Oleh : Ulianafia (Pemerhati Keluarga dan Politik)
Menjelang peringatan Hari Kemerdekaan, euforia menyelimuti berbagai pelosok negeri. Perlombaan digelar, karnaval disiapkan, pasukan pengibar bendera berlatih setiap hari, dan berbagai pernak-pernik merah putih menghiasi jalanan. Namun di balik gegap gempita itu, terselip ironi yang menyayat hati. Banyak warga harus membayar iuran—sering kali secara terpaksa—dengan nominal yang memberatkan. Semua demi “memeriahkan” kemerdekaan, meski sebagian rakyat justru tengah berjuang keras mempertahankan ekonomi keluarga.
Ironi ini kian terasa ketika kita melihat kenyataan pahit yang membayangi rakyat: gelombang PHK massal yang menimpa puluhan ribu pekerja, kenaikan pajak, lonjakan harga kebutuhan pokok, mahalnya biaya kesehatan dan pendidikan, hingga maraknya korupsi di kalangan penguasa. Di tengah kondisi seperti ini, rakyat dipaksa untuk bersorak gembira, sementara kehidupan mereka perlahan terhimpit.
Fakta ini menunjukkan bahwa kemerdekaan sejati belum benar-benar hadir di negeri ini. Rakyat masih menjadi tumpuan—bahkan tumbal—bagi “kemerdekaan” versi penguasa. Kemerdekaan didefinisikan sebatas hilangnya penjajahan fisik dan adanya kemegahan pembangunan, sementara kesejahteraan rakyat terabaikan.
Akar masalahnya terletak pada sistem yang diterapkan: kapitalisme sekuler demokratis. Kapitalisme memandang kemajuan hanya dari ukuran materi—gedung-gedung tinggi, jalan tol, pelabuhan megah—tanpa mempedulikan pemerataan kesejahteraan. Demokrasi memberi ruang bagi pemilik modal untuk menguasai sumber daya alam yang seharusnya menjadi milik rakyat. Emas, nikel, minyak bumi, hutan, laut, bahkan air—semuanya dapat dikuasai oleh segelintir kapitalis, sementara rakyat kehilangan haknya.
Sekularisme, yang memisahkan agama dari kehidupan, menjadikan hukum dan aturan hanya buatan manusia. Konsekuensinya, tidak ada sanksi yang benar-benar mampu mencegah kezaliman, karena standar hukum hanya berdasarkan kesepakatan elite, bukan pada aturan Sang Pencipta.
Berbeda halnya dengan kemerdekaan hakiki dalam Islam. Dalam pandangan Islam, kemerdekaan sejati adalah ketika manusia hanya tunduk dan menyembah Allah semata, bukan kepada sesama manusia. Sistem Islam menempatkan syariat Allah sebagai satu-satunya sumber aturan dalam seluruh aspek kehidupan—politik, ekonomi, sosial, pendidikan, dan lain-lain.
Dalam ekonomi Islam, sumber daya alam adalah milik umum yang dikelola negara untuk kepentingan seluruh rakyat, bukan diserahkan pada swasta atau kapitalis. Layanan kesehatan dan pendidikan diberikan gratis sebagai hak rakyat, bukan komoditas bisnis. Penguasa dalam Islam tidak membuat hukum sesuai hawa nafsunya, melainkan menjalankan hukum Allah yang telah sempurna dan adil.
Sebagaimana sejarah telah mencatatnya, bagaimana kesejahteraan dan kejayaan hidup dalam naungan sistem Islam. Gustave Le Bon (Ilmuwan & sejarawan Prancis, Kristen) dalam La Civilisation des Arabes, ia mengakui, "Kaum Muslim telah memberikan kepada kita warisan ilmu pengetahuan yang amat berharga, dan mereka mengajarkan kepada kita peradaban yang tidak pernah kita kenal sebelumnya. Keadilan pemerintahan mereka membuat rakyat hidup dalam keamanan dan kesejahteraan."
Kemerdekaan yang demikianlah yang akan menghapus ketimpangan, menegakkan keadilan, dan benar-benar menyejahterakan rakyat. Selama sistem kapitalisme sekuler demokratis masih menjadi fondasi negeri ini, rakyat akan terus menjadi korban dari “kemerdekaan” yang semu. Maka, sudah saatnya kita kembali pada sistem yang datang dari Sang Pencipta—sistem yang memerdekakan manusia dari penghambaan kepada manusia, menuju penghambaan hanya kepada Allah. Wallahu'alam
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar