Oleh : Sylvi Raini
Saat ini, angka perceraian di Indonesia terus meningkat, sementara jumlah pasangan yang menikah justru menurun. Berdasarkan laporan voi.id tahun 2025, selama tahun 2024 tercatat sekitar 399 ribu pasangan bercerai, sedangkan jumlah yang menikah hanya sekitar 1,47 juta. Artinya, semakin sedikit orang yang menikah, tapi yang berpisah tetap banyak.
Fenomena ini terjadi di berbagai usia. Menurut detik.com, 2025, banyak pasangan muda yang baru menikah beberapa tahun sudah memutuskan untuk bercerai. Bahkan jumlah perceraian pada usia pernikahan di bawah lima tahun mencapai lebih dari 600 ribu kasus antara tahun 2020–2024. Di sisi lain, Kompas.id juga mencatat bahwa perceraian di usia senja, atau yang disebut grey divorce, mulai meningkat. Jadi, perceraian sekarang tidak hanya dialami pasangan muda, tapi juga mereka yang sudah lama menikah.
Penyebab perceraian pun beragam. Dari laporan VOI, salah satu penyebab utamanya adalah meningkatnya kemandirian perempuan. Banyak perempuan kini lebih mandiri secara ekonomi dan berani mengambil keputusan untuk berpisah jika rumah tangga tidak lagi sehat. Detik.com dan CNBC Indonesia juga menambahkan bahwa tekanan ekonomi, kurang komunikasi, serta kehadiran orang ketiga sering menjadi alasan utama. Selain itu, banyak pasangan muda yang punya harapan tinggi terhadap kehidupan pernikahan, padahal dalam kenyataannya pernikahan butuh kesabaran, kerja sama, dan tanggung jawab besar.
Dampak perceraian juga dirasakan oleh anak-anak. Menurut laporan Antaranews.com anak dari keluarga yang bercerai sering mengalami gangguan emosional seperti sedih, marah, cemas, hingga kesulitan belajar. Mereka juga bisa merasa bingung atau kehilangan rasa aman setelah orang tuanya berpisah.
Masalah perceraian ini tidak hanya terjadi di kota besar, tapi juga di daerah. Pengadilan Agama Bojonegoro mencatat bahwa dalam sepuluh bulan pertama tahun 2025 saja sudah ada 2.240 perkara perceraian yang diputus. Angka ini menunjukkan bahwa perceraian menjadi masalah sosial yang semakin luas.
Pengaruh Sistem Menjadi Akar Masalah
Perceraian yang makin banyak terjadi sekarang sebenarnya menunjukkan ada masalah yang lebih dalam di masyarakat. Banyak pasangan berpisah karena pertengkaran, masalah ekonomi, KDRT, perselingkuhan, hingga kecanduan judi online. Semua ini memperlihatkan bahwa banyak orang masuk ke pernikahan tanpa pemahaman yang cukup tentang tanggung jawab, cara menyelesaikan konflik, dan bagaimana membangun hubungan yang sehat. Banyak yang siap menikah secara acara, tapi belum siap secara mental dan karakter.
Ketika perceraian terjadi, yang terkena dampak bukan hanya suami dan istri, tapi juga anak-anak. Rumah tangga yang retak membuat ketahanan keluarga ikut runtuh. Anak tumbuh dalam kondisi tidak stabil, mudah cemas, sulit percaya pada orang lain dan rentan mengalami masalah emosional. Dalam jangka panjang, kondisi ini bisa melahirkan generasi yang rapuh dan generasi yang mudah stres, kurang percaya diri, dan tidak punya fondasi keluarga yang kuat untuk bersandar.
Masalah ini makin diperparah oleh cara pandang yang berkembang di masyarakat sekarang. Sistem pendidikan, pergaulan sosial, dan ekonomi yang bernuansa sekuler kapitalis membuat orang lebih fokus pada materi, kebahagiaan instan, dan pencapaian pribadi. Nilai-nilai keluarga, komitmen, dan tanggung jawab perlahan bergeser. Tekanan hidup yang tinggi, standar gaya hidup, dan budaya bebas juga ikut melemahkan fondasi keluarga. Alhasil, keluarga tidak lagi menjadi tempat yang kokoh untuk bertahan menghadapi masalah, dan generasi yang tumbuh di dalamnya menjadi semakin rentan.
Secara sederhana, tingginya perceraian bukan hanya soal hubungan suami-istri yang tidak cocok, tetapi gambaran bahwa masyarakat kita sedang kehilangan pegangan nilai, kehilangan arah dalam membangun keluarga dan berada dalam sistem yang tidak mendukung ketahanan keluarga. Jika akar masalah ini tidak dibenahi, maka fenomena keluarga rapuh dan generasi lemah akan terus berulang.
Solusi Keluarga yang Kokoh dengan Islam
Solusi masalah keluarga sebenarnya dapat dibangun dari tiga pilar utama yaitu mulai dari pendidikan, pergaulan, dan ekonomi. Semuanya sudah diatur dalam Islam dan jika dijalankan dengan benar, keluarga akan lebih kuat.
Pertama, dengan Pendidikan islam. Komponen yang pertama ini dapat membentuk pribadi yang baik dan siap berumah tangga. Pendidikan yang menanamkan akidah sejak kecil membuat seseorang memahami tujuan hidup, tanggung jawab dan tidak mudah goyah ketika ada masalah. Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka” (QS. At-Tahrim: 6). Ayat ini menunjukkan pentingnya membina diri dan keluarga dengan ilmu dan iman. Dengan kepribadian yang kokoh, pasangan lebih siap membangun keluarga yang tenang dan saling mendukung.
Kedua, aturan pergaulan dalam Islam. Islam menjaga pergaulan antara laki-laki dan perempuan dengan pemisahan ruang hidup mereka kecuali dalam ranah pendidikan, kesehatan dan muamalah. Islam melarang perselingkuhan, menjaga pandangan dan memerintahkan sikap saling menghormati. Rasulullah SAW bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada keluarganya.” (HR. Tirmidzi). Jika aturan ini dijalankan, suasana rumah tangga jadi lebih harmonis dan jauh dari drama yang memicu perceraian.
Ketiga, kesejahteraan keluarga terjaga jika sistem ekonomi berjalan benar. Islam mewajibkan negara menjamin kebutuhan dasar rakyat yaitu berupa sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Allah berfirman, “Dan berikanlah nafkah kepada mereka dari harta Allah yang Dia telah berikan kepadamu” (QS. An-Nur: 33). Jika ekonomi stabil, suami tidak stres terus, istri tidak tertekan, dan anak-anak bisa tumbuh dengan nyaman. Banyak perceraian sebenarnya dipicu ekonomi, maka penyelesaiannya harus dari akarnya.
Semua aturan ini hanya bisa berjalan jika ada sistem yang menerapkan syariat secara menyeluruh. Islam bukan hanya mengatur ibadah pribadi, tetapi juga keluarga, masyarakat, dan negara. Tanpa sistem yang benar, pendidikan hanya sebagian jalan, pergaulan mudah rusak oleh budaya bebas, dan ekonomi tetap menekan.
Artinya, solusi akhir bukan sekadar memperbaiki individu, tetapi membangun lingkungan dan sistem yang mendukung keluarga. Jika pendidikan Islam diterapkan, pergaulan dijaga, dan ekonomi diatur sesuai syariat, maka keluarga bisa lebih kokoh, perceraian berkurang, dan generasi lebih kuat. Islam sudah memberikan fondasinya, tinggal bagaimana kita kembali menjadikannya sebagai pedoman hidup secara utuh. Wallahu’alam biishowab
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.


0 Komentar