Oleh: Imas Royani, S.Pd.
Pemerintah Kabupaten Sukabumi merespons tegas isu 'mencuri di tanah sendiri' yang belakangan viral terkait aktivitas pertambangan yang dilakukan oleh pemilik lahan.
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Sukabumi menegaskan bahwa narasi tersebut adalah kesalahpahaman hukum karena masalah utamanya bukan pada kepemilikan lahan. Melainkan aktivitas Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) yang melanggar hukum dan membahayakan lingkungan.
Kepala DLH Kabupaten Sukabumi, Nunung Nurhayati, menyampaikan keprihatinan atas dampak serius yang ditimbulkan oleh tambang ilegal tersebut. Nunung menjelaskan, landasan hukum kegiatan pertambangan sangat jelas diatur dalam UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba, di mana izin usaha pertambangan wajib berasal dari Pemerintah Pusat (Pasal 35 ayat 1).
“Sedangkan Pasal 158 menegaskan bahwa setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa izin dari Pemerintah dipidana dengan penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak seratus miliar rupiah,” tegasnya. (Liputan6, 27/10/2025).
Sebelumnya, polisi membongkar aktivitas PETI yang beroperasi di Blok Pasir Gombong, Kampung Cipeudes, Desa Ridogalih, Kecamatan Cikakak, Kabupaten Sukabumi.
AKBP Samian menekankan bahaya besar yang ditimbulkan oleh tambang liar ini. Pengungkapan yang dilakukan pada Kamis (23/10/2025) ini sekaligus menjadi komitmen polisi untuk menindak tegas pelaku perusak lingkungan dan melanggar hukum.
Para pelaku kini dijerat dengan pasal berlapis Undang-Undang Minerba, termasuk Pasal 58 junto Pasal 35 dan/atau Pasal 161 junto Pasal 35 ayat (3) huruf C dan G. Mereka menghadapi ancaman hukuman berat: pidana maksimal 5 tahun penjara dan denda hingga Rp 100 miliar. Polisi pun mengimbau masyarakat untuk tidak terlibat dalam kegiatan pertambangan liar apa pun.
Begitu tegas peraturannya, begitu berat dendanya. Tetapi mengapa mereka sampai nekad? Dengan alasan bahwa mereka melakukan penambangan di tanah sendiri, mereka melakukan pembelaan. Tapi akan lebih baik jika hal ini disikapi dengan benar sebelum menerapkan aturan. Tidak akan mungkin seorang pemilik tanah merusak tanahnya sendiri jika tidak terpaksa atau ada sesuatu hal yang memaksanya. Mari kita analisis!
Mengapa sampai melakukan itu? Mata pencaharian apa yang dijalani oleh mereka sebelum penambangan liar di tanah sendiri dilakukan? Apakah penghasilan mereka mencukupi kebutuhan, minimal kebutuhan pokok mereka & keluarga? Apakah ada aktivitas penambangan dengan keuntungan yang menggiurkan sehingga mereka tertarik melakukannya pula?
Jika mau jujur, semua pertanyaan itu dapat dijawab dengan satu kalimat sebagai kesimpulannya. Bahwa mereka melakukan hal itu karena penghasilan mereka tidak mencukupi kebutuhan pokok mereka sebab sulitnya lapangan pekerjaan dan tidak seimbangnya gaji dengan aktivitas (tenaga dan pikiran) yang telah dikeluarkan (pengorbanan). Sedangkan kebutuhan tidak bisa tidak harus tetap dipenuhi.
Sementara mereka melihat apa yang dilakukan para korporasi dalam menambang begitu menggiurkan hasilnya sehingga dengan pandangan sempit mereka memilih untuk "mencuri di tanah sendiri" toh yang mencuri di tanah rakyat saja aman-aman saja tidak tersentuh hukum padahal jelas kerusakan yang diakibatkannya jauh lebih besar.
Mereka lupa bahwa sistem kapitalisme menjadikan hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Tengok saja, seluruh lapisan pejabat berjibaku mengeluarkan Undang-undang PETI dengan alasan demi keselamatan. Sebelumnya kemana saja? Bukankah keselamatan masyarakat juga dipertaruhkan ketika negara melegalkan penambangan oleh korporasi?
Selain merampas ruang hidup rakyat dan merusak lingkungan, baik tambang legal maupun ilegal sama-sama membawa malapetaka bagi penduduk setempat. Hampir semua perusahaan tambang di Indonesia menjalankan praktik yang melanggar aturan dan merugikan masyarakat. Mereka merampas tanah tanpa persetujuan, menebangi hutan dan merambah kawasan konservasi, mencemari sungai dan laut yang menjadi sumber kehidupan masyarakat, dan membuka tambang di sekitar permukiman. Fakta ini menunjukkan bahwa masalah tidak hanya terletak pada “ilegal” atau “legal”, melainkan pada watak predatoris industri tambang itu sendiri yang mendapat perlindungan dari negara.
Masalah tambang, baik legal maupun ilegal sejatinya tidak bisa terlepas dari sistem yang mengatur kepemilikan umum ini. Dalam sistem ekonomi kapitalisme, tambang tidak lagi dipandang sebagai harta milik umum yang wajib dikelola oleh negara untuk kemakmuran rakyat. Akan tetapi, kapitalisme memandang barang tambang sebagai aset bebas yang boleh dimiliki oleh siapa saja yang bermodal. Artinya, kebebasan kepemilikan dalam kapitalisme inilah yang menjadi biang kerok masalah tambang di negeri ini. Kebebasan ini melahirkan liberalisasi tambang. Konsekuensinya, pengelolaan tambang tidak lagi menjadi kewajiban negara, tetapi diserahkan kepada individu, swasta, bahkan asing yang mampu mengelolanya.
Berbeda dengan sistem Islam. Dalam Islam, semua kekayaan alam yang menguasai hajat hidup masyarakat, termasuk di dalamnya mineral dan batu bara, terkategori sebagai harta milik umum. Negara dilarang menyerahkan pengelolaannya baik pada aspek eksplorasi, eksploitasi, maupun distribusi kepada individu, swasta, apalagi asing. Negaralah pihak yang bertanggung jawab untuk mengelola harta milik umum tersebut dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat.
Dalam kitab Muqaddimah ad-Dustur Pasal 137 tentang harta milik umum dan jenis-jenisnya, disebutkan, “Kepemilikan umum mencakup tiga jenis harta: (a) segala sesuatu yang menjadi bagian dari kemaslahatan umum masyarakat, seperti tanah lapang di sebuah negara; (b) barang tambang yang depositnya sangat besar, seperti sumber-sumber minyak; (c) benda-benda yang tabiatnya menghalangi monopoli seseorang atas penguasaannya, seperti sungai-sungai.”
Kepemilikan umum jenis pertama adalah harta yang dibutuhkan oleh seluruh kaum muslim atau menjadi hajat hidup orang banyak yang jika tidak tersedia akan menyebabkan keguncangan dan perselisihan, semisal air. Dari Abu Khurasyi dituturkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda, “Kaum muslim itu berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Dawud).
Harta milik umum jenis pertama tidak hanya tercakup pada tiga jenis barang tersebut, tetapi juga berlaku pada setiap harta yang memiliki sifat-sifat kepemilikan umum, yakni harta yang dibutuhkan masyarakat banyak. Masyarakat dilarang memiliki sebagian atau keseluruhan harta milik umum. Mereka hanya boleh mengambil manfaatnya.
Harta milik umum jenis kedua, yaitu barang tambang yang memiliki deposit sangat besar dan melimpah. Adapun barang tambang dengan deposit kecil, termasuk harta milik individu. Hal ini berdasarkan riwayat Abyadh bin Hammal yang meminta tambang garam, tetapi Rasulullah Saw. menariknya kembali karena mengetahui deposit tambang tersebut bagai air yang mengalir.
Dari Abyadh bin Hammal al-Mazaniy, “Sesungguhnya ia bermaksud meminta (tambang) garam kepada Rasulullah maka beliau memberikannya. Tatkala beliau memberikannya, berkata salah seorang laki-laki yang ada di dalam majlis, ‘Apakah engkau mengetahui apa yang telah engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya apa yang telah engkau berikan itu laksana (memberikan) air yang mengalir’. Akhirnya beliau bersabda: ‘(Kalau begitu) tarik kembali darinya’.” (HR. Tirmidzi).
Setiap individu dilarang menguasai atau memiliki tambang yang memiliki deposit melimpah. Larangan di sini tidak hanya terbatas pada tambang garam, tetapi mencakup semua jenis bahan tambang yang memiliki deposit melimpah alias tidak terbatas, seperti batu bara, gas alam, minyak bumi, emas, dan lainnya. Negara tidak boleh memberi izin kepada perusahaan atau perorangan untuk menguasai dan mengeksploitasinya. Negara wajib mengelolanya agar rakyat dapat memanfaatkan hasilnya.
Adapun terkait izin pengelolaan tambang, Syekh Abdul Qadim Zallum dalam kitab Al-Amwal fii Daulah al-Khilafah hlm 92—93 menerangkan bahwa barang tambang yang jumlahnya banyak dan (depositnya) tidak terbatas, hal itu tergolong kepemilikan umum bagi seluruh kaum muslim sehingga tidak boleh dimiliki oleh seseorang atau beberapa orang. Juga tidak boleh diberikan kepada seseorang ataupun beberapa orang tertentu. Demikian juga tidak boleh memberikan keistimewaan kepada seseorang atau lembaga tertentu untuk mengeksploitasinya. Jadi, harus dibiarkan sebagai milik umum bagi seluruh kaum muslim dan mereka berserikat atas harta tersebut. Negaralah yang wajib menggalinya, memisahkannya dari benda-benda lain, meleburnya, menjualnya atas nama mereka (kaum muslim), dan menyimpan hasil penjualannya di baitulmal kaum muslim.
Adapun jenis ketiga harta milik umum ialah harta yang tabiat asalnya menghalangi atau mencegah monopoli seseorang untuk memilikinya. Sebagai contoh, jalan umum, laut, sungai, danau, teluk, selat, terusan (seperti Terusan Suez), lapangan umum dan masjid-masjid adalah milik umum bagi setiap anggota masyarakat. Individu atau kelompok masyarakat dilarang menguasai secara sepihak harta-harta yang diperuntukkan bagi kepentingan umum. Ketentuan ini didasarkan pada sabda Rasulullah saw., “Tidak boleh ada hima (proteksi atas harta kepemilikan umum) kecuali bagi Allah dan Rasul-Nya.” (HR Abu Dawud).
Adapun tambang yang jumlahnya sedikit, individu boleh mengelolanya dengan syarat dan ketentuan yang ditetapkan syariat. Di antaranya adalah:
1. Individu boleh mengeksplorasi sumber daya alam yang bukan tergolong harta yang dibutuhkan oleh suatu komunitas (masyarakat) atau disebut rikaz. Dengan kata lain, harta tersebut bukan merupakan hak seluruh kaum muslim, sebagaimana yang terdapat di dalam pembahasan fikih.
2. Orang yang menggali harta rikaz berhak memiliki 4/5 bagian, sedangkan 1/5-nya harus dikeluarkan zakatnya.
3. Jika harta temuan hasil penggalian tersebut merupakan harta yang dibutuhkan oleh suatu komunitas atau hak seluruh kaum muslim, harta galian tersebut merupakan hak milik umum (colective propherty).
4. Apabila harta yang tersimpan di dalam tanah tersebut asalnya karena tindakan seseorang, serta jumlahnya terbatas, tidak sampai mencapai jumlah yang biasa dibutuhkan oleh suatu komunitas, maka harta tersebut termasuk rikaz.
5. Jika harta tersebut asli (dari dasar tanah, bukan karena tindakan manusia) serta dibutuhkan oleh suatu komunitas, maka harta tersebut tidak terkategori rikaz, dan berstatus hak milik umum. Apabila harta tersebut asli, tetapi tidak dibutuhkan oleh suatu komunitas, misalnya ada seorang pemukul batu yang berhasil menggali batu bangunan dari sana, atau yang lain, maka harta tersebut tidak termasuk rikaz, juga bukan hak milik umum, melainkan termasuk hak milik individu (Syekh Taqiyuddin an-Nabhani, An-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam, hlm.161).
Negara akan memberikan izin pengelolaan barang tambang atau galian SDA sesuai dengan batasan dan ketentuan yang sudah ditetapkan syariat. Dalam pelaksanaannya, negara juga akan melakukan pengawasan dan mengontrol setiap aktivitas tambang yang dilakukan individu agar tidak melewati batas dan ketentuan tersebut.
Selain itu, dalam mengelola tambang, negara harus memperhatikan aspek lingkungan dengan melakukan kajian analisis mengenai dampak lingkungan. Pengelolaan tambang harus menjadi kemaslahatan publik, baik untuk rakyat maupun alam sekitar. Potensi alam dan berbagai SDA yang Allah SWT. karuniakan boleh dikelola dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan manusia. Akan tetapi, manusia juga memiliki tanggung jawab menjaga keberlangsungannya.
Allah SWT. berfirman dalam surah Al-A’raf ayat 56,
وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَ رْضِ بَعْدَ اِصْلَا حِهَا وَا دْعُوْهُ خَوْفًا وَّطَمَعًا ۗ اِنَّ رَحْمَتَ اللّٰهِ قَرِيْبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِيْنَ
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.”
Negara juga akan menindak tegas bagi siapa saja yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan yang sudah ditetapkan syariat. Sanksi hukum Islam akan berjalan terhadap para pelanggar, termasuk perusak alam dan lingkungan.
Pengelolaan tambang berdasarkan syariat Islam secara kaffah akan memberikan kesejahteraan, kemakmuran, dan keselamatan bagi manusia dan alam semesta. Penerapan sistem Islam secara kaffah dapat mencegah dari kerusakan dan kerakusan manusia karena pada dasarnya aturan Islam memang hadir untuk mencegah kemungkaran dan kerusakan akibat ulah tangan manusia.
Maka sudah saatnya kita pun kembali memakai aturan-Nya, melaksanakan semua perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya. Caranya adalah dengan mengkaji Islam kaffah bersama kelompok dakwah Islam ideologis dan mendakwahkannya di tengah-tengah masyarakat agar semakin banyak yang tercerahkan. Tanpa nanti tanpa tapi. Semangat!!
Wallahu'alam bishshawab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.


0 Komentar