Rapuhnya Pondasi Keluarga, Berdampak Perceraian pada Keluarga dan Generasi Muda


Oleh: Rohmah SE.Sy
 
Perceraian adalah peristiwa traumatis yang tidak hanya memengaruhi pasangan suami istri, tetapi juga anak-anak mereka. Dampak perceraian dapat dirasakan dalam jangka pendek maupun jangka panjang, memengaruhi berbagai aspek kehidupan anak-anak, mulai dari kesehatan mental hingga kemampuan membangun hubungan di masa depan .
 

Dampak Emosional dan Psikologis
 
Anak-anak dari keluarga yang bercerai lebih rentan mengalami masalah kesehatan mental seperti kecemasan, depresi, dan bahkan pikiran untuk bunuh diri. Mereka mungkin merasa kehilangan kendali atas hidup mereka dan mengalami ketakutan akan penolakan. Perasaan bersalah, malu, tidak berdaya, dan rendah diri juga sering menghantui anak-anak yang переживают perceraian orang tua .
 

Dampak Sosial dan Perilaku
 
Perceraian dapat memengaruhi kemampuan anak-anak untuk membangun dan mempertahankan hubungan sosial yang sehat. Mereka mungkin mengalami kesulitan dalam menyelesaikan konflik atau berargumen dengan orang lain. Selain itu, anak-anak dari keluarga yang bercerai lebih mungkin menunjukkan perilaku impulsif dan berisiko seperti membolos, merokok, menggunakan narkoba, atau melakukan aktivitas seksual dini .

 
Dampak pada Prestasi Akademik
 
Perceraian orang tua dapat menyebabkan penurunan prestasi akademik pada anak-anak. Stres dan tekanan emosional yang связанный dengan perceraian dapat mengganggu kemampuan anak-anak untuk berkonsentrasi dan belajar di sekolah .
 

Dampak Jangka Panjang

Dampak perceraian dapat berlanjut hingga anak-anak mencapai usia dewasa. Mereka mungkin mengalami kesulitan dalam membangun hubungan romantis yang stabil dan merasa takut akan kegagalan dalam perkawinan. Anak-anak yang переживают perceraian orang tua juga lebih mungkin mengalami masalah kesehatan mental dan физический di kemudian hari 

 
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Dampak Perceraian
 
Dampak perceraian pada anak-anak dapat bervariasi tergantung pada sejumlah faktor, termasuk, Usia anak saat perceraian terjadi, Tingkat konflik antara orang tua , Kualitas hubungan anak dengan masing-masing orang tua, Dukungan sosial yang tersedia bagi anak , Kondisi ekonomi keluarga setelah perceraian  


Akar Masalah Penyebab Gugat Cerai

Penyebab gugat cerai yang dominan adalah faktor sosial maupun ekonomi, misalnya faktor kemiskinan, ketakharmonisan, KDRT, termasuk kasus judi online. Dalam rumah tangga muda, kelabilan emosi pasangan dan faktor ekonomi dituding menjadi penyebab utama. Namun, berbagai penyebab ini sebenarnya hanya persoalan cabang, bukan akar masalah yang sebenarnya.

Apabila kita dalami penyebab maraknya gugat cerai di Indonesia, semua bermuara pada satu jawaban, yaitu penerapan sistem kehidupan kapitalistik beserta turunannya, yakni liberalisme, sekularisme, dan feminisme.

Sistem hidup dalam kapitalisme menjadikan materi sebagai tolok ukur kebahagiaan. Seseorang akan merasa bahagia jika ia mampu memenuhi seluruh kebutuhannya, primer hingga tersier. Bahkan, kapitalisme telah memanipulasi keinginan sebagai kebutuhan sehingga kebutuhan ini meluas. Rumah mewah, makanan enak, perhiasan, fesyen, sampai peralatan dapur, semua menjadi kebutuhan.

Bahkan, bagi perempuan, kosmetik menjadi kebutuhan yang tidak dapat ditinggalkan. Jika suami tidak mampu memenuhi semua “kebutuhan” ini, istri merasa kurang. Tuntutan istri yang tinggi pada akhirnya membuat suami stres sehingga memunculkan pertikaian antara keduanya.

Di sisi lain, sistem ekonomi kapitalisme menjadikan akses terhadap sumber daya hanya bagi orang-orang yang memiliki modal. Muncul kesenjangan antara golongan kaya dan miskin. Sistem ini pula yang menjadikan semua kebutuhan dibisniskan. Kebutuhan terhadap pendidikan dan layanan kesehatan pun menjadi teramat mahal.

Tidak heran jika tekanan hidup terus meningkat. Apalagi pada pasangan muda yang perekonomiannya belum stabil. Ditambah belum stabil juga secara emosi, menjadikan suami rentan melakukan KDRT. Istri pun mudah mengambil keputusan singkat, menentukan langkah sendiri, mencari pekerjaan, pergi dari suami menjadi TKW di luar negeri, ataupun berpaling ke laki-laki lain.

Ditambah dengan makin tersebarnya feminisme yang membuat perempuan merasa punya hak yang sama untuk mencari uang. Semua berujung pada perselisihan dan keretakan rumah tangga yang sering kali diakhiri dengan gugatan cerai istri kepada suaminya.

Adapun liberalisme, paham yang mengedepankan kebebasan individu, penampakannya sudah begitu nyata di masyarakat. Perempuan yang tidak menutup aurat, khalwat, dan pergaulan yang tidak mengenal batas, menjadikan perselingkuhan marak di tengah masyarakat. Tidak hanya suami berselingkuh, istri juga sering kebablasan, menyimpan PIL (pria idaman lain). Apalagi dengan menjamurnya media sosial. Peluang berselingkuh makin terbuka lebar. Dalam liberalisme, masalah perselingkuhan dianggap sebagai masalah pribadi yang tidak layak dicampuri orang lain. Kontrol sosial menjadi mandul.

Lalu sekularisme, yaitu pemisahan agama dari kehidupan. Paham ini membuat umat Islam memandang agama semata ritual. Dalam kehidupan sehari-hari, hukum-hukum agama dipinggirkan, termasuk dalam pengelolaan rumah tangga. Akibat yang terjadi kemudian adalah para suami yang tidak paham kewajiban menafkahi istri dan anak-anak, menelantarkan mereka, dan tidak bertanggung jawab. Mereka tidak paham kelak akan diminta pertanggungjawaban di akhirat atas pengurusannya itu.

Bahkan, saat ini kapitalisme memunculkan tren di kalangan pasangan muda yang sama-sama bekerja, membuat perjanjian pranikah. Misal, mengenai pengelolaan harta dalam pernikahan dan apabila terjadi perceraian. Artinya, dari sebelum menikah, pasangan ini sudah dihantui kekhawatiran akan bercerai. Tentu ini menciptakan komitmen yang lemah terhadap pernikahan.

Inilah sejatinya penyebab dari tingginya perceraian, terutama gugat cerai. Dengan demikian, selama kapitalisme beserta turunannya tidak dibongkar habis, masalah perceraian akan terus marak. Sebagaimana tampak jelas di negara-negara Eropa dan Amerika yang menjadi lokomotif kapitalisme, perceraian bahkan hampir mencapai 50%.


Membentuk Rumah Tangga Sakinah bagi Pasangan Muda

Lima tahun pertama dalam pernikahan memang merupakan masa-masa kritis. Ekonomi dan emosi yang belum stabil, landasan pernikahan yang semata cinta secara fisik, kesulitan dalam beradaptasi dengan karakter pasangan yang berbeda, maupun ketaksiapan menghadapi masalah. Semua bisa memicu keputusan untuk bercerai. Kondisi ini dapat dihindari dengan menerapkan aturan-aturan Islam dalam berkeluarga sehingga melahirkan ketenangan dan ketenteraman.

Allah Swt. berfirman, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (QS Ar-Ruum: 21).

Pemahaman terhadap agama adalah kunci dari kehidupan pernikahan yang sakinah. Islam, melalui Rasulullah saw., mengajarkan bahwa pergaulan antara suami-istri adalah pergaulan persahabatan yang diwarnai dengan kasih sayang antara keduanya. Keduanya saling menghormati, saling menahan diri, dan saling menolong, semata untuk mencari rida Allah dan menggapai surga-Nya bersama-sama.

Untuk itu, Islam mengatur dengan terperinci tentang hak dan kewajiban antara suami-istri secara seimbang sesuai fitrah kemanusiaan mereka. Islam memerintahkan perempuan untuk taat kepada suaminya selama bukan dalam kemaksiatan. Pahala ketaatan itu sangat besar, bahkan menyamai pahala amal-amal yang utama.

Nabi saw. bersabda, “Apabila seorang wanita menjaga salat lima waktu, berpuasa pada bulannya, menjaga kehormatannya, dan menaati suaminya, niscaya ia akan masuk surga dari pintu mana saja yang ia inginkan.” (HR Ahmad dan Ibnu Hibban).

Ketaatan istri pada suami adalah salah satu pilar ketenteraman rumah tangga. Ibarat kapal, sudah pasti nakhoda harus satu. Begitu pula kepemimpinan rumah tangga. Kepemimpinan ganda hanya akan menimbulkan persaingan, pertentangan, dan perselisihan yang mengancam keutuhan rumah tangga.

Mengenai hal ini, Allah Swt. telah menyerahkan kepemimpinan rumah tangga bagi suami. Firman-Nya, “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu, maka wanita yang saleh ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).” (QS An-Nisaa: 34).

Kepemimpinan di tangan suami dan ketaatan istri padanya tidak akan membuat istri menjadi lebih rendah posisinya sehingga rentan terhadap KDRT. Ini karena Islam—pada saat yang sama—juga memerintahkan suami untuk memperlakukan istri dengan baik. Sayangnya, hal inilah yang jarang dibahas di tengah umat sehingga kesan yang muncul dari wajib taatnya istri pada suami adalah ketimpangan kedudukan mereka di mata syariat.

Allah Swt. berfirman, “Dan pergaulilah mereka (istri-istrimu) dengan baik.” (QS An-Nisaa: 19).

Dengan ketentuan seperti ini, kepemimpinan suami bukanlah kepemimpinan yang bersifat otoriter. Ia wajib memperhatikan kepentingan, kondisi, dan perasaan istrinya. Kepemimpinannya adalah kepemimpinan kasih sayang untuk membimbing istri dan anak-anaknya mendapatkan rida Allah. Rasulullah saw. adalah teladan terbaik dalam hal ini. 

Beliau saw. bersabda, “Orang yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik perlakuannya terhadap keluarganya. Sesungguhnya aku sendiri adalah orang yang paling baik di antara kalian dalam memperlakukan keluargaku.” (HR Ibnu Majah).

Rasulullah saw. telah memberikan contoh yang indah dalam kehidupan rumah tangganya. Beliau mendengarkan pendapat istrinya, mengikuti saran-saran mereka, bahkan mengajak mereka bercanda. Baiknya, pergaulan suami akan memudahkan istri untuk menjaga ketaatan.

Sebaliknya juga, ketaatan istri kepada suami memiliki kekuatan untuk menenteramkan hati suami. Timbal balik yang harmonis seperti ini akan menciptakan rumah tangga yang diliputi kedamaian, sakinah mawaddah warahmah, serta menjauhkan suami maupun istri dari ketakpuasan yang mengarah pada perselingkuhan dan perceraian. Tidak hanya mengatur kehidupan rumah tangga yang harmonis, Islam juga menyiapkan sistem yang mendukungnya.


Mekanisme Sistem Islam Mencegah Perceraian

Kondisi penerapan sistem kapitalisme saat ini berbeda jauh dengan penerapan sistem Islam. Islam adalah agama yang unik karena ia adalah satu-satunya agama yang tidak hanya mengatur ritual atau aspek ruhiah. Islam juga merupakan akidah siyasi, yaitu akidah yang memancarkan seperangkat aturan untuk mengatur kehidupan.

Islam memandang bahwa pernikahan bukan sekadar penyatuan dua individu dan persoalan yang sifatnya personal antara mereka berdua. Namun, Islam menetapkan sejumlah aturan untuk menjaga komitmen membentuk keluarga sakinah.

Aturan Islam mengenalkan kita pada kewajiban nafkah. Suami wajib hukumnya memberi nafkah pada anak dan istri. Apabila suami ingkar, pengadilan berhak memaksa atau menyita harta suami untuk menafkahi keluarganya secara layak. Jika suami tidak mampu karena sakit atau cacat, kewajiban tersebut berpindah kepada para wali dari jalur suami. Jika mereka semua miskin, negara wajib mengeluarkan nafkah dari baitulmal.

Negara pun wajib menyediakan lapangan kerja yang luas agar para suami dapat bekerja dan memberikan nafkah untuk keluarganya. Dalam Islam, semua sumber daya alam strategis adalah milik umat yang dikelola negara. Bukan hal mustahil negara menciptakan lapangan kerja yang luas dan menjamin kebutuhan individu warga negara dan keluarganya. Dengan adanya jaminan nafkah dari suami, gugat cerai dari pihak istri karena suami tidak bertanggung jawab memberi nafkah atau tidak mampu pun dapat dihindari.

Untuk mencegah perselingkuhan, Islam mengharuskan perempuan maupun laki-laki untuk terikat dengan seperangkat aturan sosial. Mereka wajib menutup aurat, tidak berdua-duaan dengan yang bukan mahram, menjaga pandangan, dan menjaga izzah (kehormatan). Khusus untuk perempuan wajib berjilbab, tidak berdandan berlebihan, dan tidak bersafar sehari-semalam lebih tanpa mahram.

Di sisi lain, media massa dibebaskan menyebarkan berita, tetapi mereka terikat dengan kewajiban untuk memberikan pendidikan bagi umat, menjaga akidah dan kemuliaan akhlak, serta menyebarkan kebaikan di tengah masyarakat.

Islam juga telah memberikan seperangkat aturan untuk menyelesaikan persoalan rumah tangga yang banyak dihadapi pasangan muda. Misalnya, memberikan solusi pada perselisihan yang terjadi di antara suami-istri. Allah Swt. berfirman, “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS An-Nisaa: 35).

Hanya dengan penerapan syariat Islam secara utuh, seluruh problem yang terjadi pada manusia (termasuk dalam berumah tangga) akan menemukan solusi tuntas. Kebahagiaan dan kesejahteraan akan tercapai. Hanya saja, semua ini membutuhkan institusi yang bisa menerapkan syariat secara kafah, yaitu Khilafah Islamiah.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar