Oleh: Isheriwati, SPdi.
Program makan bergizi Gratis ( MBG ) adalah program inisiatif pemerintah Indonesia yang berakar dari keprihatinan atas kondisi gizi di Indonesia, dan cita- cita untuk mempersiapkan generasi emas dimasa depan.
Alokasi anggaran untuk program unggulan presiden terpilih Prabowo Subianto itu disepakati Rp71 triliun dan akan dilakukan secara bertahap. Anggaran tersebut jauh lebih kecil dari perkiraan tim Prabowo-Gibran yang kala itu membutuhkan sekitar Rp100—120 triliun per tahun.
Program MBG mulai diberlakukan pada 2 Januari 2025. Pemerintah menargetkan jumlah penerima MBG sebanyak 15,42 juta jiwa yang terdiri dari anak sekolah, santri, ibu hamil, ibu menyusui, dan balita di 514 kabupaten/kota. Dalam program ini, makanan yang disediakan mengikuti standar kecukupan gizi yang ditetapkan, termasuk protein, vitamin, mineral, dan energi.
Berawal dari tingginya angka stunting dan gizi buruk di Indonesia, pasangan presiden dan wakil presiden terpilih Prabowo-Gibran mengeklaim akan memperbaiki dan meningkatkan gizi anak melalui program unggulan bernama makan siang gratis (sekarang berganti nama menjadi makan bergizi gratis).
Berdasarkan riset Center for Indonesian Policy Studies, terdapat 21 juta jiwa atau 7% dari populasi penduduk Indonesia kekurangan gizi dengan asupan kalori per kapita harian di bawah standar Kemenkes, 2.100 kilo kalori (kkal). Tercatat pula, 21,6% anak berusia di bawah lima tahun mengalami stunting pada 2023. Sedangkan 7,7% lainnya menderita wasting alias rendahnya rasio berat badan berbanding tinggi badan.
Akankah gizi generasi meningkat seiring terealisasinya program MBG ini? Merujuk kebijakan presiden dan wakil presiden tentang program MBG, ada beberapa hal yang perlu kita kritisi:
Pertama, inkonsistensi pasangan Prabowo-Gibran sudah mulai tampak dalam program ini. Mulai dari pergantian nama hingga polemik susu sapi diganti susu ikan. Saat kampanye pilpres lalu, anggaran makan siang gratis per porsi diproyeksikan sebesar Rp15.000. Kini dipangkas menjadi Rp10.000 per porsi. Dengan porsi harga sekian, mungkinkah nutrisi dan gizi dapat terpenuhi dengan baik?
Kedua, susu ikan sebagai pengganti susu sapi banyak disorot masyarakat. Pada dasarnya, susu ikan merupakan susu analog hasil dari Hidrolisat Protein Ikan (HPI) yang diolah dan disajikan menyerupai susu. Kepala Divisi Produksi Ternak Perah, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi, Fakultas Peternakan IPB University Epi Taufik mengatakan proses hidrolisis enzim protein ikan membutuhkan biaya mahal, proses panjang, dan pemanasan bersuhu tinggi untuk menghasilkan bubuk HPI. Proses pemanasan tersebut berpotensi mengurangi kandungan vitamin dan nutrisi pada ikan sehingga lebih baik mengonsumsi ikan utuh atau ikan olahan. Selain harganya terjangkau, ikan utuh juga memenuhi makan bergizi untuk anak.
Beberapa pakar gizi dan kesehatan juga menyarankan hal serupa agar program makan bergizi gratis jangan sampai mengeliminasi tujuan memperbaiki kualitas gizi generasi. Ini karena wacana pemberian susu ikan merupakan produk makanan yang terkategori ultra process food. Jika makanan yang disajikan ke generasi banyak berkurang kandungan gizinya, akan muncul masalah penyakit, seperti obesitas, diabetes, jantung, dan gangguan kesehatan lainnya.
Alih-alih mengonsumsi makanan sehat dan bergizi, generasi malah mengonsumsi makanan yang membahayakan kesehatan. Kebijakan mengganti susu sapi dengan susu ikan secara tidak langsung telah memberi kesempatan bagi korporasi untuk meraup keuntungan. Saat ini tidak banyak industri dalam negeri yang memproduksi bubuk HPI (susu ikan) sehingga ada peluang bagi industri susu atau penyedia pangan dari luar negeri untuk melakukan investasi di Indonesia, seperti Jepang dan Australia yang merespons positif program ini.
Sebelumnya, Indonesia telah menjadi pasar ekspor produk susu terbesar ketiga bagi Australia dengan nilai sekitar 130 juta dolar AS per tahun. Tidak menutup kemungkinan peluang besar ini akan direalisasikan Australia dalam program susu ikan gratis. Sebagai gambaran, untuk memenuhi kebutuhan pangan 82,9 juta anak sekolah selama satu hari saja dibutuhkan 4 juta kiloliter susu segar. Tidak terbayang berapa banyak keuntungan yang didapat korporasi dari produksi susu ikan ini.
Ketiga, pemerintah mengeklaim program makan bergizi gratis, termasuk susu ikan gratis, akan membantu petani skala kecil dan produsen pangan lokal untuk meningkatkan ketahanan pangan. Selain itu, perluasan sektor pangan dengan adanya program ini akan menciptakan lebih banyak lapangan kerja.
Kebanyakan, produksi pangan yang dikelola korporasi menghasilkan produk yang lebih baik dan lebih murah harganya. Untuk efisiensi, negara pasti mempertimbangkan memilih produk pangan dengan kualitas baik dan harga terjangkau. Jika demikian, petani dan produsen lokal pasti terkena dampak buruknya.
Sudah jamak kita ketahui, sarana produksi pertanian yang dimiliki petani lokal masih jauh dari standar. Kekalahan dalam modal dan kecanggihan alat pertanian kerap membuat kualitas produk petani lokal lebih rendah daripada produk pertanian milik korporasi. Yang terjadi, petani lokal justru kalah bersaing dengan produsen pemilik modal besar (kapitalis) dari aspek harga dan kualitas produk.
Keempat, program makan bergizi gratis akan sulit mewujudkan generasi berkualitas. Masalah stunting dan gizi buruk hanyalah persoalan cabang akibat tidak terpenuhinya kebutuhan dasar. Kebutuhan dasar tidak terpenuhi karena pendapatan rakyat lebih rendah dibandingkan pengeluaran. Kondisi rakyat saat ini besar pasak daripada tiang karena pendapatan kecil, bahkan tidak ada.
Sementara itu, pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan dasar terus meningkat. Jika kondisi ini terjadi secara berkelanjutan, angka kemiskinan bisa meningkat sehingga memengaruhi tingkat stunting dan gizi buruk. Jika ditinjau dari sisi gizi, sebenarnya masalahnya bukan program makan bergizi gratisnya, melainkan kemiskinan yang menghalangi terbentuknya generasi sehat dan kuat.
Pemerintah seharusnya menetapkan kebijakan untuk menghilangkan atau meminimalkan kemiskinan. Masalahnya, sistem kapitalisme meniscayakan kemiskinan terjadi karena negara tidak sepenuhnya menjalankan fungsinya sebagai ra‘in (pengurus rakyat).
Kapitalisme menyebabkan tingkat kemiskinan makin menjulang, pendapatan masyarakat rendah, lapangan kerja sempit, dan tingginya kenaikan harga pangan bergizi bagi keluarga. Alhasil, kondisi ekonomi yang serba sulit mendorong peningkatan stunting dan gizi buruk.
Dalam kapitalisme, negara hanya bertindak sebagai regulator dan fasilitator, bukan pelayan rakyat. Demokrasi yang katanya pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat, praktiknya berbeda dari teorinya. Pemimpin terpilih dari sistem saat ini sejatinya tidak akan bisa melayani rakyat sepenuh hati. Buktinya, program makan bergizi gratis cenderung beraroma bisnis ketimbang memperhatikan gizi generasi. Dari satu kebijakan, lahirlah peluang bagi korporasi mengambil alih peran negara.
Program makan bergizi gratis terindikasi menjadi program industrialisasi korporasi dan investasi dalam sektor pangan. Negara seharusnya menyediakan layanan terbaik di semua bidang. Namun, sistem saat ini membuat peran tersebut termarginalkan. Dari semua kebijakan , sektor strategis yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat kerap dikomersialisasi, semisal kesehatan, pendidikan, dan pangan.
Penutup
Setiap individu rakyat berhak mendapatkan makanan bergizi, bukan hanya orang miskin. Tugas ini dibebankan kepada Negara yang bertanggung jawab penuh dalam mempermudah rakyat mendapatkan akses makanan bergizi, seperti harga pangan terjangkau dan distribusi pangan yang merata ke seluruh wilayah sehingga tidak terjadi kelangkaan pangan di salah satu wilayah.
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) memiliki potensi besar untuk tidak efektif dalam menyelesaikan masalah pokok masyarakat, seperti kemiskinan dan kesenjangan ekonomi, karena sistem ekonomi kapitalisme saat ini tidak akan menyelesaikan masalah-masalah tersebut secara tuntas.
MBG hanya akan menguntungkan korporasi besar yang menjadi pemasok bahan baku, sementara upah tenaga kerja masih akan mengikuti ketentuan upah dalam sistem yang berlaku saat ini, serta proyek ini juga membuka celah korupsi.
Solusi Islam untuk masalah Makan Bergizi Gratis (MBG) adalah dengan menerapkan sistem ekonomi Islam yang berbasis syariat, yaitu:
Pemenuhan Kebutuhan Dasar: Negara bertanggung jawab memenuhi kebutuhan dasar rakyat, termasuk pangan, kesehatan, dan pendidikan.
Distribusi Kekayaan: Islam mendorong distribusi kekayaan melalui zakat, infak, sedekah, dan wakaf untuk membantu keluarga miskin memenuhi kebutuhan pangan.
Kebijakan Ekonomi yang Adil: Sistem ekonomi Islam mencegah monopoli dan memastikan kekayaan tidak hanya berputar di kalangan tertentu, sehingga masyarakat mampu mencukupi kebutuhan anak-anak mereka.
Peran Ibu: Islam memuliakan peran ibu dalam memberikan ASI eksklusif selama dua tahun, sebagai bentuk pemenuhan gizi terbaik bagi bayi.
Pendidikan dan Pengawasan: Memberikan edukasi tentang pentingnya makanan bergizi sesuai syariat dan pengawasan ketat terhadap kualitas gizi untuk mencegah stunting dan masalah kesehatan lainnya.
Dengan demikian Islam sebagai ajaran yang sempurna mampu menjawab semua permasalahan yang ada. Jika sistem ekonomi islam diterapkan, maka meningkatkan dan memperbaiki gizi generasi akan terwujud, MBG akan memberantas stunting secara berkelanjutan dan berbagai persoalan kemiskinan lainnya. Wallahualam bissawab
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.


0 Komentar