Oleh: Sitti Radimatulsuma, S.Pd (Aktivis Muslimah)
Pendidikan merupakan tiang utama peradaban. Namun, bagaimana jadinya jika tiang tersebut terus digerogoti oleh ketidakpastian kebijakan, rendahnya penghargaan terhadap tenaga pendidik, serta sistem yang gagal menjamin kesejahteraan para guru?
Belum lama ini, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kota Balikpapan membuka peluang rekrutmen lebih dari 500 guru kontrak untuk mengisi kekosongan tenaga pendidik di tingkat PAUD, SD, dan SMP. Kepala Disdikbud Balikpapan, Irfan Taufik, menyatakan bahwa kekurangan guru telah terjadi di hampir seluruh kecamatan, baik di pusat kota maupun di wilayah pinggiran.
Menurut Irfan, skema rekrutmen kali ini berbeda dari sistem honorer sebelumnya. Guru kontrak akan diseleksi secara ketat dan profesional, dengan syarat utama memiliki latar belakang pendidikan yang linier sesuai bidang ajar.
Langkah ini diambil sebagai bentuk antisipasi atas kebijakan pemerintah pusat yang melarang pengangkatan tenaga honorer (naban) mulai tahun depan. Namun, kebijakan ini juga menyingkap satu fakta penting: pengangkatan guru kontrak selama ini belum mencukupi kebutuhan pendidikan yang ada, baik dari sisi jumlah maupun pemerataan di daerah.
Ketimpangan Guru sebagai Cerminan Krisis Sistemik
Permasalahan guru di Indonesia bukanlah hal baru, melainkan persoalan lama yang tak kunjung diselesaikan secara fundamental. Rekrutmen guru kontrak dalam jumlah besar memang terkesan menjanjikan sebagai solusi cepat, tetapi justru mengindikasikan bahwa sistem pengadaan guru selama ini tidak berjalan efektif.
Alih-alih membangun sistem yang menjamin keberlanjutan dan kesejahteraan guru, negara justru terus menerus menggunakan skema jangka pendek seperti kontrak dan outsourcing. Ini menempatkan guru dalam posisi rawan—tidak memiliki jaminan pekerjaan, tidak pasti masa depan, dan rentan diputus sewaktu-waktu.
Lebih jauh, penghapusan tenaga honorer tanpa ada perbaikan sistem pengadaan tenaga pendidik secara menyeluruh justru berpotensi menciptakan kekosongan besar di sekolah-sekolah. Banyak daerah, khususnya wilayah pinggiran, selama ini mengandalkan keberadaan guru honorer. Jika mereka diberhentikan tanpa solusi konkret yang adil dan berkeadilan sosial, maka akan muncul krisis pendidikan yang lebih dalam.
Di sisi lain, persoalan utama guru tidak hanya pada status pekerjaan. Gaji yang rendah, pembayaran yang sering tertunda, minimnya tunjangan, serta beban kerja administratif yang semakin tinggi telah menjadi beban psikologis dan profesional bagi banyak guru. Mereka dituntut menjadi pelayan pendidikan yang sempurna—mendidik, mendidik karakter, mencetak prestasi, mematuhi kurikulum, mengikuti pelatihan, hingga menyelesaikan laporan administrasi yang rumit. Namun pada saat yang sama, mereka tidak mendapatkan perlakuan layak sebagai garda terdepan pencetak generasi bangsa.
Dalam realitas kapitalisme sekuler, profesi guru sering dipandang sebagai jasa biasa, bukan sebagai bagian dari proses peradaban. Guru dianggap buruh yang bisa diganti, dibayar seminim mungkin, tanpa perlu dipastikan kesejahteraannya. Ketimpangan ini semakin nyata ketika dibandingkan dengan profesi lain yang secara sosial dan ekonomi lebih “menguntungkan” secara material. Akibatnya, profesi guru tidak lagi menarik bagi banyak lulusan baru, dan krisis regenerasi guru pun mulai terlihat.
Tak jarang pula kita mendengar cerita tentang guru-guru honorer yang telah mengabdi belasan tahun namun tak kunjung diangkat menjadi ASN. Mereka tetap berdiri di depan kelas, dengan semangat mendidik, sambil memendam rasa ketidakadilan. “Guruku sayang, guruku malang” bukan sekadar puisi atau sindiran, tetapi cermin dari sistem pendidikan kita yang pincang dan tidak berpihak pada pejuangnya.
Di tengah kemajuan teknologi dan tuntutan globalisasi, pendidikan seharusnya menjadi agenda prioritas nasional. Namun selama guru masih dipandang sebagai komponen tersier yang bisa dikontrak dan diputus kapan saja, maka masa depan pendidikan Indonesia akan terus berada di ujung tanduk.
Islam : Memuliakan Ilmu, Menjaga Martabat Guru
Di tengah ketimpangan yang mencengkeram sistem pendidikan hari ini, Islam menawarkan paradigma yang berbeda dan menyeluruh. Islam tidak hanya menempatkan guru sebagai instrumen pendidikan, tetapi sebagai penjaga peradaban. Dalam Islam, ilmu adalah cahaya kehidupan, dan guru adalah pelita yang menyalakannya.
1. Islam Memuliakan Ilmu dan Guru
Islam menempatkan ilmu dalam posisi yang sangat mulia. Wahyu pertama yang diturunkan kepada Rasulullah ï·º adalah perintah membaca (iqra’), sebagai simbol betapa pentingnya ilmu pengetahuan dalam membangun umat. Dalam hadis disebutkan: “Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
Mereka yang mengajarkan ilmu, termasuk guru, disebut sebagai bagian dari warisan kenabian. Maka guru bukan hanya pendidik teknis, melainkan agen perubahan yang membawa umat dari kejahilan menuju peradaban.
Dalam Islam, guru dipandang sebagai profesi agung, yang darinya akan lahir generasi pemimpin, ilmuwan, pejuang kebenaran, dan pembangun masyarakat. Oleh karena itu, memuliakan guru bukan hanya anjuran moral, tetapi perintah syar’i yang melekat pada sistem Islam secara keseluruhan.
2. Sistem Pendidikan Islam Menjamin Kesejahteraan dan Kebutuhan Guru
Dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah), pendidikan adalah salah satu tanggung jawab pokok negara. Negara tidak sekadar mengatur kurikulum, tetapi memastikan seluruh sarana dan prasarana pendidikan tersedia dan merata: bangunan sekolah, fasilitas belajar, buku ajar, hingga tenaga pendidik. Dan ini bukan bersumber dari hutang luar negeri atau proyek swasta, tetapi dari Baitul Mal, lembaga keuangan negara Islam.
Guru dalam sistem Islam mendapatkan gaji layak dan tetap, bukan dari dana BOS, kontrak daerah, atau honor insidental, melainkan dari anggaran negara yang dialokasikan khusus untuk sektor pendidikan. Mereka juga dibebaskan dari beban administratif yang tidak relevan, sehingga bisa fokus sepenuhnya pada misi pendidikan dan pembinaan karakter siswa.
Negara juga bertanggung jawab untuk menyiapkan tenaga guru sesuai kebutuhan wilayah, bukan hanya di kota besar, tapi juga hingga ke pelosok. Pemerataan ini bukan dilakukan berdasarkan untung rugi ekonomi, tetapi sebagai bentuk tanggung jawab negara terhadap seluruh rakyat.
3. Teladan Para Khalifah dalam Memuliakan Guru
Sejarah peradaban Islam mencatat bagaimana para Khalifah dan pemimpin Islam memuliakan guru dengan cara yang nyata. Pada masa Kekhilafahan Abbasiyah, para guru dan ilmuwan mendapat tempat istimewa di istana. Mereka diberi penghormatan tinggi, difasilitasi tempat tinggal, alat tulis, bahkan diundang untuk berdiskusi bersama pemimpin dalam menentukan arah kebijakan negara.
Khalifah Harun al-Rasyid, misalnya, mendirikan Baitul Hikmah sebagai pusat ilmu pengetahuan terbesar pada zamannya. Di dalamnya bekerja ratusan guru, ilmuwan, dan penerjemah, yang semuanya diberi gaji tetap dari negara. Mereka tidak hanya dihormati karena keilmuannya, tetapi dijamin kehidupannya agar bisa fokus melahirkan karya dan membina generasi.
Khalifah Umar bin Abdul Aziz juga dikenal sebagai pemimpin yang memperhatikan dunia pendidikan. Ia menginstruksikan pengangkatan guru untuk setiap wilayah dan memastikan mereka diberi gaji dari kas negara. Tak hanya itu, ia juga memastikan bahwa ilmu yang diajarkan sesuai dengan nilai-nilai Islam, sehingga pendidikan benar-benar menjadi alat untuk mencetak manusia bertakwa, bukan hanya tenaga kerja.
Saatnya Perubahan Sistemik, Bukan Sekadar Tambal Sulam
Rekrutmen guru kontrak sebagai respons atas penghapusan honorer mungkin tampak solutif di permukaan. Namun selama sistem pendidikan masih berlandaskan logika kapitalisme—yang menilai guru sebagai buruh pendidikan, bukan penjaga peradaban—maka nasib guru akan terus berada di ujung ketidakpastian.
Islam membuktikan bahwa memuliakan guru tidak cukup dengan penghargaan simbolik, tetapi dengan sistem yang melindungi, menyejahterakan, dan memberdayakan mereka. Solusi Islam tidak berhenti di tataran individu, tapi menuntut perubahan struktural agar pendidikan benar-benar menjadi tangga peradaban yang kokoh.
Sudah saatnya kita mengkaji dan membuka mata terhadap sistem Islam sebagai solusi. Karena membangun pendidikan bukan hanya tentang jumlah guru yang direkrut, tapi bagaimana mereka dihargai, dilindungi, dan dijadikan mitra utama dalam membangun masa depan umat.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar