Oleh : Gesti
“Kami bukan kuda. Kami manusia. Manusia adalah…”
Kalimat terakhir Gi-hun (Lee Jung Jae) sebelum mengorbankan diri demi menyelamatkan bayi Jun-hee (Jo Yu-ri), pemain 222, seolah menjadi simpul dari tragedi yang terus berulang: manusia dipaksa melupakan dirinya sendiri demi bertahan hidup di dunia yang tak adil.
Serial Squid Game musim ketiga kembali menampar kesadaran kita: betapa murahnya nilai nyawa manusia di mata para pemilik kuasa dan kekayaan. Tak ada lagi harga diri, tak ada lagi fitrah, tak ada lagi kemanusiaan, yang tersisa hanyalah tontonan memuakkan dari mereka yang sudah terlalu bosan dengan dunia ini, sampai membayar mahal demi menyaksikan orang saling bunuh untuk hadiah uang.
Bukan Sekadar fiksi. Dunia Nyata bahkan Lebih Absurd Lagi.
Kalau Anda pikir kisah Squid Game terlalu gelap, silakan googling tentang pesta-pesta superelit di Dubai, di mana sultan-sultan membayar wanita dengan harga fantastis untuk melakukan hal yang bahkan tak layak dituliskan di sini. Ada pula cerita soal miliarder yang menjadikan manusia sebagai “hiburan ekstrem” ya, mirip seperti Squid Game, hanya tanpa kamera Netflix.
Hal itu dilakukan bukan karena menyenangkan secara naluriah, tapi karena kekuasaan absolut atas tubuh dan martabat orang lain dianggap sebagai puncak kenikmatan. Sebuah bentuk dominasi penuh atas manusia, bahkan hingga level paling menjijikkan.
Di Squid Game, orang-orang super kaya menyaksikan kematian sebagai hiburan. Di dunia nyata, mereka memproduksi kesengsaraan melalui sistem. Mereka menyusun dunia yang membuat si miskin harus menjual kehormatannya demi selembar roti. Inilah wajah kapitalisme hari ini: ketika kebebasan tanpa batas melahirkan monster, bukan manusia.
Padahal manusia, dalam fitrahnya, diciptakan dengan kecenderungan mencintai kebaikan. Mereka benci kekerasan, cinta damai, suka memberi dan menyayangi. Tapi sistem kapitalisme membuat manusia menjauh dari fitrahnya. Kapitalisme mengajarkan bahwa kebahagiaan adalah soal kepemilikan. Punya uang? Semua bisa dibeli. Bahkan penderitaan orang lain pun bisa dibeli, asal Anda cukup kaya untuk menanggung akibat hukumnya (atau menyogok supaya tak dihukum sama sekali).
Kehidupan kapitalistik membentuk manusia yang tak lagi tahu batas. Jika yang halal tak menarik, mereka akan melirik yang haram. Jika yang haram pun membosankan, mereka akan mencari yang di luar nalar. Apa pun, asal bisa memicu dopamin sesaat. Ini bukan hanya tentang nafsu yang tak terbendung, tapi tentang sistem yang secara aktif mendidik manusia untuk lupa bahwa dunia ini sementara.
Dulu Raja Membakar Orang Beriman, Kini Uang Membakar Nurani
Tafsir surat Al-Buruj ayat 4 memberi kita cermin yang mengerikan:
Ù‚ُتِÙ„َ Ø£َصْØَÙ€ٰبُ ٱلْØ£ُØ®ْدُودِ
"Celakalah orang-orang yang membuat parit (pembunuh berantai)!"
Kisah ini adalah tentang penguasa yang membakar rakyatnya sendiri yang beriman. Kenapa? Karena keimanan itu dianggap ancaman bagi kekuasaan. Para raja dalam sejarah, dan para elite hari ini, selalu takut pada manusia yang sadar akan martabat dirinya, yang berani menolak tunduk pada aturan dzalim. Maka, kemanusiaan harus dikikis. Harapan harus dibunuh. Sistem harus mengajarkan bahwa hanya yang kaya yang berhak hidup nyaman.
Squid Game menghidangkan semua itu dalam bentuk metafora yang tajam. Tapi jangan tertipu. Ini bukan khayalan. Ini potret dunia hari ini di mana Anda harus memilih antara prinsip atau nasi, antara hidup bermartabat atau hidup tanpa harga diri.
Masihkah Kita Bisa Jadi Manusia?
Di tengah sistem yang mendorong kita untuk saling sikut demi materi, masihkah kita bisa bertahan sebagai manusia?
Sistem kapitalisme tidak mengajarkan kita untuk menahan nafsu, apalagi bersyukur. Ia hanya mengajarkan satu hal: kejar sebanyak-banyaknya, lalu beli apapun yang kau mau. Bahagia itu bisa dibeli, katanya. Tapi kenyataannya, yang kita dapat bukan bahagia, melainkan kekosongan. Jiwa yang lelah. Hati yang mati rasa.
Kapitalisme menjadikan manusia terasing dari dirinya sendiri. Ia hidup dalam dunia yang serba instan, penuh persaingan, tanpa pegangan nilai yang kuat. Maka jangan heran jika kita melihat generasi muda makin nihil tujuan, makin gampang stres, makin rentan kehilangan jati diri. Sebab sistem ini memang tidak dirancang untuk membentuk manusia seutuhnya. Ia hanya mencetak konsumen yang patuh, bukan insan yang utuh.
Dan Mengapa Semua ini Terjadi?
Karena sistem kapitalisme tidak punya kendali moral. Ia tidak peduli halal-haram, tidak peduli dosa-pahala. Satu-satunya pertimbangan adalah untung-rugi. Tak ada rambu, tak ada sakralitas dalam hidup. Uang adalah Tuhan baru, dan siapa pun yang berani menyembah selainnya, akan disingkirkan secara perlahan, entah lewat kemiskinan, kelaparan, atau kelumpuhan sosial.
Kapitalisme bukan hanya sistem ekonomi. Ia adalah cara berpikir yang merasuk ke dalam sel-sel kehidupan. Ia mengajarkan bahwa menahan diri itu bodoh, bahwa memberi itu rugi, bahwa menyakiti demi keuntungan itu sah-sah saja.
Padahal dalam Islam, semua ada batasnya. Nafsu harus dikendalikan. Uang bukan tujuan, melainkan amanah. Kemenangan sejati bukan tentang siapa yang bertahan di permainan dunia, tapi siapa yang membawa selamat imannya sampai akhir.
Dalam dunia kapitalisme, manusia dipaksa menjadi kuda pacu, terus berlari mengejar mimpi yang tak pernah nyata. Tapi Gi-hun mengingatkan kita di akhir episode: “Kami bukan kuda. Kami manusia.”
Kalau kamu suka hidup sebagai manusia, bukan kuda, maka ini waktunya menolak tunduk pada sistem yang menjadikan kita sekadar pion di papan permainan.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar