Oleh : Ummu Hanan
Hari Santri Nasional baru saja diperingati pada tanggal 24 Oktober 2025. Peringatan kali ini mengambil tema “Mengawal Indonesia Meredeka, Menuju Peradaban Dunia” dengan tapak tilas perjuangan para santri dalam mempertahankan kemerdekaan di masa lalu. Melalui sambutannya, Presiden Prabowo ikut menyampaikan harapan agar peringatan Hari Santri dapat menjadi momentum mengobarkan kembali semangat Resolusi Jihad yang digelorakan oleh para santri 80 tahun silam (setneg.go.id, 24/10/2025). Dalam rangka memeriahkan peringatan Hari Santri berbagai kegiatan dan lomba diadakan, seperti pawai santri, lomba baca kitab kuning, bakti sosial dan lainnya.
Memaknai Hari Santri tentu tak sekadar seremonial belaka. Keberadaan santri di negeri ini begitu berdampak setidaknya ketika kita menarik benang merah dari perlawanan kaum santri terhadap penjajahan. Semangat perjuangan yang dibawa oleh para santri di masa lalu jelas berakar pada nilai membela kebenaran sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah Swt. Ini jelas sangat bertentangan dengan apa yang diserukan kepada para santri hari ini untuk menjadi pengemban ide moderasi beragama dan penggerak pemberdayaan ekonomi. Posisi santri tidak ubahnya pelaku ekonomi atau kalau pun mereka berdakwah di tengah masyarakat maka ide yang dibawa justru menjauhkan umat dari pemahaman Islam yang seutuhnya. Jangan sampai para santri malah terseret arus sekularisasi yang batil.
Santri hari ini tidak diarahkan untuk memiliki visi dan misi yang jelas. Mereka rentan ditunggangi oleh kepentingan lain yang ingin merongrong perjuangan tegaknya kembali syariat Islam di dalam kehidupan. Makna jihad yang seharusnya diwujudkan dalam bentuk penolakan terhadap segala bentuk pemikiran penjajah asing seperti liberalisme dan sekularisme. Alih-alih melawan penjajah, para santri justru memperpanjang jejak penjajahan di negeri ini. Para santri harus memiliki konsep yang benar tentang bagaimana menjaga kehidupan masyarakat mereka dengan syariat Islam. Visi dan misi perjuangan kaum santri wajib berasas pada akidah Islam yang lurus tidak terpapar oleh pemahaman barat yang bertentangan dengan Islam.
Peran santri sejatinya adalah agen perubahan menuju penerapan Islam kafah. Peran ini demikian strategis sehingga tidak boleh dibajak dengan program yang dapat mengalihkan dari kebangkitan umat. Allah Swt. berfirman dalam QS. Ali Imran: 104 yang artinya, “Hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, mereka itu lah orang-orang yang beruntung”. Revitalisasi peran santri ini mendesak untuk segera diwujudkan dan negara adalah pihak utama yang memiliki andil di dalamnya. Negara berkewajiban mencetak kader santri yang tidak hanya menguasai ilmu agama namun juga mampu mengaitkannya menjadi solusi atas persoalan yang sedang membelit negeri ini.
Di dalam pandangan Islam, negara bertanggung jawab dalam mengurus rakyat. Tidak hanya soal pemenuhan kebutuhan yang bersifat fisik seperti sandang, pangan dan papan tetapi juga pada aspek pendidikan. Terkait hal ini, Nabi saw bersabda yang artinya, “Imam (khalifah) adalah raa’in, ia bertanggung jawab atas rakyat yang dipimpinnya.” (HR Bukhari). Hadits tersebut menyiratkan adanya amanah di pundak penguasa dalam mengayomi rakyat. Pada aspek pendidikan, negara berkewajiban menyiapkan sarana dan prasarana pendidikan yang memadai. Negara juga membangun kepribadian setiap individu rakyat dengan sistem pendidikan yang berbasis akidah, memadukan antara ilmu agama dengan ilmu dunia. Melalui mekanisme semacam ini niscaya akan dihasilkan pribadi-pribadi yang tak sekadar santri tapi juga teknokrat, menjadikan Islam sebagai acuan dalam menuntaskan problematika kehidupan.
Akhirnya dan yang tak kalah penting, revitalisasi peran santri hanya mungkin terwujud dalam tatanan kehidupan Islam. Kaum santri seharusnya muncul sebagai sosok yang terdepan dalam melakukan perubahan di tengah masyarakat, dengan Islam kafah tentunya. Peran strategis santri tidak diboleh dibajak oleh kepentingan penjajah dengan menyuarakan propaganda mereka. Para santri harus membekali diri dengan pemahaman Islam kafah agar kemudian menjadi bagian dalam perjuangan menegakannya. Allahu’alam.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.


0 Komentar