Oleh : Sri Yulia Sulistyorini (Pendidik Generasi)
Fenomena bullying kini bukan lagi isu sepele yang hanya terjadi di lingkungan sekolah. Kasus-kasus perundungan semakin sering muncul di berbagai lapisan masyarakat, baik di dunia nyata maupun dunia maya. Ironisnya, perilaku yang semula dianggap “candaan” kini telah berkembang menjadi bentuk kekerasan verbal, fisik, bahkan psikologis yang meninggalkan luka mendalam bagi korbannya. Meningkatnya intensitas dan ragam bentuk bullying menunjukkan bahwa masalah ini memiliki akar yang lebih kompleks daripada sekadar perilaku nakal atau kurangnya pengawasan.
Kemajuan teknologi, kehidupan sosial di masyarakat yang berubah, dan menurunnya empati dalam masyarakat menjadi faktor yang memperburuk situasi. Media sosial, misalnya, sering menjadi wadah baru bagi pelaku untuk melancarkan aksi perundungan tanpa rasa bersalah. Akibatnya, korban semakin tertekan dan tidak menemukan pelindung atau support sistem yang bagus di sekelilingnya. Yang ada hanyalah keterpurukan yang tak berujung hingga buntu pikirannya kemudian bertindak di luar batas dalam kondisi depresi berat. Apapun bisa dilakukan, meski itu di luar nalar atau menghalalkan segala cara asal sakit hatinya terbalaskan.
Sementara itu, sistem pendidikan dan lingkungan keluarga kerap gagal menanamkan nilai-nilai kasih sayang dalam pertemanan dan persahabatan yang menghargai perbedaan. Keluarga seringkali menyerah atau sama-sama frustasi dengan kondisi yang ada, sementara masyarakat juga tidak peduli dan cenderung menyalahkan tanpa memberi solusi. Sekolahpun, tidak bisa berbuat lebih, ketika kondisi mental siswa semakin rapuh
Fenomena Bulliying Kian Menggejala
Baru-baru ini, terjadi ledakan di SMAN 72 Jakarta pada hari jum’at, 7 November 2025, diduga pelaku adalah siswa kelas 12 yang merupakan korban bulliying. Pelaku juga dilarikan ke rumah sakit karena dia hendak bunuh diri. (Kumparan.com, Jum’at, 7 November 2025). Sebelumnya, Jum’at, 31 Oktober 2025, seorang santri di Aceh Besar ditetapkan sebagai tersangka kasus terbakarnya asrama pondok pesantren tempat dia belajar. Sang santri disebut sengaja membakar asrama lantaran sakit hati karena kerap menjadi korban bullying oleh rekan-rekannya. Santri tersebut disebut tertekan secara mental hingga berniat membakar gedung agar barang-barang milik temannya yang diduga sering mengganggunya ikut habis terbakar. (beitasatu.com, Sabtu, 8 November 2025).
Peristiwa-peristiwa ini menjadi peringatan keras bahwa bullying bukan lagi persoalan sepele, melainkan ancaman serius bagi keamanan sekolah dan keselamatan generasi muda. Lantas, bagaimana peran negara mengatasi berbagai kondisi yang semakin kacau ini? Karena dampak yang terjadi akibat perilaku bulliying ini semakin meresahkan masyarakat terutama dari sisi keamanan dan perlindungan terhadap nyawa seseorang. Negara harus berperan aktif dalam mencegah dan mengatasi persoalan ini.
Menurut laporan Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) 2022 survei kesehatan mental nasional pertama yang mengukur angka kejadian gangguan mental pada remaja 10 – 17 tahun di Indonesia, menunjukkan bahwa satu dari tiga remaja Indonesia memiliki masalah kesehatan mental sementara satu dari dua puluh remaja Indonesia memiliki gangguan mental dalam 12 bulan terakhir. Meskipun kesadaran tentang kesehatan mental meningkat, akses ke layanan kesehatan mental profesional di Indonesia masih terbatas, terutama di daerah pedesaan.
Aspek yang berkaitan dengan interaksi sosial juga tidak terhindar dari fenomena hambatan mental. Generasi Z sering menghadapi kecemasan sosial, yang timbul dari kebiasaan membandingkan diri mereka dengan individu lain di platform digital. Sebuah studi yang dilakukan di Jakarta mengindikasikan bahwa 46,5% tingkat kecemasan sosial pada kalangan remaja dipengaruhi oleh perbandingan sosial yang terjadi di media daring. Akibatnya, sebagian dari mereka enggan berbicara di depan umum, takut salah, atau merasa terintimidasi oleh pandangan orang lain.
Padahal, Islam telah mengajarkan pentingnya interaksi sosial yang sehat. Sahabat Abdullah bin Umar r.a meriwayatkan dari Nabi Shallallāhu 'alaihi wa sallam beliau bersabda:
المؤمن الذي يخالط الناس، ويصبر على أذاهم خير من الذي لا يخالط الناس ولا يصبر على أذاهم
Abdullah bin Umar -raḍiyallāhu 'anhumā- meriwayatkan dari Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-, beliau bersabda, "Orang Mukmin yang bergaul dengan manusia dan sabar atas gangguan mereka, lebih baik dari orang Mukmin yang tidak bergaul dengan manusia dan tidak sabar atas gangguan mereka." (HR. at-Tirmidzi, no. 2507).
Hadis ini menjadi landasan tentang pentingnya berinteraksi dan bersosialisasi dengan sesama manusia. Seorang mukmin yang mau bergaul, hadir bersama masyarakat, serta bersabar menghadapi berbagai gangguan yang muncul akibat nasihat maupun arahannya, memiliki kedudukan lebih utama dibanding mukmin yang memilih untuk tidak bergaul, menjauhi majelis, atau menyendiri karena tidak mampu menahan diri dari gangguan orang lain.
Problem Sistemik dan Krisis Adab
Kasus bullying kini menggejala di berbagai daerah, bukan hanya di kota besar tetapi juga di pesantren dan sekolah-sekolah daerah. Hal ini membuktikan bahwa bullying merupakan problem sistemik dalam dunia pendidikan, bukan sekadar ulah individu. Lebih dari itu, pengaruh sosial media memperparah situasi. Banyak remaja yang menjadikan penghinaan dan perundungan sebagai bahan candaan, bahkan dijadikan konten hiburan yang viral. Budaya semacam ini menunjukkan krisis adab yang mendalam dan menandakan hilangnya fungsi pendidikan sebagai pembentuk karakter dan moral.
Tak jarang, sosial media justru menjadi tempat pelarian korban bullying. Dalam kondisi tertekan, mereka mencari pembenaran dari video atau postingan yang memicu aksi balas dendam, hingga akhirnya melakukan tindakan yang membahayakan nyawa orang lain. Fenomena ini menunjukkan betapa lemahnya sistem sosial kita dalam memberikan ruang aman dan pendampingan emosional bagi generasi muda.
Di balik semua itu, akar masalah yang paling mendasar adalah sistem pendidikan sekuler kapitalistik. Sistem ini menempatkan kesuksesan materi sebagai ukuran utama keberhasilan, sementara pembentukan karakter dan keimanan dikesampingkan. Akibatnya, generasi yang lahir dari sistem ini kehilangan arah, mudah rapuh secara mental, dan tidak memiliki pondasi ruhiyah yang kuat untuk menghadapi tekanan hidup.
Solusi Perbaikan Mental
Masalah bullying dapat diatasi dengan perbaikan kondisi mental dan spiritual individu. Perbaikan mental ini menjadi langkah penting untuk membangun ketahanan jiwa agar generasi muda mampu menghadapi tekanan sosial tanpa terjerumus pada keputusasaan atau tindakan destruktif. Hal ini dapat dilakukan dengan Menguatkan hubungan ruhiyah dengan Allah SWT. Ketenangan batin seorang muslim bersumber dari kedekatannya dengan Allah SWT. Shalat yang khusyuk, dzikir yang rutin, dan tadabbur Al-Qur’an menumbuhkan rasa percaya diri serta makna hidup yang mendalam. Ketika remaja memahami bahwa segala ujian merupakan bagian dari takdir Allah yang penuh hikmah, mereka akan lebih mudah bersabar dan tidak mudah hancur secara emosional.
Selain itu, diperlukan adanya support system yang baik yang bisa menumbuhkan rasa aman dan nyaman bagi anak untuk bercerita tanpa dihakimi. Komunikasi yang terbuka, empati, dan kasih sayang merupakan terapi mental terbaik. Hal ini dapat membantu korban bulliying pulih dari luka batin sekaligus mencegah pelaku mengulangi perbuatannya. Orang tua, keluarga, atau teman-teman di sekelilingnya bisa melakukan peran ini.
Ditambah lagi, upaya untuk mendidik kecerdasan Emosional dan sosial perlu dilakukan. Kecerdasan emosional adalah kemampuan mengelola emosi dan memahami perasaan orang lain. Dalam Islam, ada perintah untuk berbuat baik (ihsan) kepada sesama karena Allah. Maka, dapat dilakukan pembiasaan sikap sabar, memaafkan, menghormati perbedaan, mengendalikan diri dari amarah dan keinginan menyakiti.
Dalam kondisi tertentu, korban atau pelaku bullying membutuhkan bantuan profesional. Konseling psikologis yang berlandaskan nilai-nilai Islam menjadi solusi ideal karena memadukan terapi ilmiah dengan pendekatan spiritual. Para konselor muslim perlu hadir di sekolah-sekolah untuk memberikan bimbingan mental yang menyejukkan hati dan memperkuat iman.
Banyak remaja kehilangan arah karena tidak tahu untuk apa mereka hidup. Melalui pendidikan Islam, mereka diarahkan untuk memahami bahwa hidup adalah amanah dan ladang amal. Kesadaran ini akan menumbuhkan sense of purpose (tujuan hidup) yang membuat mereka lebih kuat menghadapi tekanan sosial dan tidak mudah terjerumus dalam perilaku menyimpang.
Perbaikan mental bukan hanya urusan individu, melainkan tanggung jawab bersama seluruh elemen masyarakat. Ketika setiap pihak keluarga, sekolah, masyarakat, dan negara bekerja sama dalam menumbuhkan kekuatan ruhiyah, maka bullying tidak hanya dapat dicegah, tetapi juga dihapuskan dari akarnya.
Teladan Rasul dan Sahabat
Dalam perjalanan hidup Rasulullah dan para sahabat, masa-masa terpuruk bukanlah sesuatu yang asing. Mereka juga pernah mengalami tekanan, kesedihan mendalam, dan rasa terhimpit seperti manusia pada umumnya. Namun, yang membuat mereka bangkit adalah sikap spiritual yang kuat dan ketundukan kepada Allah. Ketika Rasulullah mengalami fase paling berat dalam hidupnya (tahun wafatnya Khadijah dan Abu Thalib) yang dikenal sebagai ‘Amul Huzn, beliau memilih untuk memperbanyak doa, mendekatkan diri kepada Allah, serta tetap berdakwah walau penuh penolakan. Allah pun menenangkan beliau melalui firman-Nya: “Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu dan Kami telah mengangkat bagimu sebutan (nama)mu.” (QS. Al-Insyirah: 1–4).
Begitu pula sahabat Nabi, seperti Abu Bakar radhiyallahu 'anhu yang diuji dengan ketakutan saat bersembunyi di Gua Tsur, namun Rasulullah menguatkannya dengan berkata, “Jangan bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.” (QS. At-Taubah: 40). Contoh lain adalah Nabi Ya’qub yang bersedih mendalam saat kehilangan Yusuf, tetapi tetap bersabar, sebagaimana ucapannya, “Maka kesabaran yang indahlah (yang paling cocok untukku).” (QS. Yusuf: 18). Dari teladan ini, tampak bahwa ketika manusia berada dalam titik terendah, Islam mengajarkan untuk kembali kepada Allah melalui sabar, doa, tawakal, memperbaiki diri, dan terus bergerak maju, karena pertolongan Allah selalu dekat bagi hamba yang tidak menyerah.
Peristiwa Thaif menjadi salah satu momen paling berat dalam perjalanan dakwah Rasulullah SAW. Setelah diusir dari Makkah dan kehilangan dua orang terpenting dalam hidupnya (Khadijah dan Abu Thalib) beliau pergi ke Thaif untuk mencari perlindungan serta peluang dakwah. Namun, penduduk Thaif justru menolak dengan kasar, melemparinya dengan batu hingga kaki beliau berdarah. Dalam kondisi fisik dan batin yang terpuruk, Rasulullah tidak membalas keburukan dengan doa kebinasaan. Sebaliknya, beliau mengangkat tangan dan berdoa dengan penuh pengharapan, “Ya Allah, kepada-Mu aku mengadukan lemahnya kekuatanku…” (HR. Thabrani). Bahkan ketika malaikat penjaga gunung menawarkan untuk membinasakan penduduk Thaif, beliau tetap menolak dengan berkata, “Aku berharap Allah mengeluarkan dari sulbi mereka generasi yang menyembah Allah semata dan tidak menyekutukan-Nya.” (HR. Bukhari Muslim).
Keteladanan ini menunjukkan bahwa saat menghadapi tekanan dan kesedihan mendalam, Rasul memilih kesabaran, doa, harapan, dan visi jangka panjang. Beliau tidak membiarkan luka batin mengubah kasih sayangnya terhadap manusia. Inilah pelajaran agung bahwa dalam kondisi depresi atau terpuruk, cara terbaik adalah kembali kepada Allah, mengadu dengan jujur, tetapi tetap menatap masa depan dengan harapan, bukan kebencian.
Solusi Menyeluruh bagi Generasi
Islam menawarkan solusi yang komprehensif terhadap problem moral dan sosial terkait perilaku bulliying ini. Tujuan pendidikan dalam Islam bukan hanya mencetak siswa yang cerdas secara akademik, tetapi membentuk kepribadian Islam yakni cara berpikir dan bertingkah laku yang selalu terikat dengan akidah Islam.
Perilaku bulliying dan segala dampak yang mengikutinya merupakan gejala lemahnya mental atau jiwa seseorang yang bisa berakibat fatal jika tidak segera diatasi. Dalam perspektif Islam, kondisi ini dapat dikategorikan sebagai al-wahn (kelemahan jiwa) yang menjadikan seorang muslim tidak mampu memaksimalkan potensi akal dan ruhiyahnya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala memperingatkan dalam Al-Qur’an:
وَلَا تَهِنُوْا وَلَا تَحْزَنُوْا وَاَنْتُمُ الْاَعْلَوْنَ اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ١٣٩
“Janganlah kamu (merasa) lemah dan jangan (pula) bersedih hati, padahal kamu paling tinggi (derajatnya) jika kamu orang-orang mukmin.” (QS. Āli ʿImrān: 139)
Proses pendidikan Islam dilakukan dengan pembinaan intensif. Guru bukan sekadar pengajar, tetapi juga pembimbing akhlak dan teladan dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan Islam menekankan keseimbangan antara nilai materi, nilai maknawi, dan nilai ruhiyah. Kurikulum harus berbasis akidah Islam, menempatkan adab sebagai pondasi utama. Pelajaran agama bukan sekadar teori, tetapi menjadi nilai yang hidup dalam seluruh aktivitas belajar.
Negara (khilafah) dalam sistem Islam memiliki tanggung jawab besar sebagai penjamin utama pendidikan dan pembinaan umat. Negara wajib menciptakan lingkungan sosial yang aman, mencegah kezaliman, dan memastikan generasi tumbuh dalam suasana keimanan dan ketakwaan. Dengan penerapan sistem pendidikan Islam yang menyeluruh, bullying dapat dicegah sejak akar. Anak didik akan tumbuh menjadi pribadi yang beradab, memiliki empati, dan memahami nilai keadilan serta kasih sayang sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah SAW.
Khatimah
Kasus remaja korban bullying yang berubah menjadi pelaku kekerasan bukan sekadar tragedi personal, tetapi cerminan dari rusaknya sistem pendidikan dan sosial kita. Jika pendidikan terus dibiarkan berlandaskan sistem sekuler kapitalistik yang mengabaikan adab dan akidah, maka generasi yang lahir akan terus mengalami krisis moral dan mental. Sudah saatnya kita kembali kepada pendidikan Islam yang hakiki, yang membentuk manusia beriman, berakhlak, dan berkepribadian kuat agar generasi muda menjadi pelita peradaban, bukan ancaman bagi masa depan.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.


0 Komentar