IKN Dimata Media Asing: Antara Ambisi dan Bayang-bayang Ghost City


Oleh: Noura (Pemerhati Sosial dan Generasi)

Saat pemerintah pertama kali mengungkapkan visi pembangunan IKN sebagai 'Smart forest city", "kota masa depan" dan simbol kemajuan peradaban baru" hal ini terdengar amat menjanjikan. Namun sekian tahun berselang, sorotan tajam datang dari media asing. Mereka mengungkap kemungkinan IKN berakhir menjadi "ghost city" alias kota hantu.

Dalam laporannya The Guardian (29 Oktober 2025) menyebutkan pembangunan IKN kini menghadapi fase krusial. Anggaran untuk IKN kini mengalami pemangkasan signifikan efek dari efisiensi anggaran. IKN bahkan disebut diturunkan statusnya menjadi "ibu kota politik" saja, bukan ibu kota nasional seperti rencana awal. Sementara itu, jumlah penduduk yang menetap di kawasan IKN belum mencapai lima persen dari target. Ditengah berbagai kendala pembangunan, fakta bahwa Presiden Prabowo Subianto belum mengunjungi lokasi IKN menambah daftar tanda tanya.

Tak heran jika pakar hukum tata negara Herdiansyah Hamzah, dari Universitas Mulawarman, menilai proyek IKN berisiko menjadi "kota hantu." Ia menyebut, "secara politis, ia tidak mau mati, tapi juga tidak mau hidup." Ungkapan itu menggambarkan sebuah paradoks proyek ini berjalan bukan karena kebutuhan rakyat, melainkan karena gengsi politik.

Di sisi lain, melalui Otorita IKN, pemerintah membantah narasi tersebut. Mereka menegaskan proyek masih terus berlanjut dengan klaim investasi mencapai Rp 225 triliun dan progres pembangunan tahap pertama sudah mencapai delapan puluh persen. Namun fakta di lapangan menunjukkan gap antara narasi optimistis dan realitas masyarakat sekitar IKN yang masih terjebak dalam kemiskinan struktural. 


Antara Euforia dan Fatamorgana Pembangunan ala Kapitalisme

Sejatinya, proyek ini digadang sebagai simbol pemerataan ke wilayah timur. Namun seperti megaproyek kapitalistik lainnya, janji pemerataan itu berhenti pada slogan. Masyarakat di Kabupaten Penajam Utara - warga di luar kawasan inti IKN - masih harus berdamai dengan infrastruktur dasar yang belum merata, dan lapangan kerja minim. Akses pendidikan dan kesehatan terbatas, serta penggusuran lahan dan ganti rugi yang tidak transparan.

Sayangnya ditengah situasi ini, media nasional sebagian besar tampak enggan mengkritisi secara mendalam. Jarang ada media yang lantang mempertanyakan arah pembangunan. Adanya tekanan politik dan dominasi uang, membuat media dalam sistem sekuler-kapitalis kerap berfungsi sebagai corong citra penguasa. Maka tidak mengherankan jika suara kritis lebih sering terdengar dari media luar negeri yang tidak terikat kepentingan domestik.

Padahal seharusnya media berperan sebagai pengawal bagi kebijakan publik, dengan memberikan edukasi politik kepada masyarakat agar 'melek' dan memahami implikasi sosial dari kebijakan yang ada. Dan memberikan akses terhadap informasi yang objektif. Termasuk membongkar kebijakan populis yang pada akhirnya menipu rakyat.


Perspektif Islam: Media dan Kepemimpinan 

Dalam Islam, fungsi media adalah sebagai al-amanah al-'ammah - pengawal amanah publik, menjalankan amar ma'ruf nahi munkar - menyampaikan kebenaran walau pahit. Ia bukan alat legitimasi kekuasaan, melainkan instrumen penjaga masyarakat dari penyimpangan dan kezaliman penguasa. Rasulullah saw bersabda: "Sebaik-baik jihad adalah menyampaikan kalimat yang benar di hadapan penguasa yang zalim."

Hadits ini menegaskan bahwa amar ma'ruf nahi munkar harus ditegakkan, termasuk oleh media. Kritik terhadap penguasa bukan dianggap sebagai sesuatu yang negatif. 

Para khalifah terdahulu bahkan menjadikan kritikan sebagai cermin perbaikan kebijakan. Dalam sebuah atsar sahabat disebutkan khalifah Umar bin Khathab ra. pernah berkata: "Tidak ada kebaikan pada kalian jika tidak menasehatiku, dan tidak ada kebaikan pada kami jika tidak mau mendengarnya." (Diriwayatkan oleh Ibn 'Abd al-Barr dalam Jami' Bayan al-'Ilm wa Fadlih).

Teladan Umar menunjukkan bahwa dalam sistem Islam kritik adalah mekanisme kontrol sosial yang dijamin syariat. Penguasa pun mau menerima nasehat karena kesadaran bahwa kekuasaan adalah amanah yang akan dipertangungjawabkan dihadapan Allah SWT. 

Pun dengan peran ahl al-khibrah (para ahli dan cendekia) sangat vital. Mereka menjadi penasehat penguasa yang berani berkata benar. Jika hari ini para akademisi, jurnalis, dan ulama justru mandul perannya, ini pertanda bahwa idealisme telah mati.


Prinsip Tata Kota Dalam Islam

Dalam catatan sejarah kita dapati bahwa islam pernah memiliki peradaban urban yang luar biasa. Kota Baghdad, Istanbul dan Cordoba dibangun dengan mempertimbangkan fungsi. Perencanaan tata kota dilakukan dengan memperhatikan kemudahan akses air dan pangan, tetap memperhatikan kelestarian lingkungan, keseimbangan antara masjid, pasar, dan pusat ilmu. Setiap kebijakan strategis memperhitungkan aspek geopolitik, ekonomi, serta keamanan.

Pemindahan pusat pemerintahan dalam islam diarahkan agar kota baru menjadi pusat ibadah dan ilmu, bukan sekedar simbol kekuasaan. Itu semua mampu diwujudkan karena sistem kepemimpinan yang ditopang oleh aturan yang berpijak pada akidah islam. Sehingga keberadaan pembangunan mendatangkan keberkahan.

Wallahu'alam bishawab




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar