Oleh : Arini Fatma Rahmayanti (Muslimah Mataram)
Sidak yang dilakukan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi (KDM), ke pabrik Aqua di Subang pada Oktober 2025 memicu polemik nasional terkait transparansi sumber air dan tata kelola lingkungan. Dalam kunjungannya, KDM menemukan bahwa air yang digunakan oleh pabrik Aqua bukan berasal dari mata air pegunungan sebagaimana diklaim dalam iklan, melainkan dari sumur bor dalam dengan kedalaman lebih dari 130 meter. Temuan ini menimbulkan kekhawatiran serius terhadap dampak ekologis jangka panjang, seperti menurunnya debit air warga, ancaman kekeringan, dan pergeseran tanah akibat eksploitasi air tanah besar-besaran.
Selain itu, KDM juga mengungkap dugaan kejanggalan dalam setoran dana Aqua kepada PDAM Subang sebesar Rp600 juta per bulan. Pembayaran tersebut dipertanyakan karena Aqua telah memiliki izin pengusahaan air tanah sendiri dan tidak lagi menggunakan jaringan PDAM. Ironisnya, warga di sekitar pabrik masih mengalami kesulitan mendapatkan air bersih, meskipun dana kompensasi besar terus mengalir.
Sebagai langkah tegas, KDM meminta audit BPK terhadap aliran dana Aqua–PDAM, meninjau ulang izin pengambilan air, serta mendesak perusahaan menyediakan akses air bersih gratis bagi masyarakat sekitar. Ia juga mendorong perusahaan besar, termasuk Aqua, untuk memindahkan kantor pusatnya ke Jawa Barat agar hasil ekonomi dan pajaknya dapat dirasakan langsung oleh masyarakat daerah.
Pihak Danone-Aqua kemudian memberikan klarifikasi bahwa air yang digunakan berasal dari confined aquifer atau akuifer dalam yang aman secara hidrogeologis dan telah melalui kajian akademik dari UGM. Namun publik menilai citra “air pegunungan” yang dibangun Aqua menyesatkan dan mencerminkan lemahnya transparansi korporasi. WALHI menyebut persoalan ini sebagai bukti nyata dari praktik privatisasi air di Indonesia yang mengabaikan hak publik atas sumber daya alam.
Fenomena dikuasainya sumber-sumber air oleh perusahaan menunjukkan adanya praktek kapitalisasi terhadap SDA. Dalam sistem ekonomi kapitalis, segala sesuatu disandang sebagai komoditas yang bisa diperjualbelikan, termasuk air . Padahal air merupakan kebutuhan dasar setiap makhluk hidup.
Dampak yang dtimbulkan dari kapitalisasi air ini, diantaranya adalah :
Pertama, pengambilan air tanah secara besar-besaran, terutama melalui sumur bor dalam berpotensi menurunkan muka air tanah. Kondisi ini menyebabkan mata air di sekitar mengering, tanah menjadi retak bahkan meningkatkan resiko amblesan tanah (land subsidence).
Kedua, warga di sekitar pabrik akan kekurangan air karena artinya telah disedot perusahan. Dan juga menciptakan ketimpangan akses, masyarakat susah mendapat air bersih, sementara perusahaan memperoleh keuntungan besar dengan menjual air yang seharusnya menjadi milik publik.
Dampak yang ditimbulkannya sudah jelas buruk lalu mengapa kapitalisasi air dibiarkan? Semua ini tidak bisa dilepaskan dari sistem kapitalisme, yang menjadikan SDA (Sumber Daya Alam) apapun sebagai komoditas yang di perjualbelikan. Karena di dalam sistem kapitalis siapapun berhak memiliki apapun selama ia mampu.
Walhasil pemilik modal akan sangat mudah untuk mengklaim SDA kemudian mengelolanya. Padahal SDA adalah milik umum. Seharusnya ini dikelola oleh negara, bukan swasta. Lalu di mana peran negara?
Alih-alih mengelola sendiri negara malah menyerahkan urusan publik ke swasta. Yang dimana jika di urus swasta, pemerataan tidak tercapai. Perusahaan hanya akan menyalurkan kepada mereka yang sanggup membelinya. Sejatinya perusahan tidak peduli dengan masyarakat yang kekurangan air.
Dalam kacamata Islam, air termasuk bagian dari sumber daya alam (SDA) yang tergolong milkiyyah ‘ammah atau milik umum. Rasulullah ï·º bersabda: “Kaum Muslimin berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Hadis ini menjelaskan dengan jelas bahwa air adalah milik bersama dan tidak boleh dikuasai oleh seseorang atau perusahaan tertentu. Jadi, praktek kapitalisasi air yang menguasai sumber-sumber air demi keuntungan. Itu sangat bertentangan dengan syariat Islam dalam mengatur sumber daya alam.
Dalam pandangan ekonomi Islam, pengelolaan air seharusnya menjadi tanggung jawab negara yang berperan sebagai pengurus urusan rakyat. Negara wajib memastikan air bisa didistribusikan secara adil dan dimanfaatkan untuk kepentingan semua orang. Selain itu, negara juga harus menjaga kelestarian lingkungan dengan melarang pengambilan air secara besar-besaran yang bisa menyebabkan kerusakan, seperti turunnya permukaan air tanah, tanah ambles, atau hilangnya mata air di sekitar wilayah industri.
Dalam Islam, harus dijalankan dengan jujur dan adil. Segala bentuk kecurangan dalam produksi, pemakaian sumber daya secara berlebihan, atau usaha yang memonopoli pasar tidak dibenarkan, karena termasuk perbuatan zalim yang merugikan masyarakat dan merusak lingkungan.
Oleh karena itu, negara tidak hanya berperan sebagai pengawas yang pasif seperti dalam sistem kapitalis sekarang, tetapi harus ikut turun tangan langsung dalam mengelola sumber daya milik bersama. Aturan yang dibuat pun harus tegas dan berpihak pada kepentingan masyarakat luas, bukan pada keuntungan perusahaan. Penggunaan air juga perlu diawasi supaya tidak terjadi ketimpangan dalam akses air dan kerusakan lingkungan
Maka dari itu, negara Islam (Khilafah) akan mengelola sumber air sehingga seluruh rakyat dapat menikmatinya secara gratis dengan mendirikan industri air bersih perpipaan yang menjangkau seluruh pelosok negeri, atau mengemas air agar praktis dibawa ke mana-mana. Semua itu sangat mungkin diwujudkan dengan dukungan pembiayaan dari baitulmal Khilafah.
Pengelolaan keuangan negara berbasis syariat Islam akan menjadikan pemasukan baitulmal melimpah sehingga mampu menghadirkan teknologi canggih untuk menyelesaikan seluruh urusan manusia. Dengan demikian, air akan tersalurkan secara merata ke seluruh rakyat dan kerusakan alam dapat diminimalkan.
Islam menawarkan cara pengelolaan SDA yang menyeluruh dan memberikan solusi nyata: menolak privatisasi, menegakkan tanggung jawab negara, menjaga kelestarian alam, serta menjamin keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Untuk itu sudah saatnya umat dunia meninggalkan sistem ini dan beralih pada sistem Islam yang mampu memenuhi seluruh kebutuhan umat, termasuk air.
“Hukum Jahiliahkah yang mereka kehendaki. (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah SWT bagi orang-orang yang yakin?” (Q.S. Al-Mâidah [5]: 50)
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.


0 Komentar