Oleh: Rifdah Reza Ramadhan, S.Sos., M.I.Kom.
Seorang santri di Aceh Besar ditetapkan sebagai tersangka kasus terbakarnya asrama pondok pesantren tempat dia belajar. Sang santri disebut sengaja membakar asrama lantaran sakit hati karena kerap menjadi korban bullying oleh rekan-rekannya. (beritasatu.com, 08/11/2025).
Di sisi lain, terdapat tragedi seorang siswa SMA 72, Kelapa gading sebagai pelaku ledakan yang diduga korban perundungan atau bullying. Pelaku diduga suka menyendiri dan menyukai kegiatan menggambar sesuatu bernuansa ekstremisme seperti ter*ris, Amerika Serikat, dan menyukai video perang. (cnnindonesia, 08/11/2025).
Tiada hentinya kita ditumpahkan berbagai kabar tragis mulai dari santri yang membakar asramanya karena sakit hati akibat bullying, lalu siswa SMA yang meledakkan sekolah, dan masih banyak lagi. Tentu, ini tak sebatas insiden dramatis, ini menjadi kenyataan dari krisis identitas dan moral generasi muda.
Bullying di Indonesia tidak sebatas soal “kenakalan remaja" biasa, melainkan hal ini sudah masuk pada problem struktural yang mempengaruhi kesehatan mental, relasi sosial, dan parahnya hingga memantik perilaku ekstrem. Bullying pun melahirkan dampak skala panjang pada kemampuan sosial anak muda, rasa kesepian, dan perilaku menyakiti diri sendiri pada mereka.
Lantas mengapa bullying begitu parah dan sistemik? Pertama, luka psikologis yang mendalam. Korban bullying sering mengalami kecemasan, stres, dan gangguan konsep diri. Penelitian dari Universitas Trisakti menunjukkan hubungan yang signifikan antara bullying dan gangguan kecemasan pada pelajar SMA. Anak muda yang merasa diasingkan atau dihina memiliki peluang lebih besar menginternalisasi rasa sakit dan merasa sendirian.
Kedua, media sosial memperparah krisis moral. Di kalangan anak muda, media sosial tidak hanya menjadi tempat bersosialisasi, melainkan beralih menjadi panggung emosional. Di dalamnya terdapat tekanan algoritma, budaya mengejek, konten yang memantik tindakan ekstrim, dan masih banyak lagi. Konsep Surveillance Capitalism dari Shoshana Zuboff relevan sekali. Pada konsep tersebut terkuak bahwa platform media sosial mengumpulkan data, memproduksi kemarahan dan emosi secara komoditas untuk engagement. Anak muda yang sudah rentan emosi pun dimakan oleh algoritma. Sungguh memprihatinkan, anak muda bagai sosok yang sudah sakit lalu terus diperparah luka sosial.
Ketiga, sekularisme dalam pendidikan yang mengantarkan pada kekosongan nilai. Sistem pendidikan modern di banyak negara termasuk Indonesia sangat berfokus pada kompetensi akademik, rangking, nilai ujian, dsb. Di sisi lain, pendidikan karakter moral amatlah kurang. Hal itu melahirkan sekolah menjadi arena kompetisi semata yang padahal memiliki tugas sebagai pembentuk kepribadian generasi. Anak muda menjadi jauh dari adab dan rasa tanggung jawab. Anak muda disibukkan dengan bertahan dalam sistem yang kompetitif dan hal inilah yang memantik agresi sebagai jalur meluapkan frustasi.
Keempat, kapitalisme dalam pendidikan yang melahirkan manusia diperlakukan sebagai modal. Pendidikan dijalankan sebagai komoditas, sekolah kompetitif, biaya melambung tinggi, dan berbagai tekanan akademik, seluruhnya menjadi mekanisme kapitalistik yang dilihat sebatas modal masa depan. hal itu membuat pendidikan hanya berpatok pada sertifikat, ijazah, dan nilai tinggi semata. Jauh dari menganggap penting kualitas moral dan integritas sosial. Di sini pembinaan adab hanya pilihan kedua, bukan prioritas. Anak muda buta terkait pangkal makna kehidupan dan rentan melampiaskan kemarahan sebagai bentuk frustasi struktural.
Dengan hal-hal runyam di atas, solusi sistemik sangatlah diperlukan. Islam telah sedari awal menyediakan solusi yang berkesinambungan dan komprehensif.
Pertama, tujuan pendidikan untuk membangun kepribadian Islami. Dalam Islam pendidikan tidaklah sesederhana transfer ilmu secara teknis, melainkan sebagai pembentukan karakter dan keimanan. Pendidikan Islam harus mengintegrasikan nilai-nilai spiritual dan intelektual. Dengan itu, pendidikan Islam akan mencetak manusia yang beriman, berakhlak mulia, dan bertanggung jawab sosial. amat jauh dari sekadar lulus ujian dan mendapatkan pekerjaan.
Kedua, metode dan lingkungan adab. Islam menganjurkan adanya peran pembimbing yang bukan sebatas memberikan pengajaran, melainkan juga membimbing akhlak, membina jiwa, serta dapat menjadi tempat menyalurkan rasa sakit, kemarahan, dan pertanyaan identitas. Di sini akan tercipta ruang aman di mana adab, empati, dan penghormatan jadi nilai yang penting.
Ketiga, kurikulum aqidah dan adab. Kurikulum berlandaskan Islam menyertakan nilai-nilai aqidah dan adab di seluruh mata pelajaran. Ilmu sains, sosial, bahasa, dan lainnya dibingkai dalam kerangka Islam untuk memuliakan ciptaan, bukan mengeksploitasinya. Dengan inilah pelajar mengetahui bagaimana seharusnya berinteraksi dengan sesama.
Keempat, peran negara dalam sistem Islam. Negara memiliki tanggung jawab besar untuk menjamin pendidikan, moral publik, dan perlindungan generasi. Maka, negara mempunyai keharusan untuk memastikan akses pendidikan berkualitas tanpa menomorduakan karakter moral. Lalu menyediakan lembaga pembinaan adab di sekolah, pesantren, dan komunitas. Tidak tertinggal, negara pun menegakkan keadilan dan mengatur kebijakan anti bullying berbasis nilai Islam seperti merehabilitasi dengan pembinaan, konseling, dialog, dan tentunya sebelumnya ditegaskan upaya preventif untuk mencegah kasus bullying.
Kelima, keterkaitan dengan komunikasi politik dan media. Negara mengatur media digital melalui regulasi yang melindungi generasi, sama sekali bukan untuk membungkam generasi. Maka, media digital justru menjadi ruang untuk pembentukan opini dan karakter. Di sisi lain kurasi konten pun ditegaskan untuk memastikan platform menyediakan kanal pendidikan yang positif dan terhindar dari konten destruktif sebagaimana kekerasan, pronografi, dan degradasi moral. Negara pun dengan landasan Islam yang menyeluruh tentu tidak anti pada kreativitas, justru negara berlandaskan Islam memfasilitasi agar arah kreativitas tidak merusak masyarakat.
Islam amat lengkap menawarkan jalan keluar sebagai sistem peraturan yang memanusiakan manusia, memperbaiki akar permasalahan, dan menata generasi dengan adab sebelum ilmu.
Bila kita inginkan keselamatan bagi generasi muda, maka kita pun harus berani mengambil jalan untuk kembali pada landasan yang benar. Lantas tidakkah kita menemui dan menyadari bagaimana jelasnya kebenaran dari Allah yang Maha Menuntun itu? Bahwa hanya ketika kembali kepada aturan-Nyalah luka-luka sosial yang menggerogoti ini menemukan obatnya.
Wallahu a’lam bishshawab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.


0 Komentar