9 Raperda Ketapang 2026 : Regulasi untuk Siapa?


Oleh : Nur Khalifah (Aktivis Muslimah Ketapang Kal-Bar)

Dewan Perwakilan Rakyat Kota Ketapang Kalimantan Barat, menetapkan Rancangan Program Pembentukan Peraturan Daerah (Propemda) pada (Senin, 17/11/25). Penetapan sembilan Raperda prioritas oleh DPRD Ketapang untuk tahun 2026 seharusnya menjadi sarana untuk menegakkan keadilan yang menyeluruh. Namun, dilihat dari susunannya, terlihat bahwa regulasi yang dibuat lebih mengarah pada kepentingan pemerintahan daripada penyelesaian kebutuhan masyarakat. Padahal, keberhasilan pemerintah daerah dalam menyusun aturan tidak diukur dari banyaknya regulasi, tetapi dari seberapa jauh ia memberi manfaat, menegakkan keadilan, dan tidak merugikan rakyat sedikit pun. (pontianakpost.jawapos.com)

Beberapa poin dari Raperda dan kritik:

1. Jika perubahan pajak diarahkan untuk menambah pendapatan daerah melalui pungutan dari rakyat kecil dan usaha mikro, maka ini bertentangan dengan syariat. Yang kaya makin kaya, yang miskin makin tertindas! Islam melarang negara memungut harta dari rakyat kecuali pada pos yang telah ditentukan dan pada keadaan paceklik. Islam mewajibkan negara memanfaatkan harta milik umum (tambang, hutan, air, energi) untuk pembiayaan, bukan menambah beban rakyat.

2. Dalam Islam, negara wajib menjaga mata pencaharian rakyat dengan memberikan lapangan pekerjaan dan tidak boleh menekan pelaku usaha kecil. Jika aturan Perda justru merugikan pelaku usaha kecil, maka hal itu bertentangan dengan kewajiban negara dalam syariat.

3. Mengendalikan dan mengawasi minuman beralkohol. Jika hanya “dikendalikan” dan “diawasi”, regulasi ini memberikan celah legalisasi minuman beralkohol. Padahal dalam Islam, khamr haram secara qat’i dan wajib dihapus secara total, bukan dikelola.

4. Transparansi anggaran adalah kewajiban syariat. Namun dalam sistem demokrasi, sering kali tidak kita temui keadilan dalam pengelolaan harta rakyat. Dalam Islam, harta publik harus dicatat jelas, transparan, dan diaudit oleh lembaga hisbah.

5. Perubahan anggaran tidak akan membawa dampak bagi rakyat jika kebutuhan mendasarnya tidak terpenuhi, seperti layanan kesehatan, pendidikan, infrastruktur, dan jaminan kebutuhan dasar. Islam menempatkan pembiayaan sektor-sektor tersebut sebagai prioritas utama dan kewajiban negara tanpa memungut dari rakyat.

6. Dalam Islam, sumber pemasukan negara berasal dari kepemilikan umum dan zakat, bukan dari pungutan bebas seperti dalam sistem sekuler saat ini.

7. Regulasi utilitas (pipa, jaringan listrik, fiber optik) harus menjamin keterjangkauan bagi rakyat dan memastikan kemaslahatannya merata. Dalam Islam, energi dan sumber daya vital merupakan milik umum yang tidak boleh dikuasai swasta atau dijadikan komoditas komersial.

8. Islam mendorong kemitraan usaha berbasis keadilan tanpa jeratan riba. Peraturan harus memastikan koperasi bebas dari praktik riba dan memberikan dukungan nyata bagi ekonomi rakyat. 

9. Perubahan fungsi Badan Permusyawaratan Desa seharusnya meningkatkan pengawasan anggaran desa agar kebutuhan masyarakat terpenuhi. Syariat menempatkan pengawasan publik (hisbah) sebagai kewajiban, bukan pilihan.

RUU semacam ini sebenarnya bukanlah hal baru. Hampir semua UU yang dibuat selalu diwarnai dengan pro dan kontra. Pemicu yang paling utama adalah karena perbedaan kepentingan dan sudut pandang di tengah-tengah masyarakat. Terutama dengan pihak yang terkait dalam pembuatan UU. Kepentingan politik, hawa nafsu, bisnis para pihak selalu menghasilkan ketidakadilan dan tumpang tindih, bahkan tidak sesuai dan jauh dengan nilai-nilai Islam. 

Berbagai kontreversi yang dihasilkan oleh penguasa dalam pembuatan UU sudah menjadi keniscayaan negara yang menganut sistem demokrasi sekuler ini. Sistem yang seringkali di cap baik oleh penganutnya, faktnya banyak kebijakan yang menghasilkan kesengsaraan rakyat dan menjadi pelindung bagi korporasi dan oligarki. 

Landasan yang dibangun berdasarkan asas Demokrasi sekulerisme yang memisahkan aturan agama dari politik negara. Demokrasi tidak mengenal halal haram, asasnya manfaat dan mengagungkan kebebasan berdasarkan hak asasi manusia. Hasilnya, standar kebenaran abu-abu dan bisa berubah-ubah, tergantung siapa yang berkuasa dan mendapatkan akses untuk mengotak-atik aturan. 

Maka, jangan harap dalam sistem rusak ini menghasilkan kebijakan yang adil untuk rakyat. Karena UU dan kebijakan yang dibuat sesuai dengan nafsu yang berkuasa. Inilah hakikat kedaulatan rakyat yang dipegang dan dikendalikan oleh manusia. Semua kebijakan tidak berpijak kepada syariat, maka hasilnya menyengsarakan rakyat dan melanggar syariat Islam.

Seluruh Raperda tersebut akan memberikan maslahat jika berpijak pada syariat, bukan pada kepentingan politik maupun birokrasi. Sistem Khilafah Islamiyyah menjamin:

1. Seluruh aturan berbasis syariat Islam kaffah, bukan kepentingan kelompok.

2. Penegakan hukum diawasi lembaga hisbah yang independen.

3. Pembiayaan publik melalui Baitul Mal dari harta milik umum sebagaimana diatur syariat.

4. Sistem ekonomi Islam memihak rakyat dan memberikan kesejahteraan, bukan pemilik modal.

5. Pengharaman total miras, riba, dan pungutan zalim, tanpa embel-embel. 

Kedaulatan hakiki adalah hak preogatif Allah sebagai pembuat hukum dan yang mengatur undang-undang. Manusia tidak berhak membuat hukum karna manusia makhluk yang lemah, butuh sesuatu untuk bergantung dan berubah-ubah. 
Berdasarkan firman-Nya yang artinya : “Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku berada di atas hujah yang nyata (Al-Qur’an) dari Tuhanku, sedang kamu mendustakannya. Tidak ada padaku apa (azab) yang kamu minta supaya disegerakan kedatangannya. Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik.’.” (TQS Al-An’am: 57).

Ini menjadi pilar dari pilar-pilar sistem pemerintahan Islam. Sangat jelas sekali perbedaan sistem demokrasi dengan sistem Islam. Sungguh, aturan yang sudah Allah buat adalah untuk kebaikan manusia. Sebaliknya, jika manusia jauh dari aturan syariat maka akan terbukanya berbagai kerusakan demi kerusakan yang terjadi. 

Wallahu alam bissawab. 




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar