Gaza Tidak Butuh Solusi Dua Negara



Oleh: Ima Husnul Hotimah

Kondisi Palestina saat ini masih belum berujung. Kabar terbaru, para aktivis Internasional yang merupakan peserta dari Global Sumud Flotilla pun dicegat saat berusaha menembus blokade laut Gaza dan lebih dari 450 orang dari berbagai negara ditangkap. (Kompas.com-6/10/2025)

Padahal sebelumnya, di akhir bulan September, tepatnya hari Senin, 22 September 2025, dalam Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, Prancis, Belgia, Luksemburg, Malta, dan Andorra mendeklarasikan pengakuan mereka terhadap Negara Palestina.  Sehari sebelumnya, Inggris, Kanada, Australia, dan Portugal juga telah mengakui Palestina. Keputusan ini menambah jumlah negara yang saat ini mengakui negara Palestina menjadi 156 negara. (Tribunnews.com)

Begitupun dengan Indonesia. Presiden RI Prabowo Subianto sudah tiga kali secara eksplisit membahas solusi dua negara (two-state solution) terkait konflik Israel vs Palestina. Ia menegaskan, posisi diplomatik Indonesia yang mendukung kemerdekaan Palestina sebagai syarat utama perdamaian, sambil menawarkan pengakuan terhadap Israel jika Palestina diakui secara berdaulat.

Presiden RI  Prabowo Subianto menghadiri High-Level International Conference for the Peaceful Settlement of the Question of Palestine and the Implementation of the Two-State Solution atau Konferensi Internasional Tingkat Tinggi untuk Penyelesaian Damai atas Masalah Palestina dan implementasi Solusi Dua Negara yang digelar di Gedung Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), New York, Amerika Serikat, Senin (22/9/2025). Dimana konferensi ini dihadiri Presiden Prancis Emmanuel Macron dan Menteri Luar Negeri Arab Saudi Pangeran Faisal bin Farhan Al Saud. Dalam konferensi tersebut, Prabowo menyampaikan pidato yang isinya menegaskan konsistensi Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaan dan pengakuan terhadap Negara Palestina. Dan President RI ini, menyatakan bahwa Indonesia mendukung New York Declaration menuju terwujudnya Two-State Solution sebagai satu-satunya jalan menuju perdamaian abadi bagi Palestina dan Israel. Solusi dua negara sudah digaungkan Prabowo sejak masih menjabat sebagai Menteri Pertahanan RI (Menhan) periode 2019-2014 hingga sekarang ia duduk sebagai Presiden RI. Adapun Two State Solution atau Solusi Dua Negara adalah usulan penyelesaian konflik Israel vs Palestina yang bertujuan untuk membentuk dua negara merdeka: satu untuk Israel dan satu untuk Palestina. (Tribun news.com-23/9/2025)


Entitas Yahudi Adalah Penjajah

Ada tiga koreksi untuk pidato Presiden Prabowo di markas PBB lalu. Pertama, keberadaan negara Israel di tanah Palestina adalah ilegal. Israel adalah penjajah. Mengakui eksistensi negara Israel sama dengan mengakui adanya penjajahan. PBB pun mengungkapkan , bahwa ada 158 perusahaan yang terlibat dalam pemukiman ilegal Israelndi wilayàh Palestina, termasuk Yerussalem Timur. 

Negeri Palestina telah menjadi bagian dari negeri Muslim sejak era Kekhilafahan Umar bin al-Khaththab ra. Khalifah Umar ra. telah menjadikan Palestina sebagai bagian dari wilayah kekuasaan Islam dan kaum Muslim sejak tahun 637 M. Dengan demikian Palestina bukanlah tanah kosong yang tidak bertuan. Jelas, kedatangan entitas Yahudi ke Palestina adalah sebagai penjajah. Kaum Yahudi memasuki wilayah Palestina setelah mendapatkan bantuan Inggris melalui Deklarasi Balfour di tahun 1917. Lalu secara bertahap mereka melakukan perampasan, penggusuran, pengusiran bahkan pembunuhan terhadap penduduk Palestina. Peristiwa Nakba yang terjadi pada Mei 1948 adalah penyerangan dan pengusiran besar-besaran terhadap penduduk Palestina. Lebih dari 700 ribu warga diusir. Lahan dan rumah-rumah mereka dirampas oleh kaum penjajah tersebut.

Karena itu pernyataan Presiden Prabowo di Markas PBB adalah hal yang mengejutkan. Pernyataan itu juga bertentangan dengan isi Pembukaan UUD 45 yang menyatakan: ”Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”

Kedua, pengakuan atas negara Israel melalui solusi dua negara mencederai rasa keadilan bagi rakyat Palestina. Mereka telah mengalami pengusiran, perampasan, bahkan pembunuhan dan sekarang genosida (pemusnahan massal) oleh zionis Yahudi. Namun, tidak ada sanksi apa pun atas pemerintahan zionis Yahudi itu. Apalagi secara kepemilikan wilayah, hari ini penduduk Palestina yang tinggal di Tepi Barat dan Gaza hanya mendiami kurang 22 persen dari total tanah air mereka. Sebaliknya, zionis Yahudi menduduki 78% wilayah Palestina. Dengan demikian solusi dua negara berarti mengakui legalitas penjarahan wilayah negara Palestina secara brutal oleh entitas Yahudi. Apakah adil mengakui kepemilikan seseorang dari hasil menjarah dan merampok rumah orang lain, sedangkan pemilik rumahnya sendiri terusir dari kediamannya? Jadi, sungguh keterlaluan jika muncul seruan bahwa semua pihak harus menghormati, menghargai dan menjamin keamanan negara Yahudi. Padahal mereka adalah pihak agresor. Mereka pun secara terang-terangan melakukan teror dan genosida terhadap penduduk Palestina. Sampai hari ini saja diperkirakan korban tewas di pihak warga Gaza sudah mencapai 66 ribu jiwa. Ribuan lagi mengalami cacat dan luka-luka.

Ketiga, pemerintahan ilegal zionis Yahudi sendiri secara tegas menolak mengakui eksistensi atau kemerdekaan negara Palestina. Pada Juli 2024, Parlemen Israel mengeluarkan resolusi yang menolak pendirian negara Palestina. Resolusi itu disahkan di Knesset dengan 68 suara mendukung dan hanya 9 suara yang menentang. Perdana Menteri Yahudi Benyamin Netanyahu, di depan Sidang Umum PBB yang lalu secara tegas menolak untuk mengakui kemerdekaan negara Palestina. Dia menyatakan bahwa pengakuan terhadap negara Palestina merupakan suatu kesalahan yang sangat fatal. Jadi, mana mungkin bisa menawarkan solusi dua negara kalau pihak perampok dan penjagalnya tetap ngotot menguasai hasil rampokan mereka? Apalagi mereka didukung oleh negara adidaya Amerika Serikat.


Bebaskan Palestina Seutuhnya

Solusi dua negara adalah pengkhianatan terhadap nasib dan perjuangan penduduk Palestina. Usulan solusi itu sama sekali bukan keinginan penduduk Palestina, juga bukan solusi yang dikehendaki oleh Islam. Ia justru datang dari kaum penjajah. Solusi itu juga justru menjadi legitimasi penjajahan oleh kaum zionis. Secara hukum Islam solusi dua negara jelas bertentangan dengan nas-nas syariah. Allah SWT telah memerintahkan kaum Muslim untuk melakukan perlawanan terhadap pihak-pihak yang mengusir dan memerangi mereka. Firman-Nya dalam TQS al-Baqarah [2]: 191, “Perangilah mereka di mana saja kalian jumpai mereka dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kalian”.

Allah SWT juga berfirman dalam TQS al-Baqarah [2]: 194, “Siapa saja yang menyerang kalian, maka seranglah dia seimbang dengan serangannya terhadap kalian”.

Berdasarkan ayat di atas, jihad fî sabilillah adalah fardu ‘ain saat negeri kaum Muslim—seperti Gaza dan Palestina saat ini—diserang atau dijajah. Para Sahabat Nabi saw. telah berijmak atas kewajiban kaum Muslim secara bersama-sama untuk memerangi dan mengusir musuh-musuh mereka yang menyerang dan menjajah negeri mereka. Para ulama pun menegaskan demikian. Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi (620 H), misalnya, menyatakan bahwa jika kaum kafir menduduki suatu negeri kaum Muslim maka wajib atas penduduk negeri itu untuk memerangi kaum kafir tersebut. Jika mereka tidak mampu maka kewajiban itu meluas kepada kaum Muslim yang ada di negeri sekitarnya (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, 9/228). Sayangnya, perintah Allah SWT yang mulia ini justru dicampakkan oleh para penguasa Muslim saat ini. Sebagian dari mereka malah mengulurkan tangan untuk membuka hubungan diplomatik dengan entitas Yahudi. Seharusnya, kaum Muslim bersikap tegas kepada penguasa mereka. Bukan malah condong dan merasa puas dengan sikap para penguasa mereka. Allah SWT telah berfirman dalam TQS Hud [11]: 113, “Janganlah kalian condong kepada orang-orang yang zalim sehingga kalian nanti akan disentuh api neraka.

Dengan demikian, krisis di Palestina ini tidak mungkin diselesaikan di tangan PBB. Umat hari ini membutuhkan kepemimpinan Islam global (Khilafah) yang akan melindungi setiap wilayah negeri Islam. Khalifah juga tidak akan membiarkan darah Muslim tercecer sia-sia di tangan kaum kuffâr. Imam al-Mawardī (450 H) menyatakan bahwa termasuk kewajiban dari kepemimpinan (Khilafah) adalah menjaga benteng umat, membela kehormatan kaum Muslim dan berjihad melawan musuh (Al-Mawardi, Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, hlm. 27). Tak ada lagi jalan keluar yang sahih dan tepat selain jihad fî sabilillah di bawah kepemimpinan Islam global, Khilafah Islamiyah. Wallahu alam bishowab




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar