusnya dengan istilah keren bernama moderasi beragama?
Beragam program lahir atas nama “pemberdayaan santri”: Duta Moderasi, Duta Pesantren, OPOP, hingga Direktorat Jenderal Pesantren. Tapi di balik itu, arah perjuangan santri pelan-pelan bergeser dari faqih fiddin menjadi pelaku proyek pembangunan ala sekuler.
Konsep moderasi beragama, yang diklaim sebagai wajah Islam rahmatan lil ‘alamin, sebenarnya lahir dari rahim sekularisme.
Dalam kemasannya yang lembut, ia menumpulkan ideologi Islam. Santri diarahkan menjadi muslim “toleran” terhadap ide Barat, tapi abai terhadap syariat kaffah.
Padahal penjajahan hari ini bukan lagi soal senjata dan kapal perang. Ia hadir lewat kebijakan ekonomi yang menekan pesantren agar mandiri tanpa sokongan negara. Lewat pendidikan mahal, yang membuat ilmu menjadi hak istimewa, bukan hak publik. Lewat narasi pemikiran, yang membuat generasi muda takut berbeda dan takut menyuarakan Islam sebagai solusi.
Semua ini menjadikan penjajahan modern jauh lebih halus tapi lebih berbahaya, karena menumpulkan kesadaran umat dari akar syariat.
Mengembalikan Ruh Santri dan Pesantren
Peran strategis santri harus dikembalikan sebagaimana semangat pendahulunya yakni penjaga umat dan pelopor peradaban Islam. Santri bukan sekadar pelajar yang hafal Qur’an dan kitab kuning, tapi calon pemimpin peradaban yang harus dibina dengan paradigma Islam.
Setidaknya ada tiga potensi utama yang dimiliki santri.
Pertama, potensi dari segi kuantitas. Kementerian Agama mencatat, pada Oktober 2025 terdapat 42.391 pesantren di Indonesia dengan lebih dari 2,5 juta santri. Angka yang luar biasa besar, bukan sekadar statistik, melainkan potensi kebangkitan peradaban Islam jika diarahkan dengan visi yang benar. Angka ini bukan main-main ia menunjukkan betapa besar basis kader dakwah Islam kaffah di negeri ini. Santri adalah calon penopang peradaban Islam.
Kedua, potensi keilmuan. Santri adalah warasatul anbiya , pewaris perjuangan para nabi. Mereka menguasai ilmu alat, memahami bahasa Arab, menelaah kitab klasik, menghafal Qur’an dan hadits, serta mampu menggali hukum Islam secara mendalam. Bahkan, survei menunjukkan 83% masyarakat Indonesia masih menaruh kepercayaan tinggi kepada kiai dan santri karena dianggap paham agama dan memiliki tsaqafah Islam yang kokoh. Potensi keilmuan inilah yang mestinya menjadi fondasi perubahan. Ketika ilmu Islam itu diterapkan, bukan hanya dipelajari.
Ketiga, potensi historis. Sejarah mencatat, pesantren, kiai, dan santri punya peran besar dalam perjuangan bangsa. Dari Pangeran Diponegoro hingga Resolusi Jihad KH Hasyim Asy’ari, semua menunjukkan bahwa santri adalah garda terdepan, pejuang melawan penjajahan dan kezaliman.
Jika seluruh potensi itu digerakkan atas dasar aqidah Islam, bukan visi ekonomi pragmatis, maka akan lahir generasi pemimpin Islam yang berilmu dan berani menegakkan kebenaran.
Pesantren memiliki sistem khas dalam mencetak generasi yang tangguh dan fakih fiddin. Jika potensi itu digerakkan atas dasar aqidah Islam, bukan visi pragmatis ekonomi, maka dari tangan para santri inilah akan lahir generasi pemimpin peradaban Islam yang siap menjawab tantangan zaman.
Pesantren pun harus kembali menjadi madrasah peradaban bukan sekadar lembaga pendidikan, tapi benteng ideologis yang menyiapkan pejuang penegak syariat. Negara wajib hadir sebagai penanggung jawab utama menjamin pendidikan Islam dengan dukungan penuh. Baik dari sisi anggaran, kurikulum berbasis aqidah, maupun kemandirian dari intervensi asing.
Dalam sistem Islam, fungsi ini diemban oleh Khilafah, yang menjadikan ilmu dan pendidikan sebagai sarana mencetak mujahid intelektual bukan buruh industri kapitalisme.
Negara seharusnya berdiri di garda terdepan melindungi umat dari penjajahan modern, baik ekonomi, politik, maupun ideologi.
Namun faktanya, banyak pesantren hari ini masih berjuang sendiri, guru bergaji minim, fasilitas seadanya, dan biaya pendidikan bergantung pada swadaya. Negara hadir hanya di momen perayaan, bukan dalam jaminan kesejahteraan.
Padahal dalam Islam, pendidikan adalah tanggung jawab negara, bukan individu atau lembaga swasta. Negara wajib menjamin pendidikan gratis dan bermutu, termasuk bagi pesantren. Negara harus menanggung kurikulum, gaji pengajar, hingga infrastruktur pendidikan, sebagaimana pernah dilakukan Khalifah Umar bin Khaththab yang menggaji guru Al-Qur’an 15 dinar per bulan dari baitulmal.
Sayangnya, di bawah sistem kapitalisme sekuler hari ini, pendidikan termasuk pesantren dikomersialisasi. Akhirnya pesantren hanya bisa bertahan, bukan berkembang.
Santri Melek Politik, Problem Solver Umat
Momentum Hari Santri seharusnya menjadi wake-up call bagi seluruh pemuda muslim dan santri. Bahwa kita tak cukup hanya menjadi pribadi saleh, tapi juga harus memiliki kesadaran politik Islam dengan memahami akar masalah umat dan berjuang untuk menegakkan solusi Islam secara kaffah.
Santri mesti melek politik dan sadar Islam, bukan agar tampil keren di ruang publik, tapi supaya benar-benar bermanfaat bagi masyarakat.
Santri harus berani turun ke tengah umat, menyatu dengan mereka, memahami persoalan riil yang sedang dihadapi dari ekonomi yang mencekik, pendidikan yang mahal, sampai moralitas bangsa yang kian rapuh.
Karena sejatinya, santri bukan hanya penjaga akhlak, tapi juga problem solver umat. Mereka pelopor perubahan.
Tapi jujur saja, para santri, pemuda, dan aktivis Muslim hari ini, belum menampakkan kekuatan besar itu. Aktivisme kita sering kali masih terjebak di ranah simbolik, belum sampai pada perjuangan ideologis yang menembus akar masalah.
Hari ini, banyak anak muda, termasuk santri, mudah terseret oleh ideologi kufur sekularisme dan kapitalisme. Yang membungkus diri dengan slogan kemajuan dan kebebasan. Padahal, justru dua ideologi inilah yang perlahan memisahkan manusia dari peran aslinya sebagai hamba dan khalifah Allah di muka bumi.
Maka di sinilah pentingnya kesadaran politik Islam. Bukan politik praktis yang penuh intrik kekuasaan, tapi politik yang dimaknai sebagai ri’ayatus syu’unil ummah ,mengurus urusan umat dengan aturan Islam. Islam seharusnya menjadi driver yang menggerakkan seluruh aspek kehidupan, termasuk pemikiran dan gerakan para santri.
Kalau santri kembali pada jati dirinya sebagai warasatul anbiya, pewaris perjuangan para nabi. Maka mereka akan menjadi motor perubahan sejati. Perubahan yang bukan sekadar mengganti wajah pemerintahan, tapi mengubah sistem yang kufur menjadi sistem yang menebar rahmat bagi seluruh alam.
Di tangan para santri yang sadar perannya, jihad melawan penjajahan gaya baru akan terus menyala bukan hanya di medan sejarah, tapi di seluruh lini kehidupan umat hari ini.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.


0 Komentar