Oleh : Lisa Ariani (Aktivis Dakwah)
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat persentase penduduk miskin pada Maret 2025 menurun 0,10 persen terhadap September 2024. Jumlah penduduk miskin pada Maret 2025 sebanyak 23,85 juta orang, berkurang sebanyak 210.000 orang pada periode yang sama. Meski secara keseluruhan angka kemiskinan mengalami penurunan namun BPS menyebut bahwa angka kemiskinan di daerah mengalami peningkatan. Angka penduduk miskin di daerah perkotaan bertambah sejumlah 220.000 orang.
Beberapa pengamat ekonomi meragukan data BPS tersebut, salah satunya Direktur INDEF, Esther Sri Astuti. “kok saya sangsi ya dengan penurunan (angka kemiskinan). Tapi, kalau toh itu menurun mungkin metode pengukuran kemiskinannya itu kan juga masih pakai garis kemiskinan yang lama.” Kata Esther.
Garis kemiskinan Rp609.160 per kapita per bulan terlalu rendah. Perbedaannya terlalu jauh dengan upah minimum di tiap Provinsi (UMP), menurut Esther. (BBC News Indonesia)
Suatu hal yang memang meragukan. BPS mengklaim angka kemiskinan di tengah maraknya PHK yang membuat masyarakat tidak punya penghasilan. Ditambah lagi harga kebutuhan yang terus meroket. Selain itu perbedaan standar yang digunakan antara BPS dengan Bank Dunia dalam menghitung angka kemiskinan juga tak jarang membuat kebingungan. Standar kemiskinan yang digunakan oleh BPS dinilai masih terlalu rendah dan masih mengadopsi PPP (Purchasing Power Parity) 2017 sebagai acuan tingkat kemiskinan ekstrem nasional yakni USD2,15 atau setara Rp20.000 per hari. Ini menunjukkan manipulasi statistik untuk menunjukkan progres semu. Karena tak bisa menggambarkan realitas. Seringkali angka kemiskinan dijadikan ajang “pencitraan” oleh pemimpin baik di pusat maupun daerah untuk memperlihatkan kepada publik bahwa pemimpin tersebut adalah pemimpin yang sukses karena berhasil menurunkan angka kemiskinan. Sebaliknya pemimpin akan dianggap gagal ketika tidak bisa menurunkan angka kemiskinan di daerahnya. Hal ini tidak terlepas dari sistem ekonomi kapitalisme yang lebih peduli dengan citra ekonomi daripada realitas penderitaan rakyat.
Sungguh ironi, negeri kaya dengan sumber daya alam terkenal dengan slogan “gemah ripah loh jinawi” namun ternyata rakyatnya masih banyak berada di bawah garis kemiskinan, jelas ini menunjukkan absennya penguasa dalam mencukupi kebutuhan rakyatnya. Dan hal ini juga tidak terlepas dari sistem ekonomi kapitalisme yang diberlakukan di negeri ini. Sistem ekonomi kapitalisme telah membuat jurang yang lebar antara si kaya dengan si miskin melalui konsep kebebasan kepemilikannya yang membolehkan individu atau swasta untuk menguasai sumber daya alam (SDA) seperti air, tambang, hutan,laut dan lain-lain yang seharusnya milik umum menjadi di privatisasi. Alhasil, hasilnya pun hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang yang mempunyai modal. Dan pada akhirnya menjadikan kekayaan hanya menumpuk pada segelintir elite. Sedangkan negara hanya mendapatkan remah-remahnya saja.
Negara dalam sistem kapitalisme hanya menjadi regulator yang tak jarang kebijakan yang diambilnya hanya menguntungkan oligarki. Sementara itu akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan yang layak juga semakin sulit dan mahal. Negara seolah-olah tak sepenuh hati dalam melayani rakyatnya. Negara layaknya pedagang, sedangkan rakyat adalah pembelinya, negara menyediakan fasilitas namun rakyat dibebani dengan biaya mahal jika ingin pelayanan yang berkualitas.
Solusi yang ditawarkan pun sering tak menyentuh akar masalah. Penanggulangan kemiskinan tak cukup hanya dengan pemberian bantuan sosial melainkan butuh jaminan sosial. Lebih dari itu rakyat butuh jaminan politik shahih yang mengurus urusan mereka, baik pada level individu, masyarakat dan negara. dan jaminan itu hanya ada pada sistem pemerintahan Islam (khilafah).
Dengan akidah Islam sebagai landasan kepemimpinan dan peraturan kehidupan, Khilafah akan menempatkan dirinya sebagai pengurus rakyat (ra’in). Khilafah akan menerapkan sistem ekonomi Islam, memastikan distribusi harta dilakukan secara adil dan merata. Tidak akan membiarkan SDA milik umum di privatisasi. Semua SDA yang terkategori kepemilikan umum akan dikelola oleh negara dan hasilnya diperuntukkan untuk keperluan rakyat dan negara.
Adapun sumber penerimaan negara khilafah tidak hanya berasal dari hasil pengelolaan sumber daya alam melainkan bersumber dari beberapa pos penerimaan di antaranya zakat (dipungut hanya kepada warga negara muslim), jizyah, fai, Ghanimah, kharaj. Setiap penerimaan negara ini di simpan baitul mal untuk kemudian digunakan sepenuhnya untuk memenuhi kebutuhan rakyat dan negara. Khilafah akan menyalurkannya dalam bentuk penyediaan layanan pendidikan, kesehatan, keamanan secara gratis dan akses yang mudah bagi setiap golongan masyarakat. Mengingat pemenuhan ketiga layanan tersebut membutuhkan biaya yang mahal dan seringkali menimbulkan diskriminasi ketika pemenuhan layanan tersebut diserahkan kepada pihak swasta seperti pada sistem ekonomi kapitalisme hari ini. Mekanisme inilah yang disebut mekanisme langsung jaminan kesejahteraan dalam sistem ekonomi Islam.
Adapun mekanisme tidak langsung, khilafah akan membuka lapangan kerja seluas-luasnya dan memberikan berbagai pelatihan kerja bagi para laki-laki untuk meningkatkan skill mereka dalam mencari nafkah bagi keluarganya. Pada saat yang sama Islam telah mengatur hukum bekerja bagi perempuan adalah mubah. Perempuan bisa memilih untuk berkerja atau tidak bekerja. Syariat Islam telah mengatur jalur nafkah bagi perempuan. Yang apabila ternyata tidak ada yang mampu menafkahi perempuan dari jalur nafkah keluarganya maka negara yang akan menjamin nafkah seorang perempuan.
Selain itu khilafah juga tidak akan mengukur angka kemiskinan dengan angka PPP buatan lembaga internasional. Melainkan akan memastikan apakah kebutuhan pokok setiap individu terpenuhi secara layak atau tidak setiap harinya. Sebagaimana kisah kisah khalifah Umar bin Khattab yang setiap malam berpatroli ke pemukiman-pemukiman rakyatnya untuk memastikan apakah rakyatnya pada hari itu terpenuhi kebutuhan hidupnya.
Dan pada akhirnya, pengentasan kemiskinan hanya akan bisa diwujudkan dengan sistem Islam melalui tegaknya khilafah. Rakyat akan merasakan kesejahteran dan perlindungan bukan hanya untuk muslim melainkan juga non muslim. Tidak ada satu masa (perabadan) yang mampu menandingi kesejahteraan yang pernah terjadi pada masa Islam. Sebagaimana kisah khalifah Umar bin Abdul Aziz yang kesulitan untuk menyalurkan zakat karena tidak adanya rakyat yang tergolong sebagai mustahiq zakat. Maasyaallah.Wallohu’alam
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar