Hari Santri Nasional Hanya Sebatas Seremonial?


Oleh: Diana Sutaty Satya

Hari Santri Nasional (HSN) yang diperingati setiap 22 Oktober kembali disambut dengan gegap gempita. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pun menginstruksikan beragam kegiatan untuk menyemarakkan HSN 2025, mulai dari ziarah ke makam para ulama dan aulia, bakti sosial, hingga kegiatan peduli lingkungan. (banten.nu.or.id, 8/10/2025).

Namun di balik semarak perayaan tersebut, muncul satu pertanyaan mendasar: apakah Hari Santri benar-benar menjadi momentum kebangkitan umat, atau sekadar seremoni tahunan yang kehilangan makna perjuangan?

Sangat disayangkan jika peringatan Hari Santri hanya dimaknai sebatas nostalgia terhadap sejarah dan perjuangan masa lalu. Santri sejati tidak hanya diperingati, tetapi seharusnya dihidupkan kembali ruh perjuangannya. Ruh yang pernah menjadikan mereka sebagai ujung tombak perjuangan melawan penjajahan, penggerak kebangkitan Islam, dan penjaga aqidah umat. Jika makna perjuangan itu hilang, maka Hari Santri hanya akan menjadi ritual seremonial yang memandulkan peran strategis santri dalam kehidupan umat.

Padahal, santri bukan sekadar sosok yang menimba ilmu di pesantren, melainkan pribadi yang tumbuh dengan keikhlasan, keilmuan, dan semangat juang untuk menegakkan kalimat Allah di muka bumi. Santri adalah penjaga aqidah, pelanjut perjuangan ulama, serta penggerak perubahan di tengah masyarakat. Maka, memperingati Hari Santri seharusnya menjadi momen reflektif untuk meneguhkan kembali jati diri santri sebagai kekuatan ideologis umat Islam, bukan sekadar simbol religius yang jinak terhadap sistem sekuler hari ini.

Tema Hari Santri 2025 “Mengawal Indonesia Merdeka, Menuju Peradaban Mulia” sesungguhnya membuka ruang tafsir yang lebih dalam. Peradaban mulia tak akan terwujud hanya dengan slogan atau aktivitas sosial tanpa arah ideologis. Dalam pandangan Islam, kemuliaan peradaban hanya lahir dari penerapan Syariah Islam secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan politik, ekonomi, sosial, pendidikan, dan hukum. Tanpa pijakan ideologis ini, semua perayaan hanya akan menjadi hiasan tanpa substansi, sebagaimana tubuh tanpa ruh.

Seharusnya, Hari Santri menjadi momentum untuk menyeru umat kembali pada sistem kehidupan Islam, sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah SAW dan diteruskan oleh para ulama terdahulu. Sebab dari rahim pesantrenlah lahir generasi yang tangguh generasi yang bukan hanya berilmu, tetapi juga memahami bahwa ilmunya wajib diabdikan untuk kemuliaan Islam dan umat. Inilah hakikat santri sejati: bukan hanya hafal kitab, tetapi juga siap menegakkan nilai-nilai Islam di tengah realitas kehidupan modern yang sarat sekularisasi.

Maka, sudah saatnya Hari Santri dikembalikan pada makna ideologisnya sebagai momentum kebangkitan kesadaran umat untuk hidup di bawah naungan hukum Allah, bukan sekadar seremoni penuh simbol. Sebab santri sejati adalah mereka yang siap menjadi pelopor perubahan menuju tegaknya peradaban Islam kaffah. Dari tangan-tangan santri inilah kelak akan lahir peradaban yang adil, beradab, dan membawa rahmat bagi seluruh alam. Wallahualam bishowab




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar