Oleh : Sylvi Raini
Lagi dan lagi, kasus seorang siswa SMP di Kulon Progo, DIY, yang terjerat judi online (judol) dan utang pinjaman online (pinjol) hingga bolos sekolah selama sebulan terakhir, mengguncang perhatian publik. Ia terperangkap dalam lingkaran hutang akibat kalah bermain judi daring. Fenomena ini bukan kasus tunggal, melainkan gejala sosial yang mengungkap krisis sistemik, mulai dari pendidikan, keluarga, hingga lemahnya peran negara.
Wakil Ketua Komisi X DPR RI, My Esti Wijayanti, menilai bahwa munculnya kasus semacam ini tidak lepas dari kesalahan arah pendidikan Indonesia. Ia menyoroti bahwa pendidikan kita gagal membentuk karakter dan kesadaran moral siswa dalam menghadapi tantangan digital. (Kompas, 29 Oktober 2025).
Lebih jauh, laporan Tirto.id (2025) menunjukkan bahwa konten judi online kini telah merambah situs-situs pendidikan dan game daring yang diakses siswa. Kondisi ini menjadikan pelajar sangat rentan terpapar. Ketika uang habis karena kalah judi, mereka mencari jalan pintas melalui pinjaman online. Maka, pinjol dan judol menciptakan sebuah lingkaran setan digital. Mengakibatkan kecanduan, hutang, stres, dan akhirnya putus sekolah.
Rusaknya Sistem Kapitalistik
Beberapa kasus yang telah di paparkan tadi, menjadi cerminan atas lemahnya pengawasan di dua level penting yaitu keluarga dan institusi pendidikan. Banyak orang tua tidak memahami bagaimana anak mereka berinteraksi di dunia digital, sementara sekolah lebih fokus pada aspek akademik tanpa memperkuat literasi digital dan pengawasan moral. Namun persoalan tidak berhenti di sana, karena negara pun tampak gagal menjalankan perannya sebagai pelindung rakyat. Situs-situs judi daring masih bisa diakses dengan mudah, bahkan beriklan secara terbuka di media sosial dan platform hiburan.
Dalam sistem kapitalisme digital, negara sering berperan hanya sebagai regulator, bukan berperan sebagi pelindung. Prinsip kebebasan pasar membuat perusahaan digital berlindung di balik dalih “hak pengguna” dan “akses bebas internet”. Keuntungan ekonomi akhirnya lebih diutamakan dibanding keselamatan moral dan sosial generasi muda.
Akar persoalan yang lebih dalam terletak pada cara berpikir generasi muda yang rusak akibat sistem nilai kapitalistik. Pola pikir instan, ingin cepat kaya tanpa kerja keras. Hal ini membuat mereka semakin mudah tumbuh ketika akses judi dan pinjol dibuka lebar. Kapitalisme menanamkan keyakinan bahwa keberhasilan diukur dari materi, bukan moralitas. Dalam logika ini, perjudian dianggap sebagai cara “mudah” untuk mendapatkan uang, padahal sejatinya merusak mental, sosial, dan spiritual.
Program pendidikan karakter dan literasi digital yang digalakkan pemerintah sejauh ini belum menyentuh akar persoalan. Pendidikan karakter cenderung seremonial dan tidak menanamkan kesadaran moral yang mendalam, sementara literasi digital hanya berfokus pada kemampuan teknis, bukan nilai. Akibatnya, meski siswa tahu bahwa judi itu salah, mereka tidak memiliki fondasi keyakinan yang kuat untuk menolak karena tidak diarahkan pada sistem nilai yang kokoh.
Pendekatan Islam Memerangi Judol dan Pinjol
Fenomena siswa SMP yang terjerat pinjol dan judi online tidak cukup diatasi dengan sekadar himbauan moral, pelarangan administratif, atau edukasi karakter yang bersifat permukaan. Akar masalahnya lebih dalam yaitu krisis nilai dan arah berpikir dalam sistem pendidikan dan sosial yang terlepas dari landasan akidah Islam. Karena itu, solusi yang dibutuhkan harus bersifat sistemik dan ideologis. Yaitu dengan kembali menata pendidikan, keluarga, dan peran negara berdasarkan pandangan hidup Islam.
Menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, tujuan pendidikan dalam Islam adalah membentuk syakhshiyyah Islamiyyah kepribadian yang terikat dengan akidah Islam baik dalam pola pikir (aqliyah Islamiyyah) maupun pola sikap (nafsiyyah Islamiyyah). Ia menegaskan bahwa seluruh kurikulum dan proses pendidikan harus berporos pada akidah Islam, bukan sekadar mengajarkan ilmu pengetahuan umum yang netral nilai. Dengan begitu, peserta didik tidak hanya tahu bahwa judi atau riba itu salah, tetapi memiliki keyakinan dan kesadaran yang kokoh untuk menjauhinya, karena terikat oleh keimanan, bukan sekadar norma sosial.
Ustadz Shiddiq Al Jawi, seorang pakar Fiqh Kontemporer, memberikan sebuah pemahaman tentang pentingnya fikih kontemporer sebagai panduan menghadapi persoalan modern seperti pinjaman online, transaksi digital, dan judi daring. Ia menjelaskan bahwa setiap fenomena baru harus dikembalikan pada kaidah syariah yang jelas, agar umat memiliki panduan hukum dan moral yang tegas. Dengan demikian, pelajar perlu dibekali literasi fikih digital sebagai pengetahuan yang tidak hanya mengajarkan cara menggunakan teknologi, tetapi juga memahami batas halal-haram dan tanggung jawab moral dalam dunia digital.
Selain pendidikan individu, peran negara menjadi kunci penting. Dalam pandangan Islam, negara bukan hanya regulator, tetapi pelindung (raa’in) dan penanggung jawab rakyat. Negara wajib menutup seluruh akses terhadap situs-situs judi online, menindak tegas para pelaku dan penyedia, serta memastikan sistem keuangan digital tidak membuka celah bagi praktik riba dan pinjaman ilegal. Negara juga harus mengarahkan sistem pendidikannya agar menghasilkan generasi beriman, berilmu, dan berakhlak, bukan sekadar pekerja yang siap diserap pasar.
Selain itu, solusi bagi krisis moral generasi muda tidak bisa dilepaskan dari penerapan syariat Islam secara menyeluruh. Menjadi hal yang sangat penting menjaga lingkungan sosial yang bersih dari konten maksiat dan sistem ekonomi yang tidak menjerumuskan rakyat pada utang ribawi. Dalam sistem Islam menempatkan pendidikan, ekonomi, dan teknologi di bawah kendali nilai-nilai yang bersumber dari Kalamullah, bukan keuntungan materi semata.
Maka, solusi Islam tidak hanya berbicara tentang penutupan situs judi atau kampanye anti pinjol, melainkan perubahan paradigma dengan membangun generasi yang memiliki identitas Islam yang kuat, literasi fikih digital yang memadai, dan hidup dalam sistem sosial yang menegakkan nilai-nilai syariah. Hanya dengan cara itu, anak-anak muda akan memiliki benteng moral yang kokoh di tengah derasnya arus digital dan kapitalisme yang menipu. Dan dengan sistem islam dalam naungan Daulah Islamiyyah semua itu akan terwujud. Wallahu’alam bishowab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.


0 Komentar