Oleh : Sophia Halima Ismi
Sejak serangan 7 Oktober 2023, dunia menyaksikan babak paling brutal dari genosida Zionis terhadap rakyat Gaza. Serangan demi serangan yang digencarkan oleh Israel telah menewaskan lebih dari 60.000 jiwa, termasuk sedikitnya 18.000 anak-anak. Angka yang tak lagi mencerminkan hanya sekadar "perang", melainkan sebuah operasi pemusnahan sistematis terhadap bangsa yang tidak bersenjata. Namun di tengah penderitaan luar biasa tersebut, dunia justru menyaksikan sebuah ironi pahit: negara-negara Arab dan Muslim, alih-alih membela, malah mendesak Hamas untuk melucuti senjata dan menyerahkan kekuasaan Gaza kepada Otoritas Palestina (PA).
Negara Arab Tekan Hamas: Bentuk Pengkhianatan Terang-Terangan
Untuk pertama kalinya sejak awal pendudukan Israel di tanah Palestina, negara-negara seperti Arab Saudi, Mesir, dan Qatar terang-terangan meminta Hamas menyerahkan kendali Gaza kepada PA. Langkah ini dikemas dengan dalih “normalisasi dan stabilitas”, padahal secara de facto justru melemahkan perlawanan terhadap pendudukan Zionis. Hamas, sebagai simbol perlawanan rakyat Palestina terhadap penjajahan, justru ditekan untuk menyerah di saat Zionis tengah melanjutkan genosida dan pelaparan massal terhadap warga sipil.
Desakan ini terjadi di tengah laporan yang menguatkan dugaan bahwa serangan 7 Oktober sengaja dibiarkan oleh Israel agar menjadi justifikasi untuk meluncurkan invasi besar-besaran ke Gaza. Sebuah laporan investigatif mengungkap bahwa badan intelijen Israel dan militer sudah menerima peringatan dini, namun secara sistematis membiarkan celah terjadi demi memanfaatkan tragedi ini sebagai alat legitimasi penjajahan lebih dalam.
Genosida Terbuka: Dunia Hanya Bisa Menyaksikan
Sejak Oktober 2023 hingga Agustus 2025, jumlah korban tewas akibat agresi Israel telah melampaui 60.000 jiwa. Serangan brutal ini tidak hanya menghantam infrastruktur sipil seperti rumah sakit, sekolah, dan tempat ibadah, namun juga memutus akses logistik kemanusiaan. Wabah kelaparan sengaja diciptakan, sebagai alat senjata baru untuk mempercepat penghancuran populasi. Data dari MetroTV mencatat, 18.000 anak-anak tercatat meninggal dunia dalam periode tersebut, sebuah angka yang menggambarkan eskalasi kekejaman ke tingkat yang tidak lagi bisa disangkal sebagai kejahatan perang dan genosida.
Namun dunia internasional seolah kehilangan sensitivitas nurani. Mesir, yang berbatasan langsung dengan Gaza, justru berperan dalam membatasi bantuan kemanusiaan. Bahkan, rezim Mesir dilaporkan menekan Imam Besar Al Azhar agar mencabut pernyataan kerasnya yang mengecam Israel sebagai dalang kelaparan di Gaza. Sebuah bentuk represi terhadap suara kebenaran, yang hanya bisa terjadi bila rezim-rezim ini telah kehilangan keberpihakan pada Islam dan umatnya.
Dunia Mulai Sadar, Tapi Masih Canggung
Meskipun demikian, kebiadaban Israel mulai membuka mata sebagian dunia. Beberapa negara, termasuk Prancis, telah menyatakan pengakuan resmi terhadap Negara Palestina. Ini menandai perubahan arah politik internasional, meski masih bersifat simbolik dan tidak disertai tindakan nyata menghentikan agresi Israel. Langkah ini bukan karena tekanan negara-negara Muslim, melainkan karena keterbukaan informasi dan opini publik dunia yang mulai membelot dari narasi Israel.
Namun sayangnya, momentum ini tidak diikuti oleh negara-negara Muslim. Justru mereka bersikap seolah tidak memiliki keterikatan apapun terhadap penderitaan rakyat Gaza. Padahal Islam telah menetapkan ikatan ukhuwah Islamiyah sebagai dasar hubungan antara sesama muslim. Firman Allah SWT: “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara...” (QS Al-Hujurat: 10)
Namun ikatan ini seperti diputus oleh para penguasa Muslim saat ini. Jabatan, kekuasaan, dan kemapanan duniawi telah membutakan mata mereka dari tanggung jawab akidah. Bukannya bersatu dalam menghadapi musuh bersama, mereka justru menjadi alat legalisasi dan pelestarian kekuasaan Zionis di tanah kaum muslimin.
Kemuliaan Umat: Terhapus oleh Kekuasaan Boneka
Dahulu, dunia menyaksikan bagaimana satu teriakan wanita Muslimah yang dilecehkan di Amuriyah cukup untuk menggerakkan pasukan Khalifah Al-Mu’tashim hingga menumbangkan kekuasaan Romawi Timur. Sultan Abdul Hamid II pun menolak mentah-mentah tawaran Zionis yang ingin membeli tanah Palestina dengan harga fantastis. Bagi mereka, tanah kaum Muslimin bukan komoditas, melainkan amanah dari Allah yang harus dijaga dengan darah dan jiwa.
Kontras dengan kondisi saat ini, di mana penguasa-penguasa negeri Muslim malah berlomba-lomba menormalisasi hubungan dengan Israel. Bahkan menyerukan kepada pihak muqawamah (perlawanan) untuk menyerah, agar 'perdamaian' dapat diwujudkan. Padahal, perdamaian di bawah penindasan dan penjajahan bukanlah perdamaian, melainkan penundukan yang hina.
Umat Islam Umat Terbaik, Tapi Harus Diperjuangkan
Allah SWT telah menjadikan umat Islam sebagai umat terbaik: “Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia...” (QS Ali Imran: 110)
Namun status ini tidak otomatis. Ia harus diperjuangkan, ditegakkan dengan iman, amal, dan perjuangan politik yang hakiki. Kemuliaan umat hanya akan kembali jika syariat Islam ditegakkan secara menyeluruh dalam kehidupan, bukan hanya di mimbar dan ceramah. Janji Allah tentang tegaknya kekuasaan Islam disebutkan dalam QS An-Nur ayat 55: “Allah telah menjanjikan kepada orang-orang di antara kalian yang beriman dan beramal saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi…”
Namun janji ini punya syarat: iman, amal shalih, dan perjuangan yang menapaki jalan Nabi. Maka perjuangan pembebasan Palestina tidak cukup hanya dengan bantuan kemanusiaan, apalagi desakan diplomatik. Ia harus menjadi agenda besar kebangkitan umat melalui penerapan Islam secara totalitas (kaffah).
Jalan Perjuangan: Dakwah Ideologis Menuju Khilafah
Momentum tragedi Gaza harus menjadi pemantik kebangkitan umat Islam secara global. Kesadaran umat harus diarahkan bukan sekadar pada belas kasihan, tetapi pada solusi hakiki: tegaknya Khilafah dan pelaksanaan jihad fi sabilillah. Umat membutuhkan kepemimpinan ideologis yang tidak tunduk pada kekuasaan kapitalisme global. Sebuah jamaah dakwah ideologis yang menapak jalan dakwah Rasulullah SAW dalam membangun perubahan dari akar.
Dakwah ideologis tidak sekadar menyuarakan kebenaran, tapi juga membangun kesadaran politik Islam di tengah umat. Ia menolak kompromi dengan sistem kufur dan menanamkan kepercayaan penuh pada janji Allah dan metode Rasulullah. Jamaah seperti ini menjadi harapan agar umat bisa kembali dipimpin oleh pemimpin yang berani, bukan pengecut dan pecinta dunia.
Jihad: Solusi Strategis untuk Membebaskan Palestina
Perjuangan pembebasan Palestina tidak bisa dilepaskan dari jihad sebagai solusi militer. Bukan jihad personal yang bersifat defensif, melainkan jihad sebagai instrumen negara Islam (Khilafah) yang menyerang secara ofensif untuk menghancurkan eksistensi entitas penjajah. Ini yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, para sahabat, dan Khalifah setelahnya ketika menghadapi Romawi dan Persia.
Tanpa Khilafah, jihad akan selalu dituding terorisme dan dikriminalisasi oleh hukum internasional. Maka Khilafah dan jihad adalah dua entitas yang saling menguatkan dalam strategi pembebasan Palestina. Inilah solusi yang ditakuti Zionis dan negara-negara pendukungnya, karena mereka tahu kekuatan umat Islam sesungguhnya ada pada ideologinya, bukan pada senjata semata.
Saatnya Umat Bergerak
Genosida Gaza adalah aib dunia, namun lebih dari itu adalah tamparan keras bagi umat Islam yang masih diam. Umat ini bukan lemah karena jumlah, tetapi karena kehilangan arah dan kepemimpinan. Maka saatnya umat bangkit. Tidak cukup sekadar bersedih, berdoa, atau berdonasi. Kita harus menjadikan momentum ini untuk membangun kekuatan politik Islam yang hakiki.
Umat harus mencampakkan sistem kapitalisme, nasionalisme sempit, dan loyalitas palsu pada batas negara buatan penjajah. Umat harus kembali mengikat diri pada ukhuwah Islamiyah global dan memperjuangkan sistem Khilafah yang akan menyerukan jihad untuk membebaskan Palestina secara total.
Dengan rahmat Allah, kemenangan bukanlah sesuatu yang mustahil. Asalkan umat menapaki jalan dakwah Rasulullah secara sungguh-sungguh. Karena sesungguhnya, kemuliaan Islam bukan kenangan masa lalu—tetapi janji yang pasti akan ditepati.
“Jika kalian menolong agama Allah, niscaya Dia akan menolong kalian dan meneguhkan kedudukan kalian.” (QS Muhammad: 7)
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar