Oleh : Fitria Damayanti, M.Eng
Bayangkan jika hujan, yang seharusnya membawa berkah kehidupan, justru menjadi bencana tambahan bagi ribuan manusia yang sudah terluka. Di Gaza, tetesan air hujan musim dingin tidak menyegarkan, melainkan merembes melalui tenda-tenda pengungsian yang bobrok, menggenangi tempat tidur anak-anak, dan mengubah pengungsian menjadi kubangan air yang dingin.
Sementara dunia internasional sibuk membicarakan gencatan senjata, warga Gaza justru berjuang melawan dingin yang menggigit dan banjir yang menghanyutkan sisa-sisa harta benda mereka.
Inilah wajah sesungguhnya dari "perdamaian" yang digaungkan media - sebuah ironi kemanusiaan dimana badai alam menjadi lebih berbahaya dari pada peluru di saat gencatan senjata.
Fakta yang terungkap semakin memilukan: "Badan bantuan pengungsi Palestina (UNRWA) menyebut hujan memperburuk situasi di Gaza... warga Gaza yang sebagian besar masih tinggal di tenda-tenda pengungsian diterpa badai banjir di musim dingin" (Antara News, 2024). Lebih dari 260 nyawa telah melayang sejak gencatan senjata dimulai, sementara lebih dari 630 lainnya menderita luka-luka (Anadolu Agency, 2024). Yang lebih mengenaskan, blokade Israel terus memutus akses bantuan kemanusiaan paling dasar, termasuk "material perlindungan seperti tenda dan rumah mobil" (Antara News, 2024).
Setiap tetes hujan seakan menjadi pengingat pahit akan kegagalan peradaban modern dalam melindungi nyawa manusia yang tak berdosa.
Kondisi ini menunjukkan bagaimana posisi tawar Palestina dalam setiap perundingan damai. Genjatan senjata tanpa penyelesaian akar masalah hanya menjadi jeda semu yang tidak mengubah nasib rakyat Gaza. Bahkan dalam masa "damai" sekalipun, penderitaan mereka terus berlanjut dalam bentuk yang berbeda. Inilah bukti nyata bahwa solusi parsial tidak akan pernah membawa keadilan sejati bagi bangsa Palestina.
Akar Penjajahan dan Kegagalan Solusi Barat
Krisis multidimensi yang melanda Gaza adalah buah dari struktur penindasan yang telah berlangsung puluhan tahun. Edward Said, dalam "The Question of Palestine", dengan tegas membongkar narasi dominan yang kerap meminggirkan suara dan hak-hak bangsa Palestina.
Gencatan senjata, dalam perspektif ini, hanyalah jeda sementara yang tidak menyentuh akar masalah, yaitu penjajahan itu sendiri. Rashid Khalidi dalam "The Hundred Years' War on Palestine" secara detail menguraikan bagaimana proyek kolonial telah menciptakan sistem penindasan yang berkelanjutan.
Situasi ini diperparah oleh sikap dunia internasional yang berada di bawah kendali kepentingan geopolitik negara-negara adidaya. Norman G. Finkelstein dalam "Gaza: An Inquest Into Its Martyrdom" menyajikan investigasi mendalam bagaimana masyarakat internasional secara konsisten gagal meminta pertanggungjawaban Israel.
Solusi-solusi yang ditawarkan Barat terbukti tidak akan pernah menyelesaikan masalah karena justru melanggengkan status quo penjajahan. Ketika tenda-tenda pengungsi roboh dan blokade membunuh secara perlahan, kita menyaksikan kekerasan struktural yang sistematis.
Proses perdamaian ala Barat selama puluhan tahun telah gagal total karena mengabaikan akar masalah sebenarnya. Pendekatan real-politik yang mengutamakan stabilitas regional telah mengorbankan prinsip-prinsip keadilan dasar. Diplomasi internasional ternyata tidak mampu menjamin perlindungan bagi warga sipil yang paling rentan. Sistem dunia yang ada sekarang terbukti tidak memiliki mekanisme efektif untuk menghentikan penjajahan.
Menghadirkan Kembali Perisai Umat
Melihat kegagalan solusi two-state dan diplomasi internasional, diperlukan pendekatan yang radikal dan fundamental. Solusi itu adalah kembali kepada kerangka pemikiran dan politik Islam yang bersumber dari identitas umat itu sendiri. Pertama, solusi Islam harus menjadi pegangan para pemimpin negeri-negeri Muslim dengan melakukan konsolidasi kekuatan politik dan militer berdasarkan ikatan akidah.
Gaza butuh jihad dalam pengertiannya yang sebenarnya, yaitu perjuangan total untuk membebaskan tanah yang terjajah.
Kerangka politik untuk mewadahi perlindungan ini adalah Khilafah, yang dalam Islam berfungsi sebagai junnah atau perisai. Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya Imam (Khalifah) itu laksana perisai (junnah), dari belakangnya umat berperang dan dengannya umat berlindung" (HR. Muslim). Konsep ummah wahidah (umat yang satu) dalam Khilafah akan memutus sekat-sekat nasionalisme sempit. Khilafah bukan sekadar negara biasa, tetapi entitas politik yang bertugas menjalankan syariat Islam untuk melindungi setiap warganya.
Solusi hakiki ini harus terus dan semakin disuarakan melalui dakwah Islam ideologis yang sistematis. Masyarakat dunia, termasuk kaum muslimin sendiri, perlu terus diingatkan bahwa solusi sejati untuk Palestina terletak pada penerapan Islam secara kaffah. Islam menawarkan konsep yang jelas dan adil: tanah yang dirampas harus dikembalikan, kaum yang tertindas harus dibela hingga merdeka.
Narasi pembebasan berdasarkan Islam ini harus lebih lantang disuarakan daripada narasi-narasi kompromistik. Hanya dengan persatuan umat di bawah Khilafah-lah keadilan dan kemerdekaan hakiki untuk Palestina dapat diwujudkan.
Wallahu a'lam bishawwab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.


0 Komentar