Agar HAN tak Hanya Hebat di Tema


Oleh: Imas Royani, S.Pd.

Masih seperti tahun-tahun yang lalu, peringatan Hari Anak Nasional (HAN) baru sekedar seremonial. Setiap tahun yang terus diperbarui baru pada tahap tema utama perayaan HAN. Dan pada tahun ini pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), telah merilis tema utama “Anak Hebat, Indonesia Kuat Menuju Indonesia Emas 2045”. Selain itu, ada beberapa subtema berkelanjutan untuk HAN 2025, yaitu bebas stunting, pendidikan inklusif, perlindungan anak dari kekerasan, perkawinan anak, dan anak cerdas digital: aman dan positif di dunia maya. (IDN Times, 16-7-2025).

Setiap tahun yang diperbaiki adalah cara memperingatinya, tahun ini pemerintah mewajibkan seluruh satuan pendidikan untuk melaksanakan kegiatan "Pagi Ceria" secara serentak dari Sabang sampai Merauke, yang diantaranya senam "Anak Indonesia Hebat" dan kegiatan ceria lainnya. Diharapkan agar anak Indonesia selalu ceria dalam menyongsong masa depan.

Hebat! Apanya? temanya, ups! Seharusnya yang dicari bukan tema yang bagus, bukan kegiatan yang hanya bisa membuat mereka ceria sejenak. Tapi akan lebih bijak jika yang dicari adalah jawaban dari pertanyaan, bagaimana agar anak selalu ceria? Apa yang menyebabkan anak tidak bisa ceria setiap saat?

Apakah stunting? Apakah dengan MBG tersolusikan? Nyatanya hingga saat ini program tersebut belum rata dirasakan apalagi oleh anak yang ada di pelosok. Lagi pula stunting tidak dapat diselesaikan hanya dengan pemberian satu kali makan sehari sebab rata-rata durasiakan adalah 3x1 bahkan bisa 5x1 jika ditambah dengan cemilan. Apalagi anak-anak dalam masa pertumbuhan akan gampang merasa lapar sebab kegiatan mereka banyak.

Sistem penerimaan murid baru (SPMB) membuat banyak anak yang tidak bisa masuk sekolah negeri karena domisili yang jauh. Belum lagi persoalan kualitas pendidikan. Kebijakan 50 siswa satu kelas di Jabar—yang diklaim akan menurunkan angka putus sekolah—ternyata berdampak pada penurunan kualitas pembelajaran. Dengan 50 siswa, bagaimana guru akan mampu memantau perkembangan setiap siswa dengan baik? Padahal, sekolah bukan sekadar transfer ilmu, tetapi juga pembentukan karakter dan budi pekerti. Bisa kita prediksikan bagaimana produk sistem pendidikan kita pada masa mendatang. Angka bullying di sekolah, tawuran, dan pergaulan bebas, kemungkinan besar juga akan meningkat.

Belum lagi masalah anak putus sekolah. Berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk Indonesia yang berusia 0-17 tahun pada 2024 mencapai 79,48 juta jiwa. Jumlah populasi anak Indonesia tersebut sekitar 29,15 persen dari total penduduk. Statistik Pendidikan 2024 yang disusun BPS menunjukkan, anak tidak sekolah pada usia 7-12 tahun sebesar 0,67 persen.

Sementara itu, anak usia 13-15 tahun yang tidak bersekolah mencapai 6,37 persen. Proporsi anak tidak sekolah paling banyak berada di kelompok usia 16-18 tahun, yakni mencapai 19,20 persen. Data tersebut menunjukkan fenomena bahwa persentase anak tidak sekolah semakin besar seiring dengan semakin tua kelompok usia anak.

Faktor ekonomi merupakan penyebab dominan anak tidak sekolah. Biaya sekolah masih dirasa mahal sehingga tidak terjangkau kalangan kurang mampu. Akibatnya, anak memilih untuk bekerja dibandingkan dengan sekolah, terutama pada kelompok usia pelajar sekolah menengah atas.

Data BPS menunjukkan, persentase pekerja anak per Februari 2022 tercatat mencapai 8,49 persen. Artinya, terdapat sekitar delapan dari 100 anak usia 10-17 tahun yang bekerja. Kemudian, situasi pada 2024 terdapat 1,27 juta anak menjadi pekerja anak. Jumlah ini meningkat dari 1,01 juta anak pada 2023. Dilihat secara mendetail berdasarkan tempat tinggalnya, pada tahun 2024 pekerja anak lebih banyak berada di wilayah perdesaan dibanding dengan di perkotaan.

Selain faktor ekonomi, penyebab lain anak tidak sekolah ialah pernikahan dini. Merujuk pada data BPS sepanjang 2015-2023, rerata angka perkawinan usia anak mencapai 10,5 persen. Kebanyakan dari mereka mengajukan dispensasi nikah karena telah hamil duluan akibat pergaulan bebas. Berdasarkan data Unicef 2023, peringkat Indonesia menempati urutan ke-4 di dunia dengan estimasi jumlah anak perempuan yang dinikahkan mencapai 25,53 juta jiwa. Angka tersebut sekaligus menobatkan Indonesia sebagai negara di kawasan ASEAN yang memiliki kasus perkawinan anak terbesar.

Itu yang menikah! Sebab pada faktanya saat ini banyak anak-anak menjadi pekerja seks online & offline. Bahkan ada diantaranya pada usia belia sudah menjadi mucikari dan menjajakan teman sebayanya melalui media sosial.

Tidak terpenuhinya hak-hak anak juga membuat mereka rentan melanggar hukum. Kasus anak yang berkonflik dengan hukum, menurut data dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, menunjukkan tren peningkatan pada periode 2020 hingga 2023.

Per 26 Agustus 2023, tercatat hampir 2.000 anak berkonflik dengan hukum. Sebanyak 1.467 anak di antaranya berstatus tahanan dan masih menjalani proses peradilan. Sementara ada 526 anak yang sudah didakwa dan menjalani hukuman sebagai narapidana.

Mirisnya, dari rekap data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), didapati bahwa tindak kekerasan fisik dan kekerasan seksual adalah dua jenis tindak kriminal yang paling banyak dilakukan oleh anak. Pada 2020, proporsi tindak kekerasan fisik mencakup 29,2 persen dari total tindak pidana, sementara kekerasan seksual berada di angka 22,1 persen. Pada 2023, KPAI menerima 42 pengaduan anak berkonflik dengan hukum. Itu belum termasuk kasus bullying.

Bukan tidak ada upaya, hanya saja solusi yang dipakai sampai saat ini hanya bersifat parsial. Salah satu arah kebijakan dan strategi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 yang dibuat pemerintah adalah meningkatkan kualitas anak. Anak akan bertumbuh dan berkembang dengan kualitas yang baik jika terlindungi dan segala haknya terpenuhi.

Sayangnya kesuksesan program tersebut baru pada tahap laporan capaian Indeks Perlindungan Anak (IPA). Secara nasional, capaian nilai IPA selama tiga tahun bergerak dari 62,72, kemudian 66,26, dan menjadi 66,89. Capaian pada tahun 2020 ini bahkan telah melampaui target sebesar 66,34. Meski demikian, upaya pemenuhan hak anak masih menghadapi tantangan dari aspek Indeks Perlindungan Khusus Anak (IPKA), terutama terkait dengan perlindungan anak terhadap kemiskinan, kekerasan, anak dengan disabilitas, dan fenomena anak bekerja. 

Jika hal ini terus dibiarkan dan penanganan tetap seperti itu, akan dapat dipastikan keadaan anak-anak Indonesia pada tahun-tahun mendatang akan lebih buruk dari sekarang. Terkecuali jika pemerintah dan rakyat Indonesia mau berpikir cerdas bahwa semua ketimpangan yang terjadi pada anak khususnya dan pada seluruh lapisan masyarakat pada umumnya juga terhadap para penguasanya adalah akibat penerapan sistem sekularisme kapitalis.

Sekularisasi dan sekularisme sungguh marak di tengah keluarga. Liberalisasi akidah justru berasal dari kalangan keluarga sendiri. Kasus kekerasan terhadap anak sering kali dilakukan oleh anggota keluarganya sendiri. Pengabaian hak nafkah dan hak hidup anak juga tersebab oleh orang dekat mereka.

Secuil potret buram keluarga ini tidak bisa dimungkiri merupakan wujud makin jauhnya mayoritas keluarga muslim di Indonesia dari aturan agamanya sendiri, yakni Islam. Meski pendidikan berbasis akidah Islam begitu vital di tengah keluarga, hal ini tidak lantas membuat faktor lain kita lupakan.

Ini semua karena posisi keluarga tidak bisa berdiri sendiri. Keluarga hanyalah unit terkecil kehidupan seorang manusia yang sejatinya terkait erat dengan berbagai faktor lain di luar sana. Namun, ketika peran keluarga lemah, padahal keluarga adalah benteng terakhir dan semestinya teraman bagi kehidupan anak, peluang terampasnya hak anak juga makin besar.

Selain keluarga, ada sistem pendidikan yang punya peran vital dalam menunaikan hak anak. Namun, profil sistem pendidikan saat ini sudah sangat menyedihkan akibat komersialisasi dan kapitalisasi. Akibatnya, pendidikan pun beralih fungsi dari pencerdasan menjadi pembodohan generasi. Sengkarutnya sistem ekonomi di negeri ini tidak perlu diragukan lagi. Disparitas ekonomi terwujud nyata antara si miskin dan si kaya. 

Berbeda dengan sistem Islam. Islam memandang penting keberadaan anak karena mereka adalah generasi unggul penerus peradaban. Tentu saja, negara wajib untuk menjamin pemenuhan kebutuhan anak di dalam berbagai aspek. Satu hal yang pasti, anak tidak membutuhkan slogan dan wacana agar haknya terpenuhi dan tertunaikan. Sebaliknya, mereka membutuhkan aksi nyata berupa kebijakan pemerintah yang bervisi mengurus dan melayani urusan rakyatnya.

Berawal dari akidah, penguasa di dalam sistem Islam (Khilafah) memiliki kebijakan khusus untuk menjaga akidah individu warganya. Ini memungkinkan akidah warga tidak mudah tercemar oleh ide-ide selain Islam. Khilafah akan menutup berbagai celah masuk bagi pemikiran asing sehingga kondisi akidah Islam warga di dalam negeri senantiasa kental dengan suasana keimanan dan ketaatan pada hukum syarak. Khilafah juga akan mengatur arus opini di media massa agar yang berkembang hanyalah ide-ide bermotif amar makruf nahi mungkar.

Berikutnya, Khilafah berperan untuk mewujudkan fungsi keluarga yang optimal dalam mendidik anak. Khilafah menjamin pendidikan pranikah bagi para calon pengantin, membumikan konsep nasab dan keluarga sakinah, menegaskan posisi qawamah (kepemimpinan) kaum laki-laki bagi para calon ayah dan pencari nafkah, meluruskan fungsi dan naluri keibuan sebagai bekal pengasuhan (hadanah dan kafalah) sehingga mampu menjadi sekolah pertama dan utama bagi anak-anaknya, memastikan pelaksanaan pendidikan keluarga berbasis akidah Islam, serta memosisikan keluarga sebagai inkubator para pengemban dakwah.

Di luar keluarga, Khilafah berperan menyelenggarakan sistem pendidikan berbasis akidah Islam yang bertarget besar untuk menghasilkan generasi unggul berkepribadian Islam, pengisi peradaban, dan siap terjun ke masyarakat untuk mengemban dakwah. Pendidikan dalam Khilafah jauh dari format komersial sebagaimana dalam sistem kapitalisme, sebaliknya justru gratis dan berkualitas.

Selanjutnya pada sistem ekonomi, Khilafah wajib menjamin kesejahteraan ekonomi tiap individu rakyat, baik anak-anak maupun dewasa, dengan standar kecukupan kebutuhan primer (sandang, pangan, papan) secara individu per individu.

Khilafah wajib menjamin jalur nafkah para ayah/suami melalui ketersediaan lapangan pekerjaan dengan daya serap tenaga kerja yang banyak dan beragam. Khilafah juga menjamin iklim usaha dan ekonomi yang kondusif sehingga rakyat bisa melakukan aktivitas jual beli tanpa khawatir ada upaya penipuan dan mafia komoditas. Khilafah juga menyediakan fasilitas publik secara gratis dan memadai, seperti kesehatan, pendidikan, dan transportasi.

Selain itu, masyarakat pada masa Khilafah adalah masyarakat yang pemikirannya sehat sehingga mereka paham benar dengan peran mereka dalam rangka kontrol sosial dan amar makruf nahi mungkar, baik kepada sesamanya maupun dalam bentuk aktivitas muhasabah lil hukam (mengoreksi penguasa).

Khilafah merupakan negara yang tegas dan tuntas dalam menerapkan sistem sanksi. Sanksi tersebut adalah sanksi yang bersifat menjerakan pelakunya dan mencegah orang lain untuk melakukan kesalahan/tindak pidana yang sama.

Demikianlah, Khilafah adalah negara yang memiliki lingkungan pemikiran yang sehat dan kondusif bagi terciptanya anak-anak dan generasi yang unggul pengisi peradaban Islam. Sudah saatnya Indonesia mengganti sistem sekulerisme kapitalis dengan sistem Islam demi terwujudnya Indonesia layak anak 2030 yang dicita-citakan. Dan kita sebagai warga negara Indonesia yang baik sudah sepatutnya ikut memperjuangkannya dengan cara mengkaji Islam kaffah bersama kelompok dakwah Islam ideologis dan mendakwahkannya di tengah-tengah masyarakat.

Wallahu'alam bishshawab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar