Oleh: Imas Royani, S.Pd.
Banyak yang menilai hasil kesepakatan dagang antara Indonesia dan Amerika Serikat (AS) terkait tarif resiprokal cenderung merugikan posisi Indonesia dalam jangka panjang. Dalam kesepakatan tersebut, produk ekspor Indonesia ke AS dikenakan tarif impor sebesar 19 persen. Sebaliknya, produk asal AS yang masuk ke Indonesia dibebaskan dari bea masuk alias 0 persen.
Memang sejumlah produk ekspor utama Indonesia seperti alas kaki, pakaian jadi, minyak kelapa sawit (CPO), dan karet diuntungkan karena tarifnya turun dari 32 persen menjadi 19 persen. Namun keuntungan itu tidak sebanding dengan potensi lonjakan impor dari AS ke Indonesia. Dengan pembebasan tarif untuk produk AS, maka barang-barang seperti minyak dan gas bumi (migas), elektronik, suku cadang pesawat, serealia seperti gandum, dan produk farmasi akan membanjiri pasar domestik.
Sepanjang 2024, total impor lima komoditas utama dari AS ini mencapai USD 5,37 miliar atau setara Rp87,3 triliun. Jumlah itu bisa meningkat signifikan pasca kebijakan tarif 0 persen. Dampak dari kesepakatan tersebut terhadap ketahanan pangan nasional akan mengganggu target swasembada pangan, terutama karena penetrasi produk pangan AS seperti gandum semakin besar akibat bebas tarif.
Lalu apa yang didapatkan rakyat? Lagi-lagi hanya menjadi penonton, itu masih lebih baik daripada menjadi korban. Sayangnya kita tidak akan selamanya jadi penonton karena, sebentar lagi kita harus rela jadi korban jika kita tetap seperti ini. Bukankah kita ini "macan Asia"? Apakah sebutan itu berarti kita tangguh yang bisa menjaga hutan_Indonesia_ dari berbagai gangguan dalam dan luar? Atau malah berarti kita adalah buruan para pemburu_penjajah/investor?
Kesepakatan ini menyimpan sejumlah risiko jangka menengah hingga panjang bagi kondisi perekonomian. Bayangkan saja, produk Indonesia tetap dikenakan tarif oleh AS, sementara produk asal AS bisa masuk ke Indonesia tanpa hambatan tarif sama sekali. Situasi ini tentu akan memunculkan disparitas perdagangan dan stabilitas fiskal. Dampak lanjutannya, kesepakatan ini berisiko melemahkan berbagai sektor, terutama sektor manufaktur yang selama ini merupakan sektor padat karya, alias penyerap tenaga kerja yang sangat besar.
Meskipun keukeuh Presiden Prabowo menyebut hal ini sebagai bentuk kerjasama, tapi anak kecil juga akan mengatakan itu bukan kerjasama layaknya sahabat. Itu adalah bentuk penindasan. Indonesia harus bayar tarif ke AS, sementara AS dibebaskan. Belum lagi tambahan kewajiban lain. Apakah tidak paham matematika? Bahkan anak kecil pun tahu itu. Apakah ini layak disebut hebat?
Ini semua akibat cengkraman sistem kapitalisme. Penguasa lebih ketakutan kehilangan jabatan daripada takut kepada Allah SWT. akan permintaan pertanggungjawaban kepemimpinannya kelak di akhirat. Mereka terus menerus mengorbankan rakyatnya sendiri demi kepuasan dan popularitas. Hanya "omon-omon"!
Jika saja Indonesia mau melawan dengan membalas pasang tarif kepada AS, tentu hal itu tidak akan merugikan bahkan sangat menguntungkan. Secara Indonesia adalah tanah surga, dimana tongkat kayu dan batu saja bisa jadi tanaman. Tidak perlu menunggu impor hasil pertanian dari AS. Untuk apa juga membeli Boeing toh yang ada juga hanya teronggok di gudang!
Jika saja Indonesia mau berpikir cerdas, mengganti sistem Kapitalisme dengan sistem Islam tentu kesejahteraan akan tercapai. Bukan hanya akan menjadi macan Asia, tapi pelindung dunia! Allah Swt. sejatinya telah memberi predikat umat Islam sebagai khairu ummah, yakni umat terbaik yang diturunkan di antara manusia.
Allah SWT. berfirman:
كُنْتُمْ خَيْرَ اُمَّةٍ اُخْرِجَتْ لِلنَّا سِ تَأْمُرُوْنَ بِا لْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُوْنَ بِا للّٰه
"Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah." (QS. Ali 'Imran: 110).
Hanya orang-orang munafik lah yang gentar menghadapi berbagai bentuk penjajahan termasuk penjajahan ekonomi melalui tarif Resiprokal yang dilakukan AS terhadap Indonesia dan negara lainnya.
Allah SWT. berfirman,
وَلِلّٰهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُوْلِهٖ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَلٰـكِنَّ الْمُنٰفِقِيْنَ لَا يَعْلَمُوْنَ
"Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, Rasul-Nya, dan bagi orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tidak mengetahui." (QS. Al-Munafiqun: 8).
Kehadiran Islam sebagai ideologi justru sangat ditakuti musuh-musuh Islam karena akan menjadi ancaman bagi eksistensi ideologi kapitalisme global pada masa depan. Oleh karena itulah, mereka terus berupaya untuk mengamuflase ajaran Islam.
Kebijakan tarif yang diterapkan AS hanya satu dari sekian banyak kebijakan destruktif yang diproduksi sistem kapitalisme global. Kebijakan seperti ini hanya mungkin dilawan oleh umat Islam. Syaratnya mereka mau bersatu di bawah naungan Khilafah yang menerapkan syariat Islam kaffah sebagai satu-satunya kunci kebangkitan dan ideologi penebar rahmat bagi seluruh alam.
Dan sebagai warga negara Indonesia yang baik, langkah pertama yang bisa kita lakukan sekarang adalah mengkaji Islam kaffah bersama kelompok dakwah Islam ideologis dan mendakwahkannya di tengah-tengah masyarakat. Mari bersama-sama kita melakukannya, tanpa nanti tanpa tapi. Allahu Akbar!
Wallahu'alam bishshawab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar