Reshuffle, Demi NKRI atau Koalisi?


Oleh: Imas Royani, S.Pd.

Dalam satu tahun masa pemerintahannya, Presiden Prabowo Subianto telah melakukan beberapa kali reshuffle terhadap jajaran menteri, wakil menteri, kepala lembaga atau kepala badan. Prabowo mengungkapkan bahwa dirinya memberikan tiga kali peringatan kepada para menteri yang melakukan kesalahan sebelum akhirnya diganti. Menurutnya, para menteri yang merupakan anak buahnya adalah orang-orang hebat di bidangnya. Namun, ia menegaskan hanya ada segelintir menteri yang “nakal”.

“Kalau ada satu, dua (menteri) nakal, saya peringati ya kan. Satu kali peringatan masih nakal, masih enggak mau dengar, dua kali peringatan, tiga kali apa boleh buat reshuffle, harus diganti karena demi negara, bangsa dan rakyat tidak boleh ada rasa kasihan, yang kasihan rakyat Indonesia,” kata Prabowo saat memberi sambutan pada sidang senat terbuka wisuda 521 sarjana UKRI di Trans Convention Centre, Kota Bandung. (ANTARA, 20/10/2025).

Memang dalam sistem Kapitaliisme, reshuffle merupakan hak prerogatif Presiden yang dijamin oleh Undang-undang sehingga semua pihak harus menghormatinya. Presiden akan mengevaluasi kinerja para menteri di kabinetnya. Para menteri tersebut adalah pelaksana dari program-program yang disusun oleh Presiden sehingga kesuksesan pemerintahan Presiden sangat bergantung pada kinerja para menterinya.

Hanya saja kenyataan di lapangan tetap didasari pertimbangan stabilitas politik dan keutuhan koalisi. Contoh realnya adalah perlakuan terhadap Menteri Kehutanan (Menhut) Raja Juli Antoni yang masih aman dan tidak didepak dari kabinet. 

"Padahal, Raja Juli kedapatan bermain domino bersama eks Menteri Pelindungan Pekerja Migran Abdul Kadir Karding dan pengusaha sekaligus terdakwa pembalakan liar Aziz Wellang, Harusnya Menteri seperti Raja Juli Antoni itu kan layak sekali direshuffle. Tapi karena pertimbangan politik, makanya masih aman di kabinet,” kata Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) Iwan Setiawan kepada awak media di Jakarta. (Kedai Pena, 20/10/2025).

Sejatinya persoalan mendasar negeri ini tidak sekadar masalah teknis yang bisa diselesaikan melalui reshuffle yang nyata-nyata hanya sebagai kedok merayu rakyat seolah-olah sebagai bentuk perhatian pemerintah, karena pada kenyataannya adalah bagian dari sandiwara politik demi mempertahankan stabilitas dan koalisinya. Reshuffle hanyalah politik tambal sulam demokrasi untuk melanggengkan kekuasaan sehingga tidak akan pernah mampu mewujudkan kesejahteraan.

Persoalan mendasarnya adalah penerapan ideologi sekuler kapitalisme. Ideologi ini mensterilkan agama dari kehidupan dan melahirkan sistem pemerintahan demokrasi yang dipropagandakan sebagai pemerintahan terbaik yang akan mampu mewujudkan harapan-harapan masyarakat.

Padahal, demokrasi mengandung bahaya ideologis. Salah satu prinsip penting demokrasi adalah kedaulatan di tangan rakyat. Inti dari prinsip ini adalah memberikan hak kepada manusia (rakyat) untuk membuat hukum dan perundang-undangan. Dengan itu standar benar salah dan baik buruk ditetapkan berdasarkan akal. Padahal, akal manusia yang bersifat lemah dan terbatas pasti tidak akan pernah adil dalam menetapkan hukum. Sebaliknya, akal manusia hanya akan menguntungkan kepentingan segelintir orang.

Pada titik inilah demokrasi menjadi biang masalah. Demokrasi membuka jalan bagi oligarki untuk menguasai negeri. UU Minerba, UU Omnibus Law, dan UU IKN disahkan demi kepentingan mereka, bukan demi kesejahteraan rakyat.

Demokrasi menjadi ajang bagi politik transaksional. Kelompok bisnis terlibat dalam politik transaksional dengan memberikan keuntungan kepada politisi atau penguasa yang berada di pihak mereka demi mendapatkan keuntungan dalam bentuk kebijakan. Berbagai kejahatan bisa dilegalkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan, bahkan tunjangan berlipat bisa legal melalui demokrasi.

Dengan sistem seperti itu, para pemimpinnya sudah pasti jauh dari kata amanah. Sudah jamak dalam sistem demokrasi, jabatan (termasuk jabatan menteri) didapat karena politik transaksional. Politik transaksional itu bisa karena nepotisme, politik balas budi karena sudah menjadi tim sukses, atau karena pendanaan kampanye. Akhirnya jabatan jatuh kepada yang bukan ahlinya. Jika demikian, kehancuran pasti terjadi.

Berbeda dengan sistem Islam. Dalam Islam, jabatan adalah amanah yang harus ditunaikan. Seorang pejabat bertanggung jawab untuk menunaikan hak rakyat, yaitu berbagai macam layanan yang memang menjadi haknya seperti keamanan, pendidikan, dan kesehatan.

Rasulullah Saw. bersabda,
فَاْلاِمَامُ الَّذِيْ عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Imam atas manusia adalah pengurus rakyat dan ia dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR. Bukhari).

Al-Quran telah memberikan peringatan kepada para pejabat agar tidak berkhianat. Allah SWT. berfirman,
وَمَن يَغۡلُلۡ يَأۡتِ بِمَا غَلَّ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِۚ
“Siapa saja yang berkhianat akan membawa hasil pengkhianatannya pada Hari Kiamat.” (QS. Ali Imran: 161).

Al-Quran juga mengingatkan penguasa agar tidak bersekongkol dengan pihak yang ingin memakan harta orang lain dengan cara-cara yang batil. Allah SWT. berfirman,
وَلَا تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَكُم بَيۡنَكُم بِٱلۡبَٰطِلِ وَتُدۡلُواْ بِهَآ إِلَى ٱلۡحُكَّامِ لِتَأۡكُلُواْ فَرِيقٗا مِّنۡ أَمۡوَٰلِ ٱلنَّاسِ بِٱلۡإِثۡمِ وَأَنتُمۡ تَعۡلَمُونَ
“Janganlah kalian memakan harta di antara kalian dengan cara yang batil dan kalian membawa harta itu kepada penguasa agar leluasa memakan segepok harta manusia dengan dosa, sedangkan kalian mengetahuinya.” (QS. Al-Baqarah: 188).

Terkait jabatan, kita bisa belajar dari Abu Dzar. Pada suatu saat Abu Dzar al-Ghifari meminta jabatan kepada Rasulullah Saw. Beliau lalu merespons permintaan Abu Dzar dengan bersabda, “Wahai Abu Dzar, kamu ini lemah. Sungguh jabatan itu merupakan amanah. Pada Hari Kiamat ia akan menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mengambil amanah itu dengan hak (benar) dan melaksanakan amanah tersebut dengan benar.” (HR. Muslim).

Hadis ini menjelaskan bahwa Abu Dzar dinilai oleh Rasulullah Saw. tidak memiliki kapabilitas untuk memegang jabatan itu. Ini menjadi prinsip penting dalam memberikan jabatan, bahwa kompetensi seseorang harus diperhatikan ketika ia hendak diberi jabatan.

Rasulullah Saw. juga mengingatkan bahwa jabatan itu amanah yang kelak akan dimintakan pertanggungjawaban di akhirat. Siapa saja yang tidak melaksanakan amanah dengan baik, apalagi jika jabatan itu didapat dengan jalan tidak benar, pasti akan menderita di akhirat. Melalui hadis ini Rasulullah Saw. telah memberikan kepada kita perspektif tentang pentingnya kesadaran akan pertanggungjawaban di akhirat kelak.

Orang yang tidak amanah terhadap jabatannya akan mendapatkan keburukan di akhirat. Diriwayatkan bahwa Ubaidillah bin Ziyad pernah memasuki rumah Ma’qil bin Yasar saat ia sakit. Ma’qil berkata kepada dia: Sungguh aku akan menyampaikan kepadamu suatu hadis yang seandainya aku tidak merasa akan mati, aku tidak akan menyampaikan hadis ini. 

Aku pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda,
مَا مِن عَبْدٍ اسْتَرْعاهُ الله رَعِيَّةً، فَلَمْ يَحُطْها بنَصِيحَةٍ، إلَّا لَمْ يَجِدْ رائِحَةَ الْجَنَّةِ
“Tidaklah seseorang yang diberi amanah mengurusi rakyatnya, lalu tidak menjalankannya dengan penuh loyalitas, melainkan ia tidak mencium bau surga.” (HR. Bukhari).

Imam Muslim juga meriwayatkan hadis dengan redaksi yang berbeda,
مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ الله رَعِيَّةً، يَمُوتُ يَوْمَ يَموُتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ، إِلَّا حَرَّمَ الله عَلَيْهِ الْجَنَّةِ
“Siapa saja yang diberi amanah oleh Allah untuk mengurus rakyat, lalu mati dalam keadaan menipu rakyatnya, niscaya Allah mengharamkan surga atas dirinya.” (HR. Muslim).

Kita tentu merindukan lahirnya pemimpin yang amanah. Pemimpin seperti itu akan lahir dalam kehidupan Islam yang di dalamnya diterapkan syariat Islam kaffah. Tanpa itu, yang terjadi justru sebaliknya. Pemimpin yang semula baik pun bisa berubah menjadi jahat. Yang jahat akan makin jahat sebagaimana realitas hari ini. 

Pergantian kepemimpinan dalam Islam merupakan suatu hal yang lumrah. Namun, sosok yang dipilih akan dipertimbangkan berdasarkan kapabilitas yang bersangkutan, bukan karena kedekatan personal atau kepentingan kekuasaan.

Dikisahkan dalam buku 150 Kisah Umar Ibn Al-Khaththab yang ditulis Ahmad Abdul A. ath-Thahthawi, Sa‘id ibn Zaid berkata kepada Umar, “Tentukanlah siapa penggantimu.” 

Umar berkata, “Sekiranya ada satu dari kedua orang ini masih hidup, aku akan serahkan urusan ini kepadanya dan aku merasa yakin dengan kekhalifahannya, yaitu Salim Maula Abu Hudzaifah dan Abu Ubaidah bin Jarrah.” 

Umar melanjutkan, “Jika Tuhanku menanyakan tentang Abu Ubaidah, aku akan menjawab bahwa aku pernah mendengar Nabi-Mu bersabda, ‘Sesungguhnya ia adalah orang kepercayaan umat ini.’ Jika Tuhanku menanyakan tentang Salim, aku akan menjawab bahwa aku mendengar Nabi-Mu bersabda, ‘Sesungguhnya Salim sangat besar cintanya kepada Allah SWT.'”

Al-Mughirah bin Syu’bah berkata kepada Umar, “Aku sarankan kepada engkau satu orang, yaitu Abdullah bin Umar (anak Umar bin Khaththab).” 

Umar berkata, “Celaka kamu! Demi Allah, aku tidak meminta kepada Allah akan hal ini. Aku tidak memiliki kecakapan apa-apa dalam mengurusi masalah kalian. Aku adalah orang yang tidak bersyukur sehingga aku ingin agar jabatan kekhalifahan diduduki oleh seorang dari keluargaku.” 

Dalam Islam, pemimpin adalah pengurus dan pelayan rakyat. Pengurusan rakyat itu dijalankan dengan menerapkan syariat Islam secara kaffah. Khalifah bertanggung jawab penuh atas kebutuhan dasar rakyat, yaitu sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Negara wajib memastikan bahwa tiap-tiap rakyat terpenuhi kebutuhan dasarnya secara layak.

Dalam menyejahterakan rakyat, Khalifah akan menjalankan mekanisme sebagai berikut. Pertama, Khilafah mengelola sumber daya alam milik rakyat seperti hutan, tambang, laut, sungai, danau, dll. sebagai wakil dari rakyat. Prinsip pengelolaan kekayaan alam adalah untuk kemaslahatan rakyat, bukan untuk tujuan bisnis. Negara mengalokasikan hasil pengelolaan sumber daya alam untuk kesejahteraan rakyat. Rakyat akan mendapat layanan pendidikan, kesehatan, keamanan, transportasi, BBM, dan listrik, dengan harga murah, bahkan gratis.

Kedua, negara membuka lapangan kerja seluas-luasnya dan mendorong setiap laki-laki dewasa yang sehat untuk bekerja sehingga tidak ada yang menganggur. Hal ini ditempuh dengan melakukan industrialisasi dalam skala luas, pemberian modal dan keterampilan untuk usaha, pemberian tanah mati untuk dihidupkan, serta pemberian subsidi bagi petani.

Ketiga, negara memberikan bantuan kepada fakir dan miskin hingga terbebas dari kefakiran dan kemiskinannya. Syekh Abdul Qadim Zallum menjelaskan dalam kitab Sistem Keuangan Negara Khilafah hlm. 229–231, fakir adalah orang-orang yang tidak memperoleh uang yang dapat mencukupi pemenuhan kebutuhan pokoknya, seperti makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Siapa saja yang kekurangan dalam memenuhi kebutuhan pokoknya maka ia dianggap fakir. Sedangkan miskin adalah orang-orang yang tidak mempunyai apa-apa.

Fakir dan miskin mendapatkan harta zakat untuk mengentaskan diri mereka dari kemiskinan. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT.,
اِنَّمَا الصَّدَقٰتُ لِلْفُقَرَاۤءِ وَالْمَسٰكِيْنِ وَالْعٰمِلِيْنَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوْبُهُمْ وَفِى الرِّقَابِ وَالْغٰرِمِيْنَ وَفِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَابْنِ السَّبِيْلِۗ فَرِيْضَةً مِّنَ اللّٰهِۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ
“Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, para amil zakat, orang-orang yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) para hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang-orang yang berutang, untuk di jalan Allah, dan untuk orang-orang yang sedang dalam perjalanan (yang memerlukan pertolongan), sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS At-Taubah: 60).

Mekanisme pengentasan kemiskinan ini terus dilakukan hingga tiap-tiap rakyat terpenuhi kebutuhan dasarnya. Ini sebagaimana kondisi pada masa Khalifah Umar bin Abdulaziz yang tidak ada satu orang pun yang berhak menerima zakat.

Islam juga memberikan hukuman yang tegas kepada para pelaku tindak kejahatan. Tidak ada diskriminasi yang mengakibatkan ketakadilan hukum. Semua sama di hadapan hukum. Rasulullah Saw. telah mengajarkan itu 14 abad lalu, “Sesungguhnya yang telah membinasakan umat sebelum kalian adalah jika ada orang terhormat dan mulia di antara mereka mencuri, mereka tidak menghukumnya. Sebaliknya jika orang rendahan yang mencuri, mereka tegakkan hukuman terhadapnya. Demi Allah, bahkan seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri, niscaya aku sendiri yang akan memotong tangannya!” (HR. Muslim).

Semua prinsip di atas adalah bagian integral dari sistem kehidupan Islam. Kunci berjalannya fungsi negara di atas adalah pelaksanaan syariat Islam secara kaffah dalam institusi Daulah Khilafah Islam yang akan berbuah kemuliaan dan kesejahteraan. 

Ini sebagaimana firman Allah SWT., 
وَمَاۤ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّـلْعٰلَمِيْنَ
“Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan menjadi rahmat bagi seluruh alam.” (QS. Al-Anbiya: 107).

Indonesia bisa asal mau mengganti sistem kufur kapitalisme dan menerapkan sistem Islam dalam naungan Khilafah. Dan sebagai warga negara yang baik, langkah pertama yang bisa kita lakukan adalah dengan mengkaji Islam Kaffah bersama kelompok dakwah Islam ideologis dan mendakwahkannya kepada masyarakat lainnya.

Wallahu'alam bishshawab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar