Oleh : Eliska Sari, S.Pd
Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara (Pemkab Kukar), Kalimantan Timur, memotivasi Badan Amil Zakat Nasional atau BAZNAS setempat untuk mengoptimalkan besarnya potensi zakat tahun ini yang jumlahnya mencapai Rp. 1,6 Triliun. Namun berdasarkan laporan BAZNAS, zakat yang berhasil dihimpun hingga Juli 2025 senilai Rp. 7,5 miliar. Ini berarti hanya 0,46 % dari hasil zakat yang seharusnya terkumpul. Menyikapi hal ini Pemerintah Kukar mengadakan Rapat Koordinasi Daerah UPZ (Unit Pengumpul Zakat) bersama BAZNAS Kukar. Mereka berharap, melalui rakorda ini bisa mengevaluasi capaian pengumpulan zakat, serta mengatur strategi pengelolaan zakat, agar dana zakat ini bisa dikelola dengan optimal untuk menurunkan angka kemiskinan.
Potensi besar zakat memang menjadi simbol harapan di tengah semakin tingginya angka kemiskinan. Tapi hal ini tentunya menjadi pertanyaan besar juga bagi kita, apakah zakat benar-benar bisa menuntaskan kemiskinan? Betul memang, zakat adalah salah satu upaya yang disyariatkan Islam untuk menyelesaikan persoalan kesenjangan sosial dan kemiskinan. Hanya saja, zakat bukanlah satu-satunya mekanisme untuk menyelesaikan problem tersebut. Tentu, negara juga harus optimal dalam menjamin kebutuhan masyarakat, tersedianya lapangan kerja, serta mengelola SDA semata-mata untuk kesejahteraan rakyat.
Ironinya, di sistem kapitalisme hari ini, zakat menjadi alat untuk menutupi buruknya pengelolaan negara dalam menyejahterakan rakyatnya. Karena realitas sistem kapitalisme telah menciptakan kemiskinan struktural. Negara justru lepas tangan, zakat dijadikan proyek moral, padahal akar masalahnya adalah pengelolaan SDA yang dikuasai korporasi, sehingga kemiskinan pada masyarakatpun tidak kunjung bisa diselesaikan.
Lagipula, banyak pos pemasukan negara yang seharusnya dioptimalkan sebelum pemerintah menengok kepada pos zakat. Sumber daya alam yang setiap hari di eksploitasi, seharusnya lebih dari cukup untuk menyelesaikan persoalan kemiskinan jika dikelola 100% untuk kesejahteraan rakyat. Maka semestinya sebelum kita berbicara soal besarnya jumlah dana zakat, kita harus lebih dulu berpikir tentang besarnya sumber daya alam yang kita miliki, terutama di Kalimantan Timur. Lantas mengapa kemiskinan ini tidak kunjung selesai?
Akar masalahnya adalah karena sistem kapitalisme yang diterapkan hari ini , baik secara pemerintahan ataupun ekonomi, menjadikan semua keberpihakan ada pada para kapital (pemilik modal) yaitu para pengusaha, walaupun sudah jelas apa yang mereka lakukan hanya terus menambah kekayaan pribadi, tidak sedikitpun memberi keuntungan kepada rakyat. "Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin", benar rupaya peribahasa itu.
Berbeda dengan sistem Islam. Dalam syariat, zakat memang menjadi salah satu pos pemasukan selain pos kharaj, ghanimah (harta rampasan perang), dharibah, termasuk kekayaan dan kepemilikan umum SDAE yang dikelola negara. Tetapi pos zakat hanya diberikan kepada 8 asnaf yang telah ditetapkan oleh syariat (fakir, miskin, amil, mualaf, riqab (budak), gharim (orang yang berutang), fisabilillah, dan ibnu sabil). Selain daripada 8 golongan tersebut maka tidak berhak untuk menerima harta zakat.
Sehingga banyaknya pemasukan dari pos zakat, tidak sedikitpun menghilangkan peran negara sebagai penanggungjawab utama atas segala urusan rakyat. Negara tetap wajib menjamin kebutuhan pokok rakyatnya serta mengelola kekayaan umum untuk kesejahteraan rakyat.
“Imam (Khalifah) adalah pengurus rakyat dan akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR. Bukhari).
Wallahua’lam bish shawaab
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.


0 Komentar