MBG Menuai Beragam Masalah


Oleh : Ummu Nadira 

Desakan agar pemerintah melakukan evaluasi menyeluruh terhadap program Makan Bergizi Gratis (MBG) makin kencang disuarakan berbagai pihak. Bahkan, sebagian mereka, mulai dari pakar dan aktivis pendidikan, pakar dan aktivis kesehatan, hingga LSM, meminta program ini segera dihentikan meski untuk sementara.

Usulan moratorium atas program ini muncul menyusul sejumlah problem yang daftarnya makin panjang. Yang paling mengemuka adalah rentetan kasus keracunan yang kian sering terjadi di berbagai daerah, lalu soal menu yang tidak memenuhi standar kebutuhan gizi, serta isu ompreng (food tray) terkontaminasi minyak babi yang mengemuka akhir-akhir ini.

Di luar itu, program MBG masih tetap diiringi isu tidak sedap soal korupsi sistemis dan nepotisme dalam proyek pengadaan barang dan jasa yang membuat program ini berisiko gagal dalam implementasi.

Sikap pemerintah yang cenderung lalai atas kasus ini memang cukup “menggemaskan”. Betapa tidak, beberapa bulan sejak proyek ini diujicobakan pada Oktober 2024, kasus keracunan pun sudah terjadi di beberapa daerah. 

Diketahui, kasus pertama keracunan terjadi saat uji coba MBG di Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur, pada awal Oktober 2024. Saat itu, sebanyak tujuh anak SD mengalami mual, sakit perut, dan muntah hingga akhirnya dilarikan ke puskesmas. Setelah diresmikan pada 6 Januari 2025, insiden keracunan beruntun terjadi, bahkan hingga saat ini.

Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat jumlah korban keracunan MBG hingga 27-9-2025 sudah mencapai 8.649 anak. Lonjakan jumlah korban terjadi dalam dua pekan terakhir, yakni sebanyak 3.289 anak. Namun mirisnya, pemerintah bergeming. Alih-alih menghentikan, para pejabatnya malah sibuk cuci tangan dan mencari kambing hitam.

Pemerintah dan BGN memang sempat menyampaikan permintaan maaf melalui Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi dalam pidatonya di istana negara pada 20-9-2025. Saat itu ia pun menegaskan bahwa kasus keracunan tersebut bukanlah sebuah hal yang diharapkan.

Bagi pemerintah sendiri, program MBG memang menjadi salah satu program unggulan yang dibangga-banggakan. Program MBG digadang-gadang bisa meningkatkan kualitas kesehatan anak-anak, terutama siswa sekolah dasar dan menengah; juga untuk mengatasi masalah stunting dan mendukung ketahanan pangan nasional demi mengejar visi ambisius Menuju Indonesia Emas 2045.

Hanya saja, pada pelaksanaannya pemerintah tampak lebih fokus pada aspek kuantitas daripada kualitas. Ribuan korban kasus keracunan yang berjatuhan sejak Januari 2025 tampak tidak terlalu diindahkan. Mungkin karena rasionya dianggap sangat kecil jika dibandingkan dengan 21 juta anak yang disebut-sebut sudah menerima manfaat riil. Begitu pun ketika muncul isu ompreng terkontaminasi minyak babi dan temuan kandungan logam mangan yang tinggi, pemerintah tampak tidak terlalu serius menanggapi.

Dari sini tampak bahwa pemerintah hanya fokus pada aspek kuantitas, semua kritik yang sejak lama disampaikan cukup dijawab dengan janji menyolusi. Entah berapa lagi anak yang harus menjadi korban hingga program ambisius ini bisa dihentikan.


Kebijakan Populis Berparadigma Bisnis

Banyaknya kekisruhan yang terjadi dalam penyelenggaraan MBG sejatinya menunjukkan bahwa problemnya bukan sekadar kesalahan teknis. Presiden Prabowo menyebut bahwa program MBG adalah investasi terbaik sebuah bangsa karena telah berhasil meningkatkan angka kehadiran siswa di sekolah serta prestasi belajar mereka. Juga diklaim menciptakan 290 ribu lapangan kerja baru di sektor dapur umum dan melibatkan sekitar sejuta petani, nelayan, peternak, serta pelaku UMKM. Tampaknya, pernyataan ini perlu dikritisi, benarkah demikian?

Nyatanya, fakta riil di lapangan tidak seindah apa yang tertulis di atas kertas laporan. Besarnya dana rakyat yang digelontorkan juga tidak sebanding dengan manfaat riil yang dihasilkan. Malah membuka celah bagi berbagai modus korupsi, manipulasi, dan terjadinya konflik kepentingan, bahkan ketidakadilan.

Sebagai contoh, penunjukan mitra pelaksana Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang dilakukan tanpa mekanisme verifikasi terbuka, membuat aktor politik bahkan aparat turut serta mengambil manfaat. Tidak sedikit yayasan yang mengelola MBG diketahui berafiliasi dengan parpol dan kelompok kekuasaan tertentu. Mereka bermain-main di aspek pengadaan barang dan jasa yang akhirnya membuat manfaat yang diterima sasaran bisa sedemikian minimal.

Pada akhirnya, anak-anak menerima menu yang tidak layak, bahkan membahayakan, terbukti dari banyaknya kasus keracunan. Alih-alih menguatkan kualitas kesehatan anak bangsa, mereka justru dikorbankan. Padahal, jika anggaran sebegitu besar dialokasikan untuk sektor pendidikan dan kesehatan yang saat ini sangat mahal, atau untuk membantu rumah tangga yang kekurangan dan menguatkan pembangunan di sektor strategis lainnya, tentu manfaat yang dirasakan akan jauh lebih besar.

Sayangnya, cara berpikir pemerintah ini berbeda dengan yang rakyat inginkan. Ini terkait realitas bahwa pemerintahan hari ini memang lahir bukan dari rahim rakyat, melainkan dari berbagai drama politik dan deal-deal dengan para pemilik modal. Wajar jika nyaris semua kebijakan pemerintah jauh dari paradigma melayani kepentingan rakyat, melainkan sarat berbagai kepentingan politik sesaat yang sejalan dengan spirit populisme dan paradigma pro kapitalis.

Tidak dimungkiri, paradigma populisme dan kapitalisme memang makin menguat selama dua periode pemerintahan terakhir. Pada corak pemerintahan seperti ini, pencitraan menjadi perkara mutlak karena dengan cara itulah mereka bisa mendulang dukungan rakyat dan sponsorship dari para pemilik kapital. Maklum, politik demokrasi yang sedang diterapkan, dikenal berbiaya supermahal.

Oleh sebab itu, mereka obral berbagai janji politik berupa program-program populer dan pragmatis sesuai apa yang masyarakat butuhkan. Pada saat yang sama, mereka menukar berbagai kebijakan yang diluncurkan dengan dukungan modal yang dikucurkan para pemilik kapital.

Konsekuensinya, mereka tidak peduli program tersebut berdampak jangka panjang bagi anggaran dan perekonomian negara ataukah tidak. Mereka juga tidak akan peduli dengan anggaran negara yang sedang kritis, sampai-sampai berbagai sektor strategis harus dikorbankan demi proyek MBG. Yang tampak penting bagi mereka adalah mendapat dukungan penuh dari masyarakat yang jadi sasaran program, sekaligus loyalitas dari sponsor yang diuntungkan dari proyek yang dicanangkan.


Paradigma Riayah dalam Kepemimpinan Islam

Apa yang terjadi saat ini sejatinya merupakan konsekuensi logis dari penerapan sistem sekuler demokrasi kapitalisme. Posisi pemimpin dalam sistem ini memang jauh dari paradigma riayah (pelayanan), apalagi junnah (perlindungan). Penguasa sekadar memerankan fungsinya sebagai penjaga kepentingan segelintir orang, terutama para kapitalis dan para pemburu kekuasaan. Sedangkan rakyatnya didudukkan sebagai objek penderita, sumber daya milik mereka dijarah, mereka pun kerap dicekik dengan berbagai pungutan bernama pajak.

Suara rakyat dalam sistem ini diperebutkan demi kursi kekuasaan, sedangkan kekuasaan diperebutkan sebagai ajang bancakan bagi para pemilik modal. Tidak ada spirit ruhiah yang mewarnai kehidupan masyarakat karena sistem ini menafikan peran agama, alias tidak kenal halal-haram. Yang ada hanyalah nilai-nilai manfaat , jasa dan perlombaan meraih sebesar-besar keuntungan materi yang bersifat profan.

Kehidupan rusak seperti ini sejatinya bukan habitat asli bagi umat Islam yang sudah Allah Taala katakan sebagai umat terbaik pemimpin peradaban cemerlang. Habitat asli umat Islam adalah sistem kepemimpinan Islam (Khilafah) yang telah Allah wajibkan dan secara empiris pernah membawa umat ini pada sejarah emas yang tanpa bandingan selama nyaris 14 abad.

Sistem Khilafah Islam tegak di atas paradigma akidah yang sahih, yakni keyakinan bahwa Allah adalah Al-Khaliq sekaligus Al-Mudabbir (Maha Pengatur alam semesta, termasuk kehidupan manusia). Aturan-aturan Islam inilah yang akan menuntun manusia menjalani kehidupannya, sekaligus menyolusi seluruh problem kehidupan secara benar dan akan menghantarkan pada kebahagiaan.

Kepemimpinan dalam sistem Khilafah berbeda jauh dengan kepemimpinan dalam sistem sekarang. Al-‘Alamah Syekh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah, seorang mujtahid mutlak abad ini, dalam kitabnya berjudul Asy-Syakhsiyyah al-Islamiyyah Jilid 2, dengan gamblang menjelaskan bahwa syariat Islam telah menetapkan fungsi kepemimpinan sebagai pengurus alias pelayan (raain) sekaligus pelindung umat (junnah). Dengan demikian, kebijakan yang dikeluarkan khalifah tidak akan keluar dari koridor syariat dan karenanya mampu melahirkan kehidupan sejahtera, adil, dan penuh berkah.

Dalam praktiknya, syariat Islam memiliki tata aturan yang komprehensif dalam mewujudkan hal tersebut. Mulai dari sistem politik pemerintahan yang menjaga seluruh hukum-hukum Allah, sistem ekonomi dan keuangan yang menyejahterakan, sistem pergaulan yang menjaga harkat dan martabat umat, sistem pendidikan yang melahirkan generasi saleh dan unggul, serta sistem sanksi yang mencegah kerusakan dan kezaliman di tengah umat.

Negara/penguasa dalam sistem Khilafah diwarnai dengan spirit ruhiah yang kental. Mereka tidak akan jatuh pada godaan populisme, apalagi disetir kekuasaan para pemilik modal. Mereka bertanggung jawab menjalankan fungsi kepemimpinan—sebagai raain dan junnah—demi mewujudkan kesejahteraan rakyat tanpa ada yang dikecualikan. Mereka paham bahwa kepemimpinan adalah amanah yang akan jadi kebahagiaan atau sesalan di Hari Kekekalan.

Oleh karenanya, sebagaimana teladan Amirul mukminin Sayyidina Umar, seorang khalifah tidak akan pernah membiarkan ada rakyatnya yang kelaparan dan kurang gizi. Khalifah akan memastikan kebutuhan asasi dan sekunder setiap rakyatnya terpenuhi dengan standar tinggi tanpa banding. Mereka tahu, kelalaian dan kezaliman yang mereka perbuat akan menjadi kesedihan luar biasa di akhirat kelak. Keyakinan inilah yang menjaga mereka dari penyimpangan.

Adapun mekanisme praktis untuk menjamin kesejahteraan rakyat tersebut dikombinasikan antara pendekatan individual dan komunal. Islam mewajibkan para ayah dan wali bekerja mencari nafkah. Peran negara adalah menciptakan kondisi yang kondusif, termasuk membuka berbagai lapangan kerja seluas-luasnya otomatis akan sejalan dengan penerapan sistem ekonomi yang bertumpu pada sektor ekonomi riil dan mengatur soal konsep kepemilikan. Adapun mereka yang lemah, akan ditopang oleh masyarakat yang kental dengan spirit sosial dan amar makruf nahi mungkar. Juga ditopang oleh negara yang siap merangkul dan mengangkat mereka dari penderitaan.

Dalam Islam, sumber-sumber kekayaan alam ditetapkan sebagai milik umat. Negara berkewajiban mengelolanya demi sebesar-besar kepentingan rakyat melalui mekanisme baitulmal yang dikenal kuat dan memiliki sumber-sumber pemasukan yang banyak dan berkelanjutan. Di luar hasil pengelolaan SDA, pos pemasukan negara jumlahnya sangat banyak. Misalnya, ada pos anfal, fai, ganimah, kharaj, khumus, jizyah, dll. Dari sini saja, bisa dibayangkan modal negara memakmurkan rakyat begitu melimpah ruah. Wajar jika kehidupan masyarakat dalam naungan Khilafah begitu ideal dan mengagumkan. Bahkan, kehebatannya menjadi bahan pembicaraan dan role model bagi bangsa-bangsa yang lain sepanjang masa.

Sungguh, keadilan, kesejahteraan, dan keberkahan benar-benar nyata dalam sistem kepemimpinan Islam. Hal ini sesuai janji Allah ï·» dalam QS Al-A’raf ayat 96 bagi mereka yang beriman, “Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, niscaya Kami akan membukakan untuk mereka berbagai keberkahan dari langit dan bumi.”




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar